Senin, 09 Maret 2009

Riau Kaya Sumber Daya Alam, tetapi Miskin Listrik

Kompas, 06/03/2009

Jumat, 6 Maret 2009 | 04:40 WIB

Pekanbaru, Kompas – Direktur Utama PT PLN Fahmi
Muchtar mengaku kaget mengetahui kondisi
kelistrikan di wilayah kaya sumber daya alam,
Provinsi Riau, yang ternyata hanya memiliki rasio
kelistrikan 42,7 persen (hanya 42,7 persen
penduduk/wilayah Riau yang dialiri listrik).
Rasio tersebut sangat jauh di bawah angka
rata-rata nasional yang mencapai 56 persen.

”Saya tidak menyangka kondisi kelistrikan Riau
ternyata begitu tertinggal dibandingkan dengan
daerah lain di Indonesia, padahal Riau kaya. Saya
juga mendapat data bahwa setiap tahun sebesar
70.000 pelanggan di Riau terpaksa ’ditolak’ PLN
karena ketidaktersediaan daya listrik,” ujar
Fahmi saat memberi sambutan acara penandatanganan
nota kesepahaman (MOU) antara PT PLN dan
Pemerintah Provinsi Riau di Pekanbaru, Kamis (5/3).

Pada kesempatan yang sama, Gubernur Riau Rusli
Zainal mengungkapkan, di mata pusat, Riau selalu
dipandang sebagai stereotip daerah kaya.

Akan tetapi, pada kenyataannya infrastruktur
Riau sangat berbanding terbalik dengan kekayaan alamnya.

”Dari bumi Riau, PT Chevron telah mengangkat
minyak bumi sebanyak 11 miliar barrel. Angka itu
merupakan produksi terbesar PT Chevron di seluruh
dunia. Sumbangsih Riau itu sudah tidak ternilai
untuk nasional. Namun, lihatlah, di sisi lain,
Riau masih belum diperhatikan. Rasio kelistrikan
itu membuktikan salah satu ketertinggalan Riau.
Tanpa listrik, Riau akan sulit mengejar
ketertinggalan meski Riau sebenarnya mampu,” kata Rusli.

Rusli membeberkan, selain memiliki sumber daya
minyak dan gas, Riau memiliki 1,8 juta hektar
areal perkebunan kelapa sawit atau sekitar 40
persen dari luas areal perkebunan sawit nasional
dengan dukungan 200 pabrik kelapa sawit yang
menghasilkan minyak sawit mentah (CPO).

Setiap tahun, dari Pelabuhan Dumai, Riau
mengekspor 7 juta sampai 8 juta ton CPO menuju 86 negara di seluruh dunia.

Akan tetapi, kekuatan di sektor hulu itu tidak
mampu berkembang ke hilir karena ketersediaan listrik yang tidak memadai.

”Mustahil Riau mampu berkembang mengejar
ketertinggalan kalau potensinya (sumber daya) itu
tidak dapat digunakan,” kata Rusli. (SAH)

Perpanjangan Blok Migas Tunggu Peraturan Menteri

Kompas, 06/03/2009

Jumat, 6 Maret 2009 | 04:25 WIB

Jakarta, Kompas - Persetujuan perpanjangan sejumlah kontrak blok
migas menunggu keluarnya Peraturan Menteri atau Permen Energi dan
Sumber Daya Mineral tentang pengajuan perpanjangan wilayah kerja.

Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Direktorat Jenderal Migas Edi
Hermantoro mengemukakan hal itu, Kamis (5/3) di Jakarta. Menurut Edi,
permen itu sedang disusun dan ditargetkan keluar bulan Juni 2008.

Beberapa kontrak blok migas yang sedang menunggu persiapan
perpanjangan adalah Blok A yang berlokasi di Nanggroe Aceh Darussalam
dan Blok South Sumatera Extention, dengan operator Medco E&P, Blok
Madura Strait dengan operator Hess.

Kontrak Blok A yang ditargetkan berproduksi akhir tahun ini akan
berakhir pada 2011. Gas dari Blok A dibutuhkan untuk memasok PT Pupuk
Iskandar Muda. Pengesahan rencana kerja dan pengembangan blok sudah
mendapat persetujuan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas.

Edi mengatakan, selain perpanjangan kontrak, Ditjen Migas sedang
mengevaluasi kontrak eksplorasi blok migas yang tidak bisa memenuhi
komitmen. Sedikitnya ada 16 blok yang sedang dievaluasi untuk terminasi.

Menurut Edi, sebagian besar kontraktor mengalami masalah teknis dan
hanya sebagian yang terkendala pendanaan. "Ada yang sudah ngebor,
tapi enggak dapet juga," ujarnya.

Sesuai aturan, kontraktor migas harus bisa memenuhi komitmen tiga
tahun pertama masa eksplorasi. Masa eksplorasi berlangsung enam
tahun, dengan kemungkinan tambahan empat tahun.

Pemerintah akan menawarkan sekitar 20 wilayah kerja melalui
mekanisme lelang pada April 2009. (DOT)

Pengelolaan migas banyak kekeliruan

Bisnis Indonesia, 06/03/2009

JAKARTA: Pengelolaan minyak dan gas bumi dalam 10 tahun terakhir
banyak mengalami kekeliruan, sehingga tidak memberikan andil besar
bagi kesejahteraan masyarakat.

Kekeliruan tersebut terindikasi antara lain dari masih dominannya
investor asing dalam mengusai industri hulu migas di Indonesia. Pada
saat yang bersamaan, produksi minyak nasional mengalami penurunan
yang cukup signifikan.

"Kekeliruan terbesar dalam pengelolaan migas nasional terletak pada
regulasi yakni isi Undang-Undang Migas No. 22/2001 yang menghapus
peran badan usaha negara untuk mengelola kekayaan migas. Sebagai
gantinya, dibentuk Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas," ujar
Direktur Centre of Petroleum and Energy for Economics Studies Kurtubi, kemarin.

Dia mengungkapkan hal itu pada acara peluncuran buku Memerangi
Sindrom Negara Gagal buah karya Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Migas
Nasional (Aspermigas) Effendi Siradjuddin.

BP Migas, lanjutnya, bukan badan usaha sehingga tidak bisa
menjalankan fungsi bisnis. "Jadi meskipun BP Migas diserahkan
kekayaan minyak yang berlimpah tidak bisa dikelola sendiri karena
bukan perusahaan. Akibatnya, banyak lapangan migas jatuh ke tangan asing."

Dia menyebutkan dengan kekeliruan tadi, dalam 10 tahun terakhir
pengelolaan migas tidak memberikan andil yang besar untuk
kesejahteraan rakyat. "Padahal Pasal 33 UUD 1945 menyatakan kekayaan
alam yang ada di bumi Indonesia sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat."

Atas dasar itu, Kurtubi minta pemerintahan berani merevisi atau
bahkan mencabut keberadaan UU Migas No.22/2001.

Perbaikan pengelolaan migas, lanjutnya, harus menjadi prioritas
pemerintahan hasil Pemilu 2009 sebagai solusi mencegah keterpurukan
Indonesia yang bisa mengarah menjadi negara gagal.

Oleh Ismail Fahmi
Bisnis Indonesia