Kamis, 20 Agustus 2009

Biaya Migas Akan Terus Ditekan

Rabu, 29 Juli 2009 | 04:07 WIB

jakarta, kompas - Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas mengupayakan menekan biaya produksi migas yang dibebankan ke negara atau cost recovery tahun 2009 melalui pengetatan audit keuangan yang sedang berjalan. Namun, tambahan biaya dari lapangan yang baru berproduksi tidak terhindarkan.

Deputi Finansial dan Ekonomi BP Migas Djoko Harsono, Selasa (28/7), mengemukakan, sesuai kesepakatan dengan Panitia Anggaran DPR, cost recovery tahun ini akan diusahakan untuk ditekan dari alokasi 11,05 miliar dollar AS dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 menjadi sekitar 10,44 miliar dollar AS.

”Pengawasan akan dilakukan dengan memperketat current audit tiap-tiap kontraktor,” ujarnya. Sesuai sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract/ PSC), kontraktor migas dan negara berbagi risiko atas kegiatan produksi migas.

Apabila kegiatan mencari migas tidak menghasilkan, seluruh risiko biaya yang telah dikeluarkan selama masa eksplorasi menjadi tanggungan investor. Sebaliknya, jika suatu lapangan migas berhasil memproduksi minyak maupun gas, kontraktor migas dan pemerintah akan membagi biaya yang sudah dikeluarkan.

Secara umum, bagi hasil sebelum pajak antara pemerintah dan perusahaan migas adalah 85:15 untuk minyak dan 70:30 untuk gas.

Djoko mengemukakan, cost recovery sebesar 537 juta dollar AS, sebagaimana yang dipermasalahkan Panitia Anggaran DPR, merupakan konsekuensi dari masuknya sejumlah proyek baru, termasuk Proyek Gas Alam Tangguh dan Blok Cepu.

Sesuai mekanisme kontrak bagi hasil, seluruh biaya yang sudah dikeluarkan oleh perusahaan migas selama mereka melakukan eksplorasi bisa dibebankan ketika lapangan sudah mulai berproduksi komersial.

Proyek Gas Alam Tangguh sudah berproduksi dan mengapalkan gas alam cair pertamanya ke Korea Selatan, pertengahan Juli 2009. Adapun Blok Cepu dijadwalkan mulai berproduksi September 2009.

”Memang pada tahun awal proyek baru berproduksi, beban biaya yang harus dikeluarkan pemerintah terhadap pengeluaran kontraktor sangat besar. Pemerintah hanya mendapatkan bagian migas dari kewajiban first tranche petroleum. Itu pun besarnya hanya sekitar 20 persen dari total produksi yang dihasilkan,” ujar Djoko.

Namun, karena sistem kontrak yang disepakati pemerintah dan kontraktor mengatur demikian, hal itu harus dilakukan. Ia mengakui bahwa hal itu memunculkan perdebatan ketika pelaksanaannya harus diubah untuk menyesuaikan dengan kebutuhan APBN 2009.

Menambal defisit

Pemerintah berupaya melakukan berbagai macam cara untuk menambal defisit APBN 2009 yang diproyeksikan mencapai 2,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau sekitar Rp 139 triliun. Salah satunya dengan membatasi cost recovery.

Anggota Panitia Anggaran DPR, Suharso Monoarfa, mengatakan, meskipun dari sisi alokasi DPR telah mengetahui biaya yang harus dikeluarkan untuk proyek-proyek migas baru, biaya yang harus ditanggung negara per barrel terlalu mahal.

”Kalau dihitung, cost recovery tahun ini mencapai 73 dollar AS per barrel, lebih mahal dari patokan harga minyak yang dipakai APBN,” ujarnya.

Panitia Anggaran DPR mendorong agar peraturan pemerintah yang mengatur tentang cost recovery secara lebih transparan segera diterbitkan.

Dirjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Evita Legowo mengemukakan, Rancangan PP cost recovery sudah disampaikan ke Departemen Keuangan. Namun, ia mengakui bahwa Departemen ESDM dan Depkeu harus melakukan pembahasan bersama-sama. (DOT)

sumber: http://koran. kompas.com/ read/xml/ 2009/07/29/ 04070990/ biaya.migas. akan.terus. .ditekan

Pertambangan nasional kini dan mendatang

Selasa, 28/07/2009 00:00 WIB

Pertambangan nasional kini dan mendatang
UU Minerba juga bisa memperbesar persoalan pertambangan

Oleh Tjatur Sapto Edy

Anggota Komisi VII DPR

Sejak awal Orde Baru, dengan lahirnya UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan Umum, paradigma pengelolaan dan pengusahaan sektor pertambangan umum (mineral-batu bara) cenderung hanya berorientasi pada kepentingan jangka pendek, yaitu untuk mengejar devisa.

Berpegang pada konsideran UU tersebut, khususnya poin a, yang menyebutkan "bahwa guna mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi Nasional dalam menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila maka perlulah dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap kekuatan ekonomi potensiil dibidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil", para pengambil kebijakan di negeri ini kemudian seakan saling berlomba untuk mengeksploitasi sumber-sumber pertambangan yang ada secara masif, hingga kini.

Implikasinya, pertama, dominasi korporasi besar asing (yang mempunyai modal dan teknologi untuk melakukan eskploitasi masif) dalam pengusahaan pertambangan nasional tak dapat dihindarkan.

Dalam hal produksi konsentrat tembaga misalnya, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara menguasai 100% produksi konsentrat tembaga di Indonesia. Sementara itu, tidak kurang dari 86% produksi emas dan perak nasional juga dikuasai oleh kedua perusahaan tersebut.

Kedua, pola eksploitasi the bigger the better yang cenderung abai lingkungan dan tidak mengindahkan keberlanjutan ketersediaan sumber daya pertambangan itu pada masa yang akan datang, mendominasi dari tahun ke tahun.

Dalam hal produksi batu bara misalnya, dengan hanya memiliki sisa cadangan batu bara sekitar 4.328 juta ton, atau sebesar 0,5% cadangan dunia saja, pertumbuhan produksi batu bara nasional begitu tinggi dan jauh melampaui negara-negara lain yang kaya akan batu bara.

Selama 1997 hingga 2008, pertumbuhan produksi batu bara nasional mencapai 14,06 % per tahun. Bandingkan dengan Amerika Serikat dan Rusia yang pada periode sama tingkat produksi batu baranya hanya tumbuh masing-masing sebesar 0,69% dan 2,73% per tahun, padahal cadangan batu bara keduanya masing-masing mencapai 28,9% (238.208 juta ton) dan 19% (157.010 juta ton) dari total cadangan dunia.

Ketiga, orientasi ekspor hasil produksi yang ada hanyalah dalam bentuk mentah (raw material) tanpa mengalami proses peningkatan nilai tambah lebih lanjut, sehingga kontribusi sektor pertambangan terhadap perekonomian nasional menjadi relatif rendah.

Pada 2008, saat harga komoditas pertambangan sedang tinggi, sektor pertambangan mineral-batu bara dari pajak dan non-pajak ternyata 'hanya' memberikan sumbangan sebesar Rp42,12 triliun atau sekitar 4,4% saja dari total penerimaan negara.

Sementara itu, dari sisi penyerapan tenaga kerja, dalam lima tahun terakhir, sektor pertambangan rata-rata juga hanya menyerap sekitar 0,92% saja dari keseluruhan jumlah angkatan kerja nasional.

Berbagai pihak berharap, hadirnya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (UU Minerba), dapat menyempurnakan kekurangan UU No. 11 Tahun 1967, serta mampu mengembalikan fungsi dan kewenangan negara terhadap penguasaan sumber daya alam yang dimiliki. Sehingga amanah konstitusi yang menyebutkan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat", benar-benar dapat diwujudkan.

UU Minerba memang telah terdapat beberapa perbaikan di antaranya yang paling penting adalah ditiadakannya sistem kontrak karya bagi pengusahaan pertambangan ke depan yang digantikan dengan sistem izin usaha pertambangan (IUP).

Dengan IUP maka posisi pemerintah sebagai pemberi izin tidaklah sejajar dengan kontraktror, sehingga kontrol dan kewenangan yang lebih ada pada pemerintah.

UU Minerba juga telah mengakomodasi kepentingan daerah, dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk dapat menjalankan fungsi perencanaan, pembatasan luas wilayah dan jangka waktu izin usaha pertambangan.

Meski telah terdapat berbagai perbaikan, ada beberapa catatan (kelemahan) dalam UU Minerba tersebut yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena jika tidak justru akan semakin memperberat permasalahan sektor pertambangan pada masa yang akan datang.

Pertama adalah menyangkut arah dan strategi nasional di sektor pertambangan, yang jika pemerintah pusat tidak segera menetapkan acuannya, ke depan bisa semakin tidak menentu (tidak terkontrol) dengan diberikannya kewenangan pemberian IUP kepada pemerintah daerah.

Berdasarkan data, semenjak digulirkannya otonomi daerah, tidak kurang dari 3.000 izin dan kuasa pertambangan telah di terbitkan oleh pemerintah daerah, tanpa kontrol dan pengawasan yang memadai.

Kedua, menyangkut besaran penerimaan negara dari pajak dan nonpajak, yang juga berpotensi untuk semakin tidak optimal (tidak jelas berapa jumlah yang sesungguhnya) jika kontrol dan pengawasan yang ketat tidak diterapkan terhadap IUP yang diterbitkan.

UU Minerba memang tidak mengatur secara tegas tentang hal ini tetapi 'hanya' menyerahkan pengaturannya kepada peraturan pelaksanaannya di bawahnya.

Ketiga, menyangkut kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) . UU Minerba juga tidak mengaturnya secara tegas dan eksplisit, khususnya menyangkut besarannya, sehingga kasus pembangkit listrik PLN tidak mendapatkan pasokan batu bara pada saat pertumbuhan produksi batu bara begitu besar, dapat terulang kembali pada masa akan datang.

Maka, menetapkan arah, kebijakan, dan strategi sektor pertambangan nasional (semacam GBHN sektor pertambangan) dan menuangkannya ke dalam suatu dokumen kebijakan pertambangan nasional yang bersifat resmi dan mengikat dalam pelaksanaannya, kiranya menjadi pekerjaan rumah yang utama bagi pemerintahan mendatang di sektor pertambangan.

Dalam konteks ini, perubahan paradigma dari 'pertambangan untuk devisa' menjadi 'pertambangan untuk kesejahteraan rakyat' kiranya sudah menjadi suatu keharusan untuk benar-benar diwujudkan sehingga tak hanya menjadi jargon kosong dari masa ke masa. Semoga.

URL :
http://web.bisnis. com/edisi- cetak/edisi- harian/opini/ 1id129891. html

Membenahi pengelolaan energi primer

Kamis, 16/07/2009 00:00 WIB

Membenahi pengelolaan energi primer
Penerapan DMO yang lebih tegas mutlak dilakukan

Oleh Tjatur Sapto Edy
Anggota Komisi VII FPAN DPR

Terhadap permasalahan energi yang dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi di Tanah Air, perhatian dari sebagian besar kita barangkali cenderung hanya terfokus pada apa yang tampak secara kasat mata.

Misalnya adanya pemadaman listrik bergilir, terjadinya kelangkaan minyak tanah atau elpiji, dan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) atau tarif listrik.

Apa yang sesungguhnya menjadi penyebab atau akar masalah dari semua itu? Tak banyak yang memberi perhatian lebih. Kalaupun kemudian mencoba untuk memahami mengapa semua itu terjadi, yang muncul justru kebingungan atau semacam perasaan 'tak habis pikir'.

Bagaimana mungkin negara dengan sumber energi yang beraneka ragam dan cukup melimpah ini mengalami krisis energi, tak bisa memenuhi kebutuhan energi untuk rakyatnya sendiri?

Sesungguhnya apa yang kita saksikan dan rasakan bersama seperti halnya kelangkaan energi itu adalah hanya merupakan bagian ujung akhir di dalam tahapan pengelolaan sektor energi nasional yang ada.

Bagian hilir, yang sesungguhnya sangat terkait erat dengan bagian hulu dan sekaligus merupakan cerminan dari apa yang sebenarnya terjadi di sisi hulunya.

Dengan kata lain, tampilan sektor energi nasional di sisi hilir yang memprihatinkan sebagaimana yang kita lihat dan rasakan bersama itu tak lain sejatinya adalah perwujudan dari 'sesuatu' yang buruk juga di sisi hulunya.

'Sesuatu' yang dimaksudkan dalam konteks ini tak lain adalah pengelolaan sumber-sumber energi primer seperti halnya minyak bumi, gas alam, dan batu bara, yang sampai saat ini masih merupakan tiga yang utama di negeri ini.

Pengelolaan hulu minyak bumi dan gas alam (migas), selama ini diselenggarakan melalui kontrak kerja sama (KKS) atau yang sebelumnya lebih dikenal dengan kontrak bagi hasil (production sharing contract, PSC).

Di dalam kontrak-kontrak yang ada, hampir seluruhnya memberikan kebebasan bagi para kontraktornya untuk dapat menjual atau mengekspor hasil produksinya ke mana saja, tanpa pemerintah berhak untuk melarang ataupun mencegahnya.

Sangat kecil

Ada ketentuan mengenai domestic market obligation (DMO) di dalam kontraknya yang mengatur kewajiban untuk menjual sebagian hasil produksi untuk kebutuhan domestik, tetapi secara kuantitatif jumlahnya sangat kecil, yaitu rata-rata hanya berkisar 15%-25% dari produksi migas yang menjadi bagian dari kontraktor setelah dikurangi cost recovery.

Jadi, bukan 15%-25% dari keseluruhan hasil produksi sebagaimana yang sering dipahami banyak kalangan selama ini. Kewajiban itu pun, atas nama insentif fiskal untuk menarik investasi, untuk jangka waktu setidaknya 5 tahun dari awal produksi, sebagian besar sudah ditiadakan, atau yang kita kenal dengan istilah DMO holiday.

Atas nama insentif fiskal juga, untuk mendapatkan migas yang di-DMO-kan itu pun, kita ternyata juga tidak bisa mendapatkannya dengan gratis atau dengan harga lebih murah, karena yang diberlakukan adalah harga pasar.

Inilah yang sesungguhnya yang menyebabkan mengapa kita sebagai negara pengekspor migas, juga pada saat yang sama harus menjadi pengimpornya.

Kita secara de facto sesungguhnya tak punya kuasa untuk mencegah ekspor migas dilakukan karena sistem pengelolaan yang kita anut dan terapkan memang memberikan kebebasan bagi para produsennya untuk melakukan itu.

Dan karena kita lebih sering mengimpornya kembali dengan harga yang lebih mahal, keseluruhan biaya pengadaan BBM dan elpiji di dalam negeri pun menjadi lebih tinggi daripada semestinya.

Konsekuensinya, pada saat keuangan negara tak lagi cukup untuk menutupi biaya itu, karena harga komoditas tersebut di pasar internasional sedang tinggi misalnya, yang tersisa tinggallah pilihan-pilihan yang pahit bagi rakyat seperti harga BBM atau tarif listrik atau harga elpiji naik, atau listrik mati dan elpiji langka karena pasokan energi primernya tak memadai.

Hal yang sama juga terjadi pada pengelolaan hulu batu bara. Sebagian besar dilakukan melalui sistem Perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B), di dalamnya hanya mewajibkan kontraktor untuk menyerahkan 13,5% dari hasil produksi batu baranya kepada pemerintah melalui BUMN yang berkontrak.

Namun, hal itu tidak dalam bentuk barang (inkind) tetapi dalam uang dari hasil penjualan, sehingga secara fisik, keberadaan batu bara tersebut di Tanah Air tidak selalu benar-benar ada manakala ekspor sudah dilakukan oleh para kontraktor batu bara tersebut.

Inilah yang selama ini terjadi sehingga dari keseluruhan produksi batu bara nasional yang mencapai 183 juta ton pada 2008, untuk mencukupi kebutuhan batu bara PLN yang mencapai 30 juta ton saja kita tak mampu memenuhi tanpa harus mengimpor lagi.

Ketika harga batu bara di pasar internasional melonjak dan anggaran subsidi listrik PLN terbatas, kemudian yang terjadi adalah PLN tak mampu membeli batu bara tersebut sehingga pembangkit listrik berbahan bakar batu bara tak dapat dioperasikan secara optimal. Akibatnya, sudah sangat sering kita rasakan bersama, pemadaman listrik bergiliran.
Becermin dari hal itu, maka pembenahan pengelolaan sumber energi primer melalui penerapan aturan DMO yang lebih tegas mutlak segera dilakukan.

Dalam hal DMO migas, keberanian untuk menerapkannya kembali pada kontrak-kontrak baru dan bilamana perlu mengubah beberapa kontrak lama yang sudah berjalan semestinya menjadi suatu langkah konkret yang segera diimplementasikan.

Dalam hal DMO batu bara, selain langkah tersebut, penerbitan peraturan pemerintah yang menetapkan besaran DMO yang lebih besar, di atas 30% misalnya, semestinya juga dapat dilakukan dengan segera mengingat urgensinya yang terkait dengan proyek listrik 10.000 megawatt.

Kedua langkah ini jika diterapkan dengan segera tidak saja akan dapat lebih menjamin terpenuhinya pasokan energi primer bagi domestik secara lebih baik dan lebih murah, tetapi juga pada akhirnya akan menyelesaikan permasalahan hilir sektor energi yang ada secara lebih mendasar.

Hal itu sesungguhnya tak lain adalah salah satu wujud dari pelaksanaan amanat konstitusi UUD 1945 yang secara jelas memang menyatakan bahwa bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus 'dikuasai oleh negara', dan bukan 'dikuasai oleh kontraktor', terlebih kontraktor asing.

Semoga pemerintahan yang baru nantinya mampu melaksanakannya.

URL : http://web.bisnis. com/edisi- cetak/edisi- harian/opini/ 1id128240. html

Perkembangan Status KKS Migas Tahun 2000-2009

KAMIS, 30 JULI 2009 11:29 WIB

DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
REPUBLIK INDONESIA

SIARAN PERS
NOMOR : 52/HUMAS DESDM/2009
Tanggal : 30 Juli 2009


PERKEMBANGAN STATUS KONTRAK KERJA SAMA (KKS) MIGAS TAHUN 2000-2009

Semenjak diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), berdasarkan proses penawaran Wilayah Kerja (WK) Migas yang dilaksanakan oleh Pemerintah cq. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah ditandatangani sebanyak 140 Kontrak Kerja Sama (KKS) antara BPMIGAS dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Status dari 140 KKS tersebut adalah 131 merupakan KKS eksplorasi, 1 KKS produksi (Blok Wailawi), 2 KKS telah mendapatkan persetujuan Plan of Development (POD) I dan 6 KKS terminasi/pengakhir an kontrak dan mengembalikan seluruh Wilayah Kerjanya kepada Pemerintah.

Alasan terjadinya terminasi untuk keenam Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) adalah :

  1. Kontraktor telah melaksanakan komitmen eksplorasi, namun belum menemukan hidrokarbon yang ekonomis untuk dikembangkan. Alasan ini untuk 5 KKS yaitu Wilayah Kerja Sakakemang, Bawean I, Nila, North East Madura IV dan North Bali I.
  2. Kontraktor tidak melaksanakan komitmen pasti eksplorasi sebanyak 1 KKS yaitu Wilayah Kerja Bone.


Sedangkan untuk Kontraktor yang telah berhasil menemukan hidrokarbon yang ekonomis untuk dikembangkan dan telah mendapat persetujuan Plan of Development (PoD) I yaitu Wilayah Kerja Cepu dan Bangkanai.

Adapun untuk realisasi investasi di bidang hulu migas cenderung mengalami peningkatan selama kurun waktu 2000 - 2009. Jika pada tahun 2000 sebesar US$ 3,391,000.00 maka pada tahun 2008 mengalami peningkatan menjadi US$ 12,096,000.00. Sedangkan untuk tahun 2009 ditargetkan realisasi investasi sebesar US$ 13,166,000.00.

Kepala Biro Hukum dan Humas




Sutisna Prawira

(ADMINISTRATOR)