Selasa, 25 Agustus 2009 | 23:15 WIB
Laporan :
JAKARTA, TRIBUN - Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans), Muzni Tambusai menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Selasa (25/8).
Ia duduk sebagai terdakwa terkait kasus dugaan korupsi Yayasan Dana Tabungan Pesangon (YDTP) Pekerja Migas. Kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan Rp 107, 6 miliar dan 328,5 ribu dolar AS atau totalnya Rp 41,2 miliar.
Agenda sidang yang dimulai pukul 10.00 WIB pembacaan dakwaan. Namun, Muzni melalui penasihat hukumnya juga langsung membacakan eksepsi atau keberatan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum (PU).
Maqdir Ismail, penasihat hukum Muzni dalam eksepsinya menyatakan dakwaan tidak dapat diterima karena sejumlah pertimbangan. Pertama, karena status terdakwa sesuai jabatan adalah bawahan, sehingga wajib menjalankan perintah atasan.
Muzni Tambusai ditetapkan tersangka 6 April lalu. Dia diduga terlibat korupsi penggunaan dana rekening pada Yayasan Dana Tabungan Pensiunan Pekerja Migas di Depnakertrans. Muzni diduga korupsi pengelolaan dana pensiunan pekerja Migas karena ada dana yang tidak disetor ke negara, padahal yayasan pengelola rekening tersebut sudah dibubarkan tahun 2000.
Setelah yayasan dilikuidasi seharusnya uang disetor ke kas negara atau bendahara negara. Likuidasi Yayasan Dana Tabungan Pensiunan Pekerja Migas diawali dengan pembentukan tim likuidasi. Masa kerja tim tersebut berlangsung selama dua tahun hingga 2002. Tahun 2002 Muzni Tambusai menjabat sebagai penanggungjawab aset yayasan, termasuk pengembalian kepada negara.
Namun fakta yang kita peroleh ada yang digunakan tidak sesuai peruntukan. Penyelewengan dana tabungan berlangsung lima tahun, sejak 2003 sampai 2008. Suedi mengatakan, dana itu antara lain digunakan biaya tim pengelola dan biaya operasional.
Sementara yang memiliki kewenangan mengatur program tabungan pesangon pekerja di sektor perusahaan jasa penunjang pertambangan migas adalah Menakertrans saat itu, Jacob Nuwa Wea. "Yang justru melanggar adalah Ketua Tim Liquidasi. Sebab setelah tim dibubarkan, aset negara tidak segera dikembalikan," kata Maqdir.
Dia menambahkan, terdakwa tidak ada alasan untuk tidak menyetorkan ke kas negara karena hanya disuruh. Pihaknya menilai Penuntut Umum tidak cermat dalam menyusun dakwaan, karena yang memiliki ide Jacob Nuwa Wea.
"Kita juga menganggap dakwaan primer, bahwa terdakwa secara bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum tidak beralasan. Karena kalau bersama-sama seharusnya ada orang lain yang diperiksa juga, bukan cuma terdakwa," tambahnya.
Terkait alasan itu, pihaknya meminta majelis hakim menolak dakwaan PU, membebaskan terdakwa dari tahanan dan membebankan biaya perkara kepada negara.
Menanggapi eksepsi tersebut, pihak PU KPK yang terdiri Suwarji, I Kadek Wiradana, Edy Hartoyo dan Anang Supriana meminta waktu sepekan untuk menyampaikan pendapat. Sidang diagendakan lagi, Selasa (2/9).
Sebelumnya, Kadek membacakan dakwaan PU terhadap Muzni. Di mana terdakwa dianggap telah merugikan negara karena mengelola sisa hasil liquidasi eks YDTP-Migas. Padahal seharusnya disetorkan ke kas negara.
Perbuatan terdakwa diancam pidana seperti diatur Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang RI Nomor 31 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus ini berawal dari dibentuknya Yayasan Dana Tabungan Pesangon Tenaga Kerja Pemborong Minyak dan Gas Bumi (YDTP-Migas) pada tahun 1990, berdasarkan SKB Menteri Pertambangan dan Energi dengan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 1431 K/78/M.PE/89 dan Nomor KEP.693/MEN/89 tanggal 28 Oktober 1989.
Di mana kekayaan YDTP-Migas berasal dari Pertamina Rp 10 juta dan iuran sebesar 8,33 persen dari upah tenaga kerja pemborong migas tiap bulan. Namun karena dianggap bertentangan dengan instruksi Presiden RI Nomor 20 tahun 1998, akhirnya dibubarkan.
Untuk menyelesaikan hak dan kewajiban serta aset YDTP Migas, dibentuklah tim liquidasi dengan masa kerja dua tahun, terhitung 1 Januari 2001. Muzni sendiri kemudian diangkat sebagai ketuanya.
Masalah muncul karena Jacob Nuwa Wea tidak menyetorkan ke kas negara, tapi berniat mengelola dan menggunakan dana tersebut untuk dengan membentuk tim pelaksana pengelolaan aset (TPPA) eks YDTP-Migas.
Di mana dalam pengelolaan kekayaan aset eks YDTP, Muzni telah menggunakan dana seluruhnya Rp 41, 2 miliar. Di antaranya dibagi-bagikan kepada TPPA eks YDTP-Migas sejak tahun 2003 dengan alasan untuk pembayaran honor, uang saku atau THR. Termasuk membagikan uang tersebut kepada eks tim liquidasi Rp 2,5 miliar, hingga seluruhnya Rp 6,4 miliar.
Selain itu membagi-bagikan sebagai pemberian hibah kepada tiga rumah sakit, yaitu Rumah Sakit Imelda Medan, Rumah Sakit Petala Bumi Pekan Baru dan Rumah Sakit Sele Be Solu Sorong tahun 2004-2006, masing-masing Rp10 miliar.
(persdanetwork/nda)