jakarta, kompas - Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas mengupayakan menekan biaya produksi migas yang dibebankan ke negara atau cost recovery tahun 2009 melalui pengetatan audit keuangan yang sedang berjalan. Namun, tambahan biaya dari lapangan yang baru berproduksi tidak terhindarkan.
Deputi Finansial dan Ekonomi BP Migas Djoko Harsono, Selasa (28/7), mengemukakan, sesuai kesepakatan dengan Panitia Anggaran DPR, cost recovery tahun ini akan diusahakan untuk ditekan dari alokasi 11,05 miliar dollar AS dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 menjadi sekitar 10,44 miliar dollar AS.
”Pengawasan akan dilakukan dengan memperketat current audit tiap-tiap kontraktor,” ujarnya. Sesuai sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract/ PSC), kontraktor migas dan negara berbagi risiko atas kegiatan produksi migas.
Apabila kegiatan mencari migas tidak menghasilkan, seluruh risiko biaya yang telah dikeluarkan selama masa eksplorasi menjadi tanggungan investor. Sebaliknya, jika suatu lapangan migas berhasil memproduksi minyak maupun gas, kontraktor migas dan pemerintah akan membagi biaya yang sudah dikeluarkan.
Secara umum, bagi hasil sebelum pajak antara pemerintah dan perusahaan migas adalah 85:15 untuk minyak dan 70:30 untuk gas.
Djoko mengemukakan, cost recovery sebesar 537 juta dollar AS, sebagaimana yang dipermasalahkan Panitia Anggaran DPR, merupakan konsekuensi dari masuknya sejumlah proyek baru, termasuk Proyek Gas Alam Tangguh dan Blok Cepu.
Sesuai mekanisme kontrak bagi hasil, seluruh biaya yang sudah dikeluarkan oleh perusahaan migas selama mereka melakukan eksplorasi bisa dibebankan ketika lapangan sudah mulai berproduksi komersial.
Proyek Gas Alam Tangguh sudah berproduksi dan mengapalkan gas alam cair pertamanya ke Korea Selatan, pertengahan Juli 2009. Adapun Blok Cepu dijadwalkan mulai berproduksi September 2009.
”Memang pada tahun awal proyek baru berproduksi, beban biaya yang harus dikeluarkan pemerintah terhadap pengeluaran kontraktor sangat besar. Pemerintah hanya mendapatkan bagian migas dari kewajiban first tranche petroleum. Itu pun besarnya hanya sekitar 20 persen dari total produksi yang dihasilkan,” ujar Djoko.
Namun, karena sistem kontrak yang disepakati pemerintah dan kontraktor mengatur demikian, hal itu harus dilakukan. Ia mengakui bahwa hal itu memunculkan perdebatan ketika pelaksanaannya harus diubah untuk menyesuaikan dengan kebutuhan APBN 2009.
Menambal defisit
Pemerintah berupaya melakukan berbagai macam cara untuk menambal defisit APBN 2009 yang diproyeksikan mencapai 2,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau sekitar Rp 139 triliun. Salah satunya dengan membatasi cost recovery.
Anggota Panitia Anggaran DPR, Suharso Monoarfa, mengatakan, meskipun dari sisi alokasi DPR telah mengetahui biaya yang harus dikeluarkan untuk proyek-proyek migas baru, biaya yang harus ditanggung negara per barrel terlalu mahal.
”Kalau dihitung, cost recovery tahun ini mencapai 73 dollar AS per barrel, lebih mahal dari patokan harga minyak yang dipakai APBN,” ujarnya.
Panitia Anggaran DPR mendorong agar peraturan pemerintah yang mengatur tentang cost recovery secara lebih transparan segera diterbitkan.
Dirjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Evita Legowo mengemukakan, Rancangan PP cost recovery sudah disampaikan ke Departemen Keuangan. Namun, ia mengakui bahwa Departemen ESDM dan Depkeu harus melakukan pembahasan bersama-sama. (DOT)
sumber: http://koran. kompas.com/ read/xml/ 2009/07/29/ 04070990/ biaya.migas. akan.terus. .ditekan