Sabtu, 24 April 2010

Upah Minimum Perkebunan di Riau Naik 10 Persen

foto/net
" "
Rabu, 18 Februari 2009 | 13:31 WIB
Laporan :

PEKANBARU,TRIBUN - Upah Minimum Sektor Provinsi (UMSP) untuk sektor perkebunan pada tahun ini naik 10 persen. Kenaikan upah dari Rp 973.500 pada tahun 2008 diusulkan naik menjadi Rp 1.021.000 untuk tahun 2009. Saat ini, usulan tersebut sudah berada di tangan Gubernur Riau menunggu dikeluarkannya surat keputusan (SK).

Sedangkan untuk upah sektor minyak dan gas (migas), masih dalam pembahasan alot antara perwakikan pengusaha dengan perwakilan serikat pekerja/buruh dari sektor migas. "Untuk sektor perkebunan saat ini sedang menunggu SK dari gubernur," ujar Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Persyaratan Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Provinsi Riau, Samsul Bahri kepada Tribun kemarin (17/2).

Dikatakannya, pembahasan upah untuk sektor, baik migas maupun perkebunan merupakan otoritas bipartit atau antara perwakilan pengusaha (perusahaan) dengan perwakilan para pekeja/buruh atau serikat. Sejauh ini, baru kesepakatan upah untuk sektor perkebunan yang berhasil diputuskan, sedangkan migas masih dalam pembahasan.

Sedangkan pemerintah, terangnya, hanya sebagai fasilitas atas kesepakatan kedua belah pihak. Diharapkan menjelang akhir bulan ini, SK UMSP Perkebunan sudah keluar dan berlaku surut, terhitung 1 Januari 2009. "Keputusan UMSP murni dari pengusaha dengan serikat pekerja dan buruhnya," tukas Samsul.

Disinggung mengenai Upah Minimum Provinsi (UMP) yang sudah ditetapkan beberapa waktu lalu, Samsul menyatakan sampai kemarin tidak ada masalah atas perubahan UMP. Baik laporan maupun pengaduan dari masyarakat, Dinas Tenaga Kerja belum ada yang menerima satu pun. Ini artinya pelaksanaan UMP sudah cukup berjalan baik.

"Tidak ada masalah, kalau memang ada kita berharap masyarakat maupun pekerja dan buruh, mau melaporkan kepada dinas tenaga kerja, dan akan kita tindak lanjuti. Tapi sampai saat ini berjalan normal. Artinya, tidak ada masalah. Begitu juga dengan upah sektor, kita berharap juga tidak ada masalah," imbuh Samsul.(junaidi)

Garuda dan BPMIGAS Kerjasama Corporate Sales

TRIBUN KALTIM/DOK
" Pesawat Garuda "
Jumat, 5 Maret 2010 | 18:48 WIB
Laporan :

Laporan: PersdaNetwork/ewa

JAKARTA, TRIBUNPEKANBARU.com - Garuda Indonesia menggandeng Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) untuk mendukung mobilitas para karyawan BP Migas.

Kerjasama ini untuk mendukung target Garuda dalam pelayanan corporate sales yaitu pendapatan Rp 2 triliun dari kerjasama corporate sales dengan 750 perusahaan mitra. Pelaksanaan penandatanganan MoU dilaksanakan oleh Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan Kepala BP Migas R. Priyono di Jakarta, Jumat (5/3).

Dengan ditandatanganinya MoU ini, maka seluruh karyawan BP Migas serta perusahaan – perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan BP Migas akan menggunakan penerbangan Garuda Indonesia pada rute domestik maupun internasional dengan harga dan layanan khusus berupa special net corporate fare, priority reservation, city check-in dan pembukuan group.

Untuk memenuhi kebutuhan perjalanan wisata keluarga karyawan BP Migas, maka kerjasama ini juga melibatkan Aerowisata, anak perusahaan Garuda Indonesia. Emirsyah Satar mengatakan kerjasama dengan ini merupakan bagian dari upaya pengembangan pasar Garuda Indonesia khususnya pelanggan “corporate”.

"Garuda secara konsisten telah melaksanakan penggarapan pasar korporasi sejak
lama dan mengingat pasar korporasi merupakan pasar yang sangat potensial dan
terus berkembang, maka Garuda Indonesia tetap fokus untuk membidik pasar
korporasi tersebut", tambahnya.

Dijelaskannya, pada 2009 Garuda telah menandatangai MoU corporate sales dengan
sekitar 600 perusahaan besar di Indonesia dengan total pendapatan lebih dari Rp
600 miliar. Sejalan dengan peningkatan kapasitas garuda Indonesia pada tahun 2010 ini dimana Garuda Indonesia akan menerima 24 pesawat baru dan membuka 10 rute baru di domestik dan internasional, maka Garuda Indonesia menetapkan target pendapatan
dari “corporate sales” sebesar Rp 2 Triliun dengan target 750 “corporate partner”.

Sementara Priyono mengatakan seluruh karyawan BP Migas beserta keluarganya akan menjadi lebih terjamin dalam melaksanakan perjalanan dengan pesawat udara baik perjalanan bisnis maupun wisata dengan layanan maskapai bintang empat. Dijelaskan Emirsyah, sejalan dengan pengembangan market korporasi ke depan, Garuda Indonesia terus berupaya untuk memberikan kemudahan akses bagi para partner korporasinya melalui fasilitas "Garuda Online Booking Corporate" dan juga melakukan pengembangan pasar korporasi di kantor cabang luar negeri. (nto)

Muzni Tambusai Duduk di Kursi Pesakitan

Selasa, 25 Agustus 2009 | 23:15 WIB
Laporan :

JAKARTA, TRIBUN - Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans), Muzni Tambusai menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Selasa (25/8).

Ia duduk sebagai terdakwa terkait kasus dugaan korupsi Yayasan Dana Tabungan Pesangon (YDTP) Pekerja Migas. Kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan Rp 107, 6 miliar dan 328,5 ribu dolar AS atau totalnya Rp 41,2 miliar.

Agenda sidang yang dimulai pukul 10.00 WIB pembacaan dakwaan. Namun, Muzni melalui penasihat hukumnya juga langsung membacakan eksepsi atau keberatan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum (PU).

Maqdir Ismail, penasihat hukum Muzni dalam eksepsinya menyatakan dakwaan tidak dapat diterima karena sejumlah pertimbangan. Pertama, karena status terdakwa sesuai jabatan adalah bawahan, sehingga wajib menjalankan perintah atasan.

Muzni Tambusai ditetapkan tersangka 6 April lalu. Dia diduga terlibat korupsi penggunaan dana rekening pada Yayasan Dana Tabungan Pensiunan Pekerja Migas di Depnakertrans. Muzni diduga korupsi pengelolaan dana pensiunan pekerja Migas karena ada dana yang tidak disetor ke negara, padahal yayasan pengelola rekening tersebut sudah dibubarkan tahun 2000.

Setelah yayasan dilikuidasi seharusnya uang disetor ke kas negara atau bendahara negara. Likuidasi Yayasan Dana Tabungan Pensiunan Pekerja Migas diawali dengan pembentukan tim likuidasi. Masa kerja tim tersebut berlangsung selama dua tahun hingga 2002. Tahun 2002 Muzni Tambusai menjabat sebagai penanggungjawab aset yayasan, termasuk pengembalian kepada negara.

Namun fakta yang kita peroleh ada yang digunakan tidak sesuai peruntukan. Penyelewengan dana tabungan berlangsung lima tahun, sejak 2003 sampai 2008. Suedi mengatakan, dana itu antara lain digunakan biaya tim pengelola dan biaya operasional.

Sementara yang memiliki kewenangan mengatur program tabungan pesangon pekerja di sektor perusahaan jasa penunjang pertambangan migas adalah Menakertrans saat itu, Jacob Nuwa Wea. "Yang justru melanggar adalah Ketua Tim Liquidasi. Sebab setelah tim dibubarkan, aset negara tidak segera dikembalikan," kata Maqdir.

Dia menambahkan, terdakwa tidak ada alasan untuk tidak menyetorkan ke kas negara karena hanya disuruh. Pihaknya menilai Penuntut Umum tidak cermat dalam menyusun dakwaan, karena yang memiliki ide Jacob Nuwa Wea.

"Kita juga menganggap dakwaan primer, bahwa terdakwa secara bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum tidak beralasan. Karena kalau bersama-sama seharusnya ada orang lain yang diperiksa juga, bukan cuma terdakwa," tambahnya.

Terkait alasan itu, pihaknya meminta majelis hakim menolak dakwaan PU, membebaskan terdakwa dari tahanan dan membebankan biaya perkara kepada negara.

Menanggapi eksepsi tersebut, pihak PU KPK yang terdiri Suwarji, I Kadek Wiradana, Edy Hartoyo dan Anang Supriana meminta waktu sepekan untuk menyampaikan pendapat. Sidang diagendakan lagi, Selasa (2/9).

Sebelumnya, Kadek membacakan dakwaan PU terhadap Muzni. Di mana terdakwa dianggap telah merugikan negara karena mengelola sisa hasil liquidasi eks YDTP-Migas. Padahal seharusnya disetorkan ke kas negara.

Perbuatan terdakwa diancam pidana seperti diatur Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang RI Nomor 31 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kasus ini berawal dari dibentuknya Yayasan Dana Tabungan Pesangon Tenaga Kerja Pemborong Minyak dan Gas Bumi (YDTP-Migas) pada tahun 1990, berdasarkan SKB Menteri Pertambangan dan Energi dengan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 1431 K/78/M.PE/89 dan Nomor KEP.693/MEN/89 tanggal 28 Oktober 1989.

Di mana kekayaan YDTP-Migas berasal dari Pertamina Rp 10 juta dan iuran sebesar 8,33 persen dari upah tenaga kerja pemborong migas tiap bulan. Namun karena dianggap bertentangan dengan instruksi Presiden RI Nomor 20 tahun 1998, akhirnya dibubarkan.

Untuk menyelesaikan hak dan kewajiban serta aset YDTP Migas, dibentuklah tim liquidasi dengan masa kerja dua tahun, terhitung 1 Januari 2001. Muzni sendiri kemudian diangkat sebagai ketuanya.

Masalah muncul karena Jacob Nuwa Wea tidak menyetorkan ke kas negara, tapi berniat mengelola dan menggunakan dana tersebut untuk dengan membentuk tim pelaksana pengelolaan aset (TPPA) eks YDTP-Migas.

Di mana dalam pengelolaan kekayaan aset eks YDTP, Muzni telah menggunakan dana seluruhnya Rp 41, 2 miliar. Di antaranya dibagi-bagikan kepada TPPA eks YDTP-Migas sejak tahun 2003 dengan alasan untuk pembayaran honor, uang saku atau THR. Termasuk membagikan uang tersebut kepada eks tim liquidasi Rp 2,5 miliar, hingga seluruhnya Rp 6,4 miliar.

Selain itu membagi-bagikan sebagai pemberian hibah kepada tiga rumah sakit, yaitu Rumah Sakit Imelda Medan, Rumah Sakit Petala Bumi Pekan Baru dan Rumah Sakit Sele Be Solu Sorong tahun 2004-2006, masing-masing Rp10 miliar. (persdanetwork/nda)

Pertumbuhan Ekonomi Riau Tanpa Migas 8,06 Persen

foto/net
" "
Selasa, 17 Februari 2009 | 10:42 WIB
Laporan :

PEKANBARU, TRIBUN - Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau menyatakan, pertumbuhan ekonomi Riau tanpa migas pada tahun 2008 mencapai 8,06 persen, dengan pertumbuhan tertinggi dari sektor pertambangan dan penggalian.

Kepala BPS Riau, Irland Indrocahyo, di Pekanbaru mengatakan, pertumbuhan ekonomi Riau tanpa migas pada sektor pertambangan dan penggalian rata-rata mencapai 18,13 persen.

"Pertumbuhan juga terjadi di sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 13,65 persen, sektor bangunan sebesar 11,14 persen serta sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 10,45 persen," katanya.

Menurut Irland, sektor pendorong pertumbuhan ekonomi Riau adalah sektor pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan dengan sumbangan sekitar 1,80 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran 1,69 persen, sektor industri pengolahan 1,58 persen dan sektor jasa-jasa sebesar 0,94 persen.

Selama 2008, lanjutnya, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Riau tanpa migas atas dasar harga berlaku sebesar Rp149,125 triliun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan 2000 sebesar Rp42,6 triliun.

Struktur ekonomi Riau tanpa migas pada triwulan IV 2008 ditandai dengan sumbangan terbesar berasal dari pengeluaran konsumsi rumah tangga sebesar 51,47 persen. Diikuti ekspor 45,42 persen dan investasi fisik atau pembentukan modal tetap bruto sebesar 19,64 persen.

Irland mengatakan, laju pertumbuhan ekonomi Riau tanpa migas tahun 2008 didorong oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga sebesar 8,00 persen, pembentukan modal tetap bruto 8,82 persen, pengeluaran konsumsi rumah tangga sebesar 8,21 persen dan ekspor 6,03 persen, sementara impor Riau tumbuh sebesar 11 persen. (antara)

Rp 2,1 Triliun Utang DBH Migas Pusat kepada Riau

KOMPAS/ NELI TRIANA
" "
Jumat, 15 Januari 2010 | 23:48 WIB
Laporan :

Laporan: Kasri


Pemerintah Provinsi Riau hingga kini masih terus berjuang agar Dana Bagi Hasil (DBH) Minyak dan Gas (Migas) yang dikeruk dari Bumi Riau dapat dikembalikan ke Riau dengan nilai yang lebih proporsional.

"Saat ini pembagian kita masih sekitar 15 persen. Namun begitu kita akan terus berjuang bagaimana Riau bisa mendapatkan DBH yang lebih besar," ujar Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Riau, Said Mukri, Jumat (15/1).

Upaya perjuangan di antaranya melalui Forum Legislator Provinsi Riau yang dipimpin Wan Abubakar. Forum ini terdiri dari wakil Riau yang duduk di DPR dan DPD RI. "Kita sudah sampaikan melalui forum ini agar DBH Riau bisa diperjuangkan untuk ditingkatkan," ujarnya.

Terlepas dari forum tersebut, Pemprov Riau juga terus berkomunikasi dengan pemerintah pusat, agar DBH Riau bisa ditingkatkan. "Kalau provinsi lain ada 60:40, kita juga berharap demikian. Untuk itu kita masih terus berjuang," tambah Said.

Menyangkut pembagian DBH yang sedang berjalan, hingga kini pemerintah pusat masih terutang sekitar Rp 2,1 triliun lebih. "Untuk seluruh Riau, sejak 2008 pusat masih terhutang lebih dari Rp 2,1 triliun. Belum lagi DBH untuk Pemprov Riau," ujarnya.

Untuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau, utang DBH Migas 2008 mencapai sekitar Rp 426 miliar lebih dan DBH 2009 sekitar Rp 200 miliar lebih. "Angka pastinya saya lupa, tapi untuk Pemprov Riau saja, totalnya mencapai sekitar Rp 900 miliar," ujar Said.

Terhadap sisa pembayaran yang masih terutang tersebut, hingga kini belum ada komitmen yang jelas dari pemerintah pusat, untuk secepatnya melakukan pembayaran. (han)

Sumsel Tuntut Bagi Hasil Migas 70:30

Jumat, 15 Januari 2010 | 10:12 WIB Laporan :

PALEMBANG, TRIBUN — Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) melalui Masyarakat Minyak, Gas, dan Energi (MMGE) Sumsel menuntut bagi hasil migas yang seimbang antara pemerintah pusat dan daerah minimal 70:30 persen.

Menurut Ketua MMGE Sumsel A Rizal di Palembang, Jumat (15/1/2010), untuk merealisasikan tuntutan tersebut, mereka akan meminta dukungan dari Ketua MPR dan DPR serta tokoh lain asal Palembang yang berada di Jakarta.

Rizal menegaskan, tuntutan Sumsel itu wajar dan diharapkan dapat lebih mendorong adanya pembagian hasil migas yang lebih proporsional untuk dapat digunakan membangun daerahnya. Ketika berdiskusi dengan tokoh dan ahli tambang serta ahli hukum di Palembang, Kamis (14/1/2010), menurut Rizal, MMGE kembali mempertegas tuntutan agar pemerintah pusat memberikan bagi hasil yang seimbang kepada rakyat di daerah penghasil gas terbesar di Indonesia itu.

Selain itu, MMGE juga menuntut agar perusahaan daerah dilibatkan secara penuh dalam kegiatan perusahaan migas di daerah tersebut, katanya. Menurut Rizal, selama ini bagi hasil yang 85 persen pusat dan hanya 15 persen daerah dinilai sangat tidak adil.

"Sebagai penghasil gas yang mampu memenuhi pasokan gas nasional sebanyak 65 persen dari kebutuhan Indonesia tersebut, semestinya bisa mendapatkan bagi hasil yang lebih besar lagi persentasenya," lanjutnya.

Ia mengatakan, sudah sepantasnya Sumsel mendapatkan bagi hasil migas minimal 30 persen. Guna merealisasikan tuntutan tersebut, lanjutnya, pihaknya akan meminta dukungan kepada tokoh-tokoh asal Sumsel yang kini memiliki jabatan strategis dalam pemerintahan di pusat.

Dia menjelaskan, dukungan tersebut sangat penting untuk mereka rangkul agar perjuangan mendapatkan bagi hasil seimbang tersebut dapat dirasakan rakyat di daerah itu. "Meskipun Sumsel merupakan salah satu daerah penghasil migas terbesar di Indonesia, masyarakat daerahnya belum merasakan manfaatnya," ujarnya. (kc/abi)

Sumber: Ant

Ekspor Migas Riau Turun 2,55 Juta Dolar


" Ilustrasi Sumur Minyak "
Senin, 5 April 2010 | 11:22 WIB
Laporan :

PEKANBARU, TRIBUN - Ekspor minyak dan gas (migas) Provinsi Riau sepanjang tahun 2009 turun senilai 2,55 juta dolar AS karena terjadi penurunan sebesar 43,42 persen pada 2008.

"Nilai ekspor migas Riau tahun ini menurun dari 5,87 juta dolar AS pada 2008 menjadi 3,32 juta dolar AS 2009," ujar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Riau, Abdul Manaf, di Pekanbaru, Senin.

Menurutnya, penurunan nilai eskpor sebagai dampak krisis keuangan global telah menyebabkan permintaan minyak mentah dan hasil minyak dari hasil bumi Riau berkurang.

Januari-Desember 2008 nilai ekspor minyak mentah tercatat 5,35 juta dolar AS, namun pada periode yang sama tahun 2009 turun menjadi 2,93 juta dolar AS.

Begitu juga dengan kondisi nilai ekspor hasil minyak yang mengalami penurunan dari 514,17 ribu dolar AS pada tahun 2008 menjadi 383,86 ribu dolar AS di 2009.

Untuk nilai eskpor gas berada pada posisi nihil, namun BPS Riau mengaku tidak memiliki data volume ekspor pada sektor migas yang diambil dari dalam Bumi Lancang Kuning itu. "Data besaran volume kami tidak memiliki, karena berita resmi dari BPS mengenai kinerja baik ekspor atau pun impor hanya berbentuk nilai saja," jelas Abdul Manaf.

Secara kumulatif nilai ekspor Riau mengalami penurunan sebesar 28 persen atau dari 15,22 juta dolar AS pada tahun 2008 menjadi 10,96 juta dolar AS pada 2009 dengan kotribusi terhadap ekspor nasional sebesar 9,14 persen.

Kondisi itu terjadi karena nilai ekspor di sektor non migas Riau mengalami penurunan 18,32 persen atau dari 9,35 juta dolar AS pada tahun 2008 menjadi 7,63 juta dolar AS pada 2009. (ant)

BP Migas Harap Harga Minyak Dunia Naik

Internet
" Ilustrasi "
Senin, 19 April 2010 | 14:30 WIB
Laporan : Tribun News.com

JAKARTA, TRIBUNPEKANBARU.COM - Ketua BP Migas, R Priyono, Senin (19/4) berharap terjadi kenaikan harga minyak dunia. Pasalnya produksi minyak Indonesia tiap tahun terus menurun. Akibat banyaknya ladang minyak eksisting yang sudah tua.

"Saya berharap terjadi kenaikan harga minyak dunia, sehingga bisa meningkatkan APBN dari sektor Migas. Peningkatan APBN adalah tujuan utama bukan dari sisi jumlah produksi," jelas Priyono saat ditemui di Ruang Rapat Komisi VII DPR RI.

Penurunan produksi terjadi secara alamiah di beberapa ladang minyak. Seperti di ladang minyak PT CPI (Chevron Pacific Indonesia) yang sudah tiga kali mengalami pengerusan. Dengan adanya kenaikan harga minyak, diharapkan bisa meningkatkan pendapatan negara dari sektor Migas. Meski dari sisi volume terjadi penurunan.

"Penurunan jumlah produksi minyak itu alamiah. Kita tidak bisa mengetahui jumlah minyak yang masih ada di alam ini, sehingga sulit memprediksi naik atau turun," jelasnya.

Kenaikan harga minyak dunia, akan turut meningkatkan pendapatan dari sektor Migas, meskipun jumlah produksi minyak turun.

"Untuk mencapai target APBN, maka harga minyak harus naik. Produksi minyak bukan menjadi suatu pendekatan untuk pencapaiaan target APBN," katanya.(ema)

Dirjen Migas Klaim Hemat 14,6 Juta Kiloliter

IST
" "
Kamis, 22 April 2010 | 14:50 WIB
Laporan : tribunnews.com

JAKARTA, TRIBUNPEKANBARU.COM - Dirjen Migas, Evita Legowo, Kamis (22/4) klaim bisa menghemat 40 persen volume BBM atau sekitar 14,6 juta kilo liter. Melalui program distribusi BBM bersubsidi secara tertutup.

"Kami berharap bisa hemat 40% dari volume BBM bersubsidi yang saat ini disalurkan buat masyarakat," ujar Dirjen Migas Evita Legowo di sela-sela rapat kerja dengan Komisi VII DPR.

Dalam APBN 2010, volume subsidi BBM mencapai 36,5 juta kiloliter. Adapun dalam RAPBN-P 2010, pemerintah juga tidak bisa mengubah volume BBM bersubsidi ini. Angka ini merupakan gabungan antara volume bensin, solar, dan minyak tanah bersubsidi.

Namun meski volumenya sama, nilai subsidi BBM diasumsikan meningkat dari Rp 68,7 triliun pada APBN 2010 menjadi Rp 89,3 triliun. Ini dilakukan agar stabilitas harga BBM bersubsidi yang didistribusikan kepada masyarakat bisa terjaga.

Pemerintah, kata Evita, sudah membuat road map penyampaian subsidi kepada yang berhak dan direncanakan akan mulai 2011-2014. Sebagai pendahuluan, untuk tahun 2009-2010, pemerintah lebih dulu melakukan penataan distribusi tertutup serta pendataan melalui berbagai ujicoba.

Tiga opsi yang saat ini dikantongi pemerintah sebagai model pelaksanaan BBM bersubsidi secara tertutup, belum diputuskan karena masih dalam tahap kajian. Ketiga opsi tersebut adalah BBM bersubsidi hanya boleh dikonsumsi oleh kendaraan pelat kuning. "Cara ini lebih mudah dan murah karena tidak perlu tanda pengenal lain," ujarnya.

Opsi berikutnya adalah larangan menggunakan BBM bersubsidi bagi mobil keluaran tahun 2000 ke atas. Opsi ini banyak mendapat tentangan, lantaran mobil di bawah tahun 2000 dianggap lebih boros. Namun, menurut Evita, dasar pemikiran pemerintah terhadap opsi ini adalah sebagian besar mobil keluaran di atas tahun 2000 mensyaratkan penggunaan bensin dengan oktan di atas 88.

"Sementara BBM bersubsidi oktannya hanya 88. Jadi ini juga membantu pemilik mobil sebetulnya," terang Evita. Opsi lain adalah dengan melihat cc kendaraan. Mobil dengan cc besar bakal dilarang untuk meminum BBM bersubsidi.

Opsi yang sempat dibahas adalah penggunaan smart card. Namun, kata Evita, opsi ini sulit dilaksanakan karena anggarannya besar. "Pengadaan smart card ini butuh biaya besar, dari mana sumber dananya?" katanya.

Namun, kata Dirjen Migas, opsi apa pun yang dipilih, harus diimplementasi secara bertahap. Ini untuk membiasakan masyarakat agar tidak gagap. "Bagaimana pelaksanaannya masih harus dibahas lebih lanjut. Lagi pula kami harus membahasnya dengan DPR," ujar Evita. (ema)