Senin, 31 Agustus 2009
Tumpahan CPO Tanker Phlilipina Cemari Perairan Dumai
Ahad, 30 Agustus 2009
Perairan Dumai tercemar sejak kemarin. Tumpahan CPO yang diangkut sebuah kapal tanker berbendera Philipa sebagai penyebab.
Riauterkini-PEKANBARU- Diperkirakan 2 ton Crude Palm Oil (CPO) tercurah ke perairan di Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Dumai dari kapal tangker Marion Lopaz berbedera Philipina. Insiden CPO tertumpah ke laut terjadi sekitar pukul 6.00 WIB, Sabtu (29/8/09) kemarin dan pada pukul 15.00 WIB petang kemarin kapal tersebut sudah melanjutkan pelayaran.
Berdasarkan informasi yang dihimpun riauterkini dari sejumlah sumber. Sampai hari ini, Ahad (30/8/09) masih banyak warga masyarakat yang mengumpulkan tumpahan CPO untuk dijual kepada pengumpul. Mereka cukup beruntung, karena setiap kilogram CPO diberi pengumpul Rp 1.250 sampa Rp 1.500.
Sementara menurut Humas Pelindo II Dumai M Syarif, saat ini seluruh CPO yang tertumpah sudah berhasil dibersihkan. “Sudah bersih sejak kemarin. Kalau ada warga yang masih mencari tumpahan CPO, itu dilakukan di tepi. Bukan di perairan,” kilahnya saat dihubungi riauterkini.
Syarif juga melusurkan anggapan yang menyebut terjadi tumpahan CPO dari tanker Philipina tersebut, yang benar terjadi kesalahan saat pengisian CPO di mana pipa pemasok sempat kurang tepat memasanganya.***(mad)
PT CPI Diganjar Denda Rp 2 Miliar
Hal ini terungkap Senin (31/8) di Jakarta dalam sidang pembacaan putusan terhadap dugaan pelanggaran pasal 22 UU Nomor 5/1999 tentang larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Kantor Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Jakarta. Sidang dipimpin Ketua Majelis Komisi Tadjuddin Noer Said. Berdasarkan fakta-fakta yang ada, Majelis Komisi menyatakan PT CPI sebagai terlapor I terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 22 UU Nomor 5/1999.
Dalam perkara ini, PT CPI yang menjadi panitia lelang diduga melakukan persekongkolan dan memfasilitasi peserta lelang untuk mengatur calon pemenang lelang.
Lelang jasa-jasa kebersihan dan pelayanan dalam gedung di Duri-Dumai, Riau merupakan lelang paket I di lingkungan PT CPI dengan pagu mencapai 5.372.366 dolar AS. Sedangkan untuk lelang Rumbai-Minas, Riau merupakan paket II dengan pagu sebesar 4.422.284 dolar AS.
Lelang yang diumumkan pada 2007 ini akhirnya dimenangkan oleh PT NIS untuk paket I dan II. Namun, PT NIS akhirnya memilih untuk mengambil paket II saja. Kemudian paket I diambil oleh PT Avia. Dalam putusannya, Majelis Komisi juga menyatakan seluruh terlapor peserta lelang bersalah dan melanggar pasal 22 UU Nomor 5/1999. Pasalnya, peserta lelang terbukti membuat Surat Kesepakatan Bersama untuk mengatur dan menentukan peserta lelang.
Manager Communications & Media Relations PT Chevron Pacific Indonesia, Hanafi Kadir yang dihubungi melalui selulernya mengatakan, CPI sudah mendapat informasi tersebut, namun belum menerima salinan keputusan. ‘’Kami telah mendengar tentang keputusan itu hari ini, namun kami belum menerima salinan keputusannya dan akan mempelajarinya,’’ katanya.(hen)
Pemprov Jangan Paksakan SPR
PEKANBARU-Sikap ngotot Pemprov Riau memberikan hak pengelolaan Blok Langgak kepada PT Sarana Pembangunan Riau (SPR) terus mengundang keheranan banyak pihak. Selain memang core bisnis PT SPR bukan di bidang perminyakan, BUMD Pemprov Riau itu diragukan kesiapannya untuk mengelola ladang minyak yang akan ditinggalkan PT Chevron Pasifik Indonesia (CPI) akhir tahun ini. "Dari dahulu mereka selalu bilang semua syarat-syarat sudah beres. Apanya yang beres, toh gagalkan?" kata anggota Komisi B DPRD Riau Syamsul Hidayah Kahar dengan nada ketus kepada Riau Mandiri, Senin (31/8), menanggapi pernyataan Kadistamben Riau Abdul Lafiz yang menegaskan Pemprov Riau siap untuk mengelola Blok Langgak setelah perpanjangan kontrak Chevron berakhir. Menurut Syamsul lagi, jika memang PT SPR yang ditunjuk Pemprov mengelola Blok Langgak tak siap, tidak usah dipaksakan."Jka memang tidak sanggup serahkan saja kepada PT Riau Petroleum. Toh secara core bisnis Riau Petroleum lebih tepat. Kalau persoalan Dirut PT Riau Petroleum tidak sejalan dengan Pemprov, ya diganti saja," kata Syamsul Hidayah.
Kadistamben Riau Abdul Lafiz secara terpisah kemarin sesumbar mengatakan Blok Langgak sudah dipastikan akan didapati Riau, setelah kontrak perpanjangan Chevron berakhir nanti. "Ini bukan masalah rebut-merebut lagi. Blok Langgak itu sudah pasti diserahkan kepada Riau. Kan seperti yang disampaikan Menteri saat acara 11 miliar barer produksi minyak Chevron beberapa waktu lalu," tandasnya. Dikatakan Lafiz sesuai pernyataan Menteri ESDM dalam acara 11 miliar barel, Pemerintah Pusat memastikan Blok Langgak akan diserahkan kepada Pemprov Riau setelah kontrak perpanjangan satu tahun Chevron berakhir akhir tahun 2009 ini.
Tinggal Tunggu SK
Kasubdin Kelistrikan dan Sumberdaya Mineral Distamben Riau Abdi Haro dalam kesempatan terpisah mempertegas ucapan atasannya itu. Kata Haro, pengelolaan Blok Langgak oleh PT SPR tinggal menunggu SK dari Menteri ESDM. Joint Study yang telah berlangsung sekitar empat bulan lalu saat ini tengah dilakukan finalisasi pengujian oleh tim dari Dirjen Migas dan tim independen yang ditetapkan berdasarkan SK Dirjen Migas. "Biasanya perusahaan yang sudah joint study yang yang tidak diterima untuk mengelola, karena joins study ini melibatkan tenaga yang sudah pakar dan profesional," ujarnya.
Lebih jauh dijelaskan Abdi Haro, joint study ini dilakukan dengan lima lembaga independen, yakni ITB, UPN Veteran Yogyakarta, Tri Sakti, Unpad dan UGM. Untuk memperoleh joint study ini, sesuai dengan PP nomor 040 tahun 2006 tentang tata cara penawaran wilayah kerja Migas diantaranya harus menyetorkan uang sebesar US$500.000 (sekitar Rp5 miliar), kemudian BUMD menyiapkan laporan singkat geologi, geofisika lokasi wilayah. Kemudian menyiapkan peta standar perminyakan, yang juga dibuat oleh Dirjen Migas. Menyiapkan laporan keuangan pembiayaan, SDM, tekhnis dll, serta rencana pengembangan ke depan. "Ini disampaikan kepada pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber daya Mineral," ujarnya. PT SPR menurut Abdi sudah menyiapkan persyaratan ini sehingga dapat dilakukan joint study. Sementara PT Riau Petroleum belum memenuhi persyaratan ini sehingga belum sampai ke joint study dan diproses untuk memperoleh mengelola wilayah perminyakan.
Kesalahan Riau
Tokoh Masyarakat Riau yang juga pengurus Forum Komunikasi Masyarakat Riau (FKPMR), Al Azhar menilai, lepasnya Blok Langgak ke 'pangkuan' PT Chevron beberapa waktu lalu, bukan kesalahan Menteri ESDM. Dulu, kenang Al Azhar, blok Langgak itu mau dilelang pemerintah pusat, lalu Riau memberontak dan yakin mau mengambil alih blok langgak, akibatnya pemerintah pusat pun melemah. "Pemerintah pusat pun meminta pemprov mengajukan perusahaan untuk kelola blok langgak," ujar Al Azhar. Namun ketika itu yang diajukan PT SPR. Hal itu juga jadi pertanyaan Al Azhar karena PT SPR dinilai tak memenuhi persyaratan untuk mengelola bidang perminyakan. Di sisi lain Riau mempunyai PT Riau Petroleum. Karena tarik-menarik itu, Pusat akhirnya kembali memperpanjang kontrak Chevron di Blok Langgak. "Persoalannya ada pada kita, bukan pada kementerian ESDM," sebut Al Azhar.
Pengamat ekonomi Riau Edianus Herman Halim memilih berharap agar Blok Langgak tidak lepas lagi dan bisa dikelola Riau. "Mudah-mudahan blok langgak dikelola oleh Riau. Jangan sampai blok langgak dikelola, oleh pihak lain lagi, karena untuk kemaslahatan Riau," katanya. Anggota DPRD Riau dari Fraksi PKS Syafruddin Saan juga menekankan Pemprov Riau lebih serius mendapatkan Blok Langgak di tahun ini, jangan sampai gagal lagi. Sebab,kontrak perpanjangan Chevron sudah berjalan lebih 6 bulan dan segera akan berakhir. "Yang penting rebut blok itu dulu, persoalan BUMD mana yang akan mengelola kita lihat nanti," tandasnya. (tim)
Kamis, 20 Agustus 2009
Biaya Migas Akan Terus Ditekan
jakarta, kompas - Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas mengupayakan menekan biaya produksi migas yang dibebankan ke negara atau cost recovery tahun 2009 melalui pengetatan audit keuangan yang sedang berjalan. Namun, tambahan biaya dari lapangan yang baru berproduksi tidak terhindarkan.
Deputi Finansial dan Ekonomi BP Migas Djoko Harsono, Selasa (28/7), mengemukakan, sesuai kesepakatan dengan Panitia Anggaran DPR, cost recovery tahun ini akan diusahakan untuk ditekan dari alokasi 11,05 miliar dollar AS dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 menjadi sekitar 10,44 miliar dollar AS.
”Pengawasan akan dilakukan dengan memperketat current audit tiap-tiap kontraktor,” ujarnya. Sesuai sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract/ PSC), kontraktor migas dan negara berbagi risiko atas kegiatan produksi migas.
Apabila kegiatan mencari migas tidak menghasilkan, seluruh risiko biaya yang telah dikeluarkan selama masa eksplorasi menjadi tanggungan investor. Sebaliknya, jika suatu lapangan migas berhasil memproduksi minyak maupun gas, kontraktor migas dan pemerintah akan membagi biaya yang sudah dikeluarkan.
Secara umum, bagi hasil sebelum pajak antara pemerintah dan perusahaan migas adalah 85:15 untuk minyak dan 70:30 untuk gas.
Djoko mengemukakan, cost recovery sebesar 537 juta dollar AS, sebagaimana yang dipermasalahkan Panitia Anggaran DPR, merupakan konsekuensi dari masuknya sejumlah proyek baru, termasuk Proyek Gas Alam Tangguh dan Blok Cepu.
Sesuai mekanisme kontrak bagi hasil, seluruh biaya yang sudah dikeluarkan oleh perusahaan migas selama mereka melakukan eksplorasi bisa dibebankan ketika lapangan sudah mulai berproduksi komersial.
Proyek Gas Alam Tangguh sudah berproduksi dan mengapalkan gas alam cair pertamanya ke Korea Selatan, pertengahan Juli 2009. Adapun Blok Cepu dijadwalkan mulai berproduksi September 2009.
”Memang pada tahun awal proyek baru berproduksi, beban biaya yang harus dikeluarkan pemerintah terhadap pengeluaran kontraktor sangat besar. Pemerintah hanya mendapatkan bagian migas dari kewajiban first tranche petroleum. Itu pun besarnya hanya sekitar 20 persen dari total produksi yang dihasilkan,” ujar Djoko.
Namun, karena sistem kontrak yang disepakati pemerintah dan kontraktor mengatur demikian, hal itu harus dilakukan. Ia mengakui bahwa hal itu memunculkan perdebatan ketika pelaksanaannya harus diubah untuk menyesuaikan dengan kebutuhan APBN 2009.
Menambal defisit
Pemerintah berupaya melakukan berbagai macam cara untuk menambal defisit APBN 2009 yang diproyeksikan mencapai 2,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau sekitar Rp 139 triliun. Salah satunya dengan membatasi cost recovery.
Anggota Panitia Anggaran DPR, Suharso Monoarfa, mengatakan, meskipun dari sisi alokasi DPR telah mengetahui biaya yang harus dikeluarkan untuk proyek-proyek migas baru, biaya yang harus ditanggung negara per barrel terlalu mahal.
”Kalau dihitung, cost recovery tahun ini mencapai 73 dollar AS per barrel, lebih mahal dari patokan harga minyak yang dipakai APBN,” ujarnya.
Panitia Anggaran DPR mendorong agar peraturan pemerintah yang mengatur tentang cost recovery secara lebih transparan segera diterbitkan.
Dirjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Evita Legowo mengemukakan, Rancangan PP cost recovery sudah disampaikan ke Departemen Keuangan. Namun, ia mengakui bahwa Departemen ESDM dan Depkeu harus melakukan pembahasan bersama-sama. (DOT)
sumber: http://koran. kompas.com/ read/xml/ 2009/07/29/ 04070990/ biaya.migas. akan.terus. .ditekan
Pertambangan nasional kini dan mendatang
Selasa, 28/07/2009 00:00 WIB
Pertambangan nasional kini dan mendatang
UU Minerba juga bisa memperbesar persoalan pertambangan
Oleh Tjatur Sapto Edy
Anggota Komisi VII DPR
Berpegang pada konsideran UU tersebut, khususnya poin a, yang menyebutkan "bahwa guna mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi Nasional dalam menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila maka perlulah dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap kekuatan ekonomi potensiil dibidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil", para pengambil kebijakan di negeri ini kemudian seakan saling berlomba untuk mengeksploitasi sumber-sumber pertambangan yang ada secara masif, hingga kini.
Implikasinya, pertama, dominasi korporasi besar asing (yang mempunyai modal dan teknologi untuk melakukan eskploitasi masif) dalam pengusahaan pertambangan nasional tak dapat dihindarkan.
Dalam hal produksi konsentrat tembaga misalnya, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara menguasai 100% produksi konsentrat tembaga di Indonesia. Sementara itu, tidak kurang dari 86% produksi emas dan perak nasional juga dikuasai oleh kedua perusahaan tersebut.
Kedua, pola eksploitasi the bigger the better yang cenderung abai lingkungan dan tidak mengindahkan keberlanjutan ketersediaan sumber daya pertambangan itu pada masa yang akan datang, mendominasi dari tahun ke tahun.
Dalam hal produksi batu bara misalnya, dengan hanya memiliki sisa cadangan batu bara sekitar 4.328 juta ton, atau sebesar 0,5% cadangan dunia saja, pertumbuhan produksi batu bara nasional begitu tinggi dan jauh melampaui negara-negara lain yang kaya akan batu bara.
Selama 1997 hingga 2008, pertumbuhan produksi batu bara nasional mencapai 14,06 % per tahun. Bandingkan dengan Amerika Serikat dan Rusia yang pada periode sama tingkat produksi batu baranya hanya tumbuh masing-masing sebesar 0,69% dan 2,73% per tahun, padahal cadangan batu bara keduanya masing-masing mencapai 28,9% (238.208 juta ton) dan 19% (157.010 juta ton) dari total cadangan dunia.
Ketiga, orientasi ekspor hasil produksi yang ada hanyalah dalam bentuk mentah (raw material) tanpa mengalami proses peningkatan nilai tambah lebih lanjut, sehingga kontribusi sektor pertambangan terhadap perekonomian nasional menjadi relatif rendah.
Pada 2008, saat harga komoditas pertambangan sedang tinggi, sektor pertambangan mineral-batu bara dari pajak dan non-pajak ternyata 'hanya' memberikan sumbangan sebesar Rp42,12 triliun atau sekitar 4,4% saja dari total penerimaan negara.
Sementara itu, dari sisi penyerapan tenaga kerja, dalam lima tahun terakhir, sektor pertambangan rata-rata juga hanya menyerap sekitar 0,92% saja dari keseluruhan jumlah angkatan kerja nasional.
Berbagai pihak berharap, hadirnya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (UU Minerba), dapat menyempurnakan kekurangan UU No. 11 Tahun 1967, serta mampu mengembalikan fungsi dan kewenangan negara terhadap penguasaan sumber daya alam yang dimiliki. Sehingga amanah konstitusi yang menyebutkan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat", benar-benar dapat diwujudkan.
UU Minerba memang telah terdapat beberapa perbaikan di antaranya yang paling penting adalah ditiadakannya sistem kontrak karya bagi pengusahaan pertambangan ke depan yang digantikan dengan sistem izin usaha pertambangan (IUP).
Dengan IUP maka posisi pemerintah sebagai pemberi izin tidaklah sejajar dengan kontraktror, sehingga kontrol dan kewenangan yang lebih ada pada pemerintah.
UU Minerba juga telah mengakomodasi kepentingan daerah, dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk dapat menjalankan fungsi perencanaan, pembatasan luas wilayah dan jangka waktu izin usaha pertambangan.
Meski telah terdapat berbagai perbaikan, ada beberapa catatan (kelemahan) dalam UU Minerba tersebut yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena jika tidak justru akan semakin memperberat permasalahan sektor pertambangan pada masa yang akan datang.
Pertama adalah menyangkut arah dan strategi nasional di sektor pertambangan, yang jika pemerintah pusat tidak segera menetapkan acuannya, ke depan bisa semakin tidak menentu (tidak terkontrol) dengan diberikannya kewenangan pemberian IUP kepada pemerintah daerah.
Berdasarkan data, semenjak digulirkannya otonomi daerah, tidak kurang dari 3.000 izin dan kuasa pertambangan telah di terbitkan oleh pemerintah daerah, tanpa kontrol dan pengawasan yang memadai.
Kedua, menyangkut besaran penerimaan negara dari pajak dan nonpajak, yang juga berpotensi untuk semakin tidak optimal (tidak jelas berapa jumlah yang sesungguhnya) jika kontrol dan pengawasan yang ketat tidak diterapkan terhadap IUP yang diterbitkan.
UU Minerba memang tidak mengatur secara tegas tentang hal ini tetapi 'hanya' menyerahkan pengaturannya kepada peraturan pelaksanaannya di bawahnya.
Ketiga, menyangkut kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) . UU Minerba juga tidak mengaturnya secara tegas dan eksplisit, khususnya menyangkut besarannya, sehingga kasus pembangkit listrik PLN tidak mendapatkan pasokan batu bara pada saat pertumbuhan produksi batu bara begitu besar, dapat terulang kembali pada masa akan datang.
Maka, menetapkan arah, kebijakan, dan strategi sektor pertambangan nasional (semacam GBHN sektor pertambangan) dan menuangkannya ke dalam suatu dokumen kebijakan pertambangan nasional yang bersifat resmi dan mengikat dalam pelaksanaannya, kiranya menjadi pekerjaan rumah yang utama bagi pemerintahan mendatang di sektor pertambangan.
Dalam konteks ini, perubahan paradigma dari 'pertambangan untuk devisa' menjadi 'pertambangan untuk kesejahteraan rakyat' kiranya sudah menjadi suatu keharusan untuk benar-benar diwujudkan sehingga tak hanya menjadi jargon kosong dari masa ke masa. Semoga.
URL : http://web.bisnis. com/edisi- cetak/edisi- harian/opini/ 1id129891. html
Membenahi pengelolaan energi primer
Kamis, 16/07/2009 00:00 WIB
Membenahi pengelolaan energi primer
Penerapan DMO yang lebih tegas mutlak dilakukan
Oleh Tjatur Sapto Edy
Anggota Komisi VII FPAN DPR
Misalnya adanya pemadaman listrik bergilir, terjadinya kelangkaan minyak tanah atau elpiji, dan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) atau tarif listrik.
Apa yang sesungguhnya menjadi penyebab atau akar masalah dari semua itu? Tak banyak yang memberi perhatian lebih. Kalaupun kemudian mencoba untuk memahami mengapa semua itu terjadi, yang muncul justru kebingungan atau semacam perasaan 'tak habis pikir'.
Bagaimana mungkin negara dengan sumber energi yang beraneka ragam dan cukup melimpah ini mengalami krisis energi, tak bisa memenuhi kebutuhan energi untuk rakyatnya sendiri?
Sesungguhnya apa yang kita saksikan dan rasakan bersama seperti halnya kelangkaan energi itu adalah hanya merupakan bagian ujung akhir di dalam tahapan pengelolaan sektor energi nasional yang ada.
Bagian hilir, yang sesungguhnya sangat terkait erat dengan bagian hulu dan sekaligus merupakan cerminan dari apa yang sebenarnya terjadi di sisi hulunya.
Dengan kata lain, tampilan sektor energi nasional di sisi hilir yang memprihatinkan sebagaimana yang kita lihat dan rasakan bersama itu tak lain sejatinya adalah perwujudan dari 'sesuatu' yang buruk juga di sisi hulunya.
'Sesuatu' yang dimaksudkan dalam konteks ini tak lain adalah pengelolaan sumber-sumber energi primer seperti halnya minyak bumi, gas alam, dan batu bara, yang sampai saat ini masih merupakan tiga yang utama di negeri ini.
Pengelolaan hulu minyak bumi dan gas alam (migas), selama ini diselenggarakan melalui kontrak kerja sama (KKS) atau yang sebelumnya lebih dikenal dengan kontrak bagi hasil (production sharing contract, PSC).
Di dalam kontrak-kontrak yang ada, hampir seluruhnya memberikan kebebasan bagi para kontraktornya untuk dapat menjual atau mengekspor hasil produksinya ke mana saja, tanpa pemerintah berhak untuk melarang ataupun mencegahnya.
Sangat kecil
Ada ketentuan mengenai domestic market obligation (DMO) di dalam kontraknya yang mengatur kewajiban untuk menjual sebagian hasil produksi untuk kebutuhan domestik, tetapi secara kuantitatif jumlahnya sangat kecil, yaitu rata-rata hanya berkisar 15%-25% dari produksi migas yang menjadi bagian dari kontraktor setelah dikurangi cost recovery.
Jadi, bukan 15%-25% dari keseluruhan hasil produksi sebagaimana yang sering dipahami banyak kalangan selama ini. Kewajiban itu pun, atas nama insentif fiskal untuk menarik investasi, untuk jangka waktu setidaknya 5 tahun dari awal produksi, sebagian besar sudah ditiadakan, atau yang kita kenal dengan istilah DMO holiday.
Atas nama insentif fiskal juga, untuk mendapatkan migas yang di-DMO-kan itu pun, kita ternyata juga tidak bisa mendapatkannya dengan gratis atau dengan harga lebih murah, karena yang diberlakukan adalah harga pasar.
Inilah yang sesungguhnya yang menyebabkan mengapa kita sebagai negara pengekspor migas, juga pada saat yang sama harus menjadi pengimpornya.
Kita secara de facto sesungguhnya tak punya kuasa untuk mencegah ekspor migas dilakukan karena sistem pengelolaan yang kita anut dan terapkan memang memberikan kebebasan bagi para produsennya untuk melakukan itu.
Dan karena kita lebih sering mengimpornya kembali dengan harga yang lebih mahal, keseluruhan biaya pengadaan BBM dan elpiji di dalam negeri pun menjadi lebih tinggi daripada semestinya.
Konsekuensinya, pada saat keuangan negara tak lagi cukup untuk menutupi biaya itu, karena harga komoditas tersebut di pasar internasional sedang tinggi misalnya, yang tersisa tinggallah pilihan-pilihan yang pahit bagi rakyat seperti harga BBM atau tarif listrik atau harga elpiji naik, atau listrik mati dan elpiji langka karena pasokan energi primernya tak memadai.
Hal yang sama juga terjadi pada pengelolaan hulu batu bara. Sebagian besar dilakukan melalui sistem Perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B), di dalamnya hanya mewajibkan kontraktor untuk menyerahkan 13,5% dari hasil produksi batu baranya kepada pemerintah melalui BUMN yang berkontrak.
Namun, hal itu tidak dalam bentuk barang (inkind) tetapi dalam uang dari hasil penjualan, sehingga secara fisik, keberadaan batu bara tersebut di Tanah Air tidak selalu benar-benar ada manakala ekspor sudah dilakukan oleh para kontraktor batu bara tersebut.
Inilah yang selama ini terjadi sehingga dari keseluruhan produksi batu bara nasional yang mencapai 183 juta ton pada 2008, untuk mencukupi kebutuhan batu bara PLN yang mencapai 30 juta ton saja kita tak mampu memenuhi tanpa harus mengimpor lagi.
Ketika harga batu bara di pasar internasional melonjak dan anggaran subsidi listrik PLN terbatas, kemudian yang terjadi adalah PLN tak mampu membeli batu bara tersebut sehingga pembangkit listrik berbahan bakar batu bara tak dapat dioperasikan secara optimal. Akibatnya, sudah sangat sering kita rasakan bersama, pemadaman listrik bergiliran.
Becermin dari hal itu, maka pembenahan pengelolaan sumber energi primer melalui penerapan aturan DMO yang lebih tegas mutlak segera dilakukan.
Dalam hal DMO migas, keberanian untuk menerapkannya kembali pada kontrak-kontrak baru dan bilamana perlu mengubah beberapa kontrak lama yang sudah berjalan semestinya menjadi suatu langkah konkret yang segera diimplementasikan.
Dalam hal DMO batu bara, selain langkah tersebut, penerbitan peraturan pemerintah yang menetapkan besaran DMO yang lebih besar, di atas 30% misalnya, semestinya juga dapat dilakukan dengan segera mengingat urgensinya yang terkait dengan proyek listrik 10.000 megawatt.
Kedua langkah ini jika diterapkan dengan segera tidak saja akan dapat lebih menjamin terpenuhinya pasokan energi primer bagi domestik secara lebih baik dan lebih murah, tetapi juga pada akhirnya akan menyelesaikan permasalahan hilir sektor energi yang ada secara lebih mendasar.
Hal itu sesungguhnya tak lain adalah salah satu wujud dari pelaksanaan amanat konstitusi UUD 1945 yang secara jelas memang menyatakan bahwa bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus 'dikuasai oleh negara', dan bukan 'dikuasai oleh kontraktor', terlebih kontraktor asing.
Semoga pemerintahan yang baru nantinya mampu melaksanakannya.
URL : http://web.bisnis. com/edisi- cetak/edisi- harian/opini/ 1id128240. html
Perkembangan Status KKS Migas Tahun 2000-2009
KAMIS, 30 JULI 2009 11:29 WIB
DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL |
Semenjak diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), berdasarkan proses penawaran Wilayah Kerja (WK) Migas yang dilaksanakan oleh Pemerintah cq. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah ditandatangani sebanyak 140 Kontrak Kerja Sama (KKS) antara BPMIGAS dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Status dari 140 KKS tersebut adalah 131 merupakan KKS eksplorasi, 1 KKS produksi (Blok Wailawi), 2 KKS telah mendapatkan persetujuan Plan of Development (POD) I dan 6 KKS terminasi/pengakhir an kontrak dan mengembalikan seluruh Wilayah Kerjanya kepada Pemerintah.
|
Kepala Biro Hukum dan Humas |
(ADMINISTRATOR)
Rabu, 19 Agustus 2009
DBH Migas Riau 2009 Bertambah Rp300 M
PEKANBARU-Penerimaan Riau dari dana bagi hasil (DBH) migas untuk tahun 2009 bertambah sekitar Rp 300 miliar. Pertambahan ini akibat adanya perhitungan kenaikan harga minyak dari April hingga Juli 2009. Meski demikian, Provinsi Riau belum akan dapat menikmati pertambahan ini. Pasalnya, utang DBH migas tahun 2008 yang berjumlah Rp 426 miliar lebih, hingga kini belum dibayar Pemerintah Pusat. Informasi pertambahan DBH migas ini terungkap dari pernyataan Sekdaprov Riau Wan Syamsir Yus, Rabu (12/8) saat ditanya mengenai kesiapan Pemprov Riau dalam pengajuan APBD Perubahan 2009.
Menurut Wan Syamsir Yus, informasi yang diperoleh, kenaikan penerimaan DBH migas ini akibat adanya selisih harga dan secara keuangan Riau akan diuntungkan karena akan menambah pendapatan daerah. Tapi jika pemerintah mencicilnya kembali sebagaimana dilakukan pada DBH migas tahun 2008 maka utang pemerintah pusat ke daerah akan tambah banyak. “Kalau tak dibayarkan maka utang pemerintah ke daerah ini makin banyak,” katanya, selepas pertemuan dengan Balitbang Riau. Anggota DPR RI asal Riau, Muhammad Tonas dikesempatan terpisah turut mendesak pusat agar menunaikan kewajibannya terhadap Riau. Tidak ada alasan bagi pusat untuk menahan terlalu lama DBH migas tahun lalu. Pasalnya dana itu sudah harus diterima Riau seiring dengan telah berakhirnya masa tahun anggaran 2008. Kecuali untuk 2009 memang sesuai aturan pemerintah dibayarkan per triwulannya.
Kepala Bappeda Riau Emrizal Pakis juga mengkhawatirkan jika dana itu tak segera dicairkan maka akan terjadi defisit anggaran di APBD Riau 2009 mencapai Rp140 miliar lebih dan tidak mampu membayar gaji pegawai lima bulan ke depan. (yon )
Riau Merasa Dipermainkan Pusat Soal DBH Migas
Riau Merasa Dipermainkan Pusat Soal DBH Migas
Pemerintah pusat dinilai sangat keterlalui terhadap Riau soal DBH Migas. Sudahlah tidak transparan, jatah Riau juga selalu ditangguhkan pembayarannya.
Riauterkini-PEKANBARU- Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) Riau Said Mukri tak bisa menyebunyikan kejengkelannya terhadap pemerintah pusat, terutama Departemen Keungan terkait berbelit-belitnya prosedur pembayaran dana bagi hasil (DBH) Migas. Ia menilai sikap pemerintah pusat sudah keterlaluan dan terkesan mempermainkan Riau dan daerah penghasil Migas.
“Pusat sudah keterlaluan mengenai DBH Migas. Mereka selalu sepihak menentukan aturan yang terus merugikan daerah,” runtuknya saat berbincang dengan riauterkini di ruang kerja Biro Keuangan Mulkan Syarif, Rabu (19/8/09).
Dijelaskan Said, tahun ini kemampuan anggaran Pemprov Riau dan seluruh kabupaten/kota di Riau dipastikan melemah. Pasalnya jatah DBH Migas 2008 sebesar Rp 2.661 triliun batal dibayar pusat tahun ini, melainkan baru dicicil 10 persen pada 2010 mendatang.
Padahal, waktu pemerintah pusat telah mengajukan nota keuangan RAPBN Perubahan (P) 2009, tepatnya 23 Juni lalu, Gubernur Riau M Rusli Zainal sudah mengirim surat kepada Pantia Anggaran (Panggar) DPR RI agar kurang setor DBH Migas 2008 dibayar penun 2009. “Tapi surat Pak Gubernur tersebut sama sekali tidak berpengaruh. DPR tetap menetapkan pembayarannya dicicil hanya 19,75 persen,” sesalnya.
Lebih menyakitkan lagi, lanjut Said Mukri, pada nota keuangan RAPBN 2010 yang disampaikan Presiden SBY beberapa hari lalu, kembali pemerintah pusat tidak mau membayar tuntas jatah DBH Migas 2008, bahkan hanya akan dicicil 10 persen saja.
Pemprov Riau sudah memprotes keputusan tersebut. Said Mukri mengatakan pihaknya langsung menemui Departemen Keuangan menanyakan masalah tersebut, namun Departemen Keuangan justru melempar bola dengan menyuruh Riau berjuang di DPR. “Kalau mereka mau, mengapa pula mereka menyuruh kami berjuang di DPR, cukuplah mereka mengakomodir dengan menyampaikan pada Panggar saat rapat penyesuaian nantinya,” demikian keluhan Said Mukri.***(mad)
Miliki Cadangan 20-30 Juta Barel Pertamina Eksplorasi Sumur Minyak Baru
Miliki Cadangan 20-30 Juta Barel Pertamina Eksplorasi Sumur Minyak Baru | |
|
Sabtu, 21 Maret 2009
Semburan Air Bercampur Lumpur Berhenti
Wabup yang datang sediri ke lokasi itu, ikut menjadi perhatian masyarakat. Apalagi Wabup langsung masuk ke kebun karet masyarakat, di mana air panas bercampur lumpur ini keluar dari perut bumi. Makanya ini harus diantisipasi oleh BOB agar tidak terjadi hal serupa.
‘’Meski semburan ini sudah berhenti, tapi BOB harus mengetahui air panas bercampur lumpur ini dari mana. Karena masyarakat menduga, ini dari kebocoran air injeksi pengeboran minyak dan ini harus dibuktikan,’’ ujarnya.
Makanya kata Wabup lagi, jika ini memang benar terjadi kebocoran pada pipa injeksi air panas dari sumur BOB, maka harus segera diperbaiki. Karena jika tidak akan berdampak kepada masyarakat yang ada disekitar temuan semburan air panas bercampur lumpur.
Menurutnya, dulu di sekitar tempat tinggal masyarakat memang merupakan lokasi pengeboran minyak oleh PT CPI dan mungkin ada sumur tua yang dulu tidak sempat dilakukan pengeboran lebih dalam lagi. Tapi ini baru dugaan dan perlu penyelidikan lebih lanjut.
‘’Kita berharap tidak hanya menyelidiki di daerah temuan semburan, tapi di titik lain juga harus dilakukan. Sehingga keselamatan masyarakat tetap aman dan terjamin,’’ harapnya.
Usai meninjau lokasi temuan semburan air panas bercampur lumpur itu, Wabup langsung menuju ke rumah warga terdekat dan melakukan dialog. Tapi dalam kesempatan itu Wabup meminta masyarakat agar tetap tenang dan tidak panik, karena semburan itu tidak membahayakan masyarakat dan sudah berhenti.
‘’Kita minta masyarakat jangan resah, apalagi takut, karena sudah ditangani oleh perusahaan dan kita yakin perusahaan bisa mengatasi ini dengan baik,’’ ujarnya.(ksm)
Lokasi Temuan Migas Tak Diumumkan
‘’Lokasi persisnya kami tidak mengetahuinya, ESDM hanya menyebutkan potensi sumber migas itu saja sedangkan titik pastinya tidak diketahui, masih akan diproses oleh mereka,’’ kata Kepala Distamben Riau Drs HM Lafiz kepada Riau Pos, Kamis (19/3) di Pekanbaru.
Ia memaklumi, titik lokasi itu tidak disebutkan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan sosial ditengah masyarakat, karena itu guna menghindari persoalan sosial ini semuanya harus diantisipasi sejak dini, sebab jika persoalan muncul di kemudian hari tentu akan bisa mengganggu kinerja yang ada. Dirinya juga meminta semua pihak bisa memaklumi hal ini, ia juga meminta semua pihak menunggu penetapan dari ESDM tentang lokasi Migas tersebut. ‘’Ini juga persoalan teknis, saya tidak mengetahuinya secara persis,’’ tuturnya.(gem)
Muncul Semburan Lumpur Panas di Siak
Masyarakat Siah heboh, di sebuah kebun karet muncul semburan lumpur panas. Mereka khawatir peristiwa dahsyat lumpur Lapindo terjadi di sana.
Riauterkini-SIAK- Sebuah fenomena terjadi di Dusun Parit 1 Desa bandar Sungai, Kecamatan Sabak Auh, Kecamatan Siak. Sejak Selasa (17/3/09) dini hari lalu sampai kemarin, warga dihebohkan dengan semburan air panas bercampur lumpur di lokasi pengeboran minyak milik BOB PT BSP-Pertamina Hulu, di areal Pedada. Sampai Rabu (16/3/09), masih ada satu sumur yang aktif mengeluarkan semburan dari tiga sumur yang sebelumnya mengeluarkan air panas dan lumpur dari perut bumi.
Masyarakat yang penasaran adanya semburan itu, langsung berbondong-bondong mendatangi lokasi semburan air panas di perkebunan karet milik Rosyid dan tidak jauh dari rumahnya. Karena masyarakat menyangka semburan ini menyerupai kasus semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Meskipun lokasi sudah dipagar garis polisi, namun masyarakat tetap berduyun-duyun mendatanginya.
‘’Kita mendapat informasi ada semburan air panas bercampur gas, makanya kita penasaran. Karena kita membayangkan ini seperti kasus yang terjadi di Sidoarjo Jawa Timur, yang terkenal dengan lumpur Lapindo,’’ ujar Suhartini, salah seorang warga yang tinggal agak jauh dari lokasi semburan lumpur. Masyarakat setempat mengetahui adanya semburan air panas bercampur lumpur pada Selasa pagi, saat pemilik perkebunan karet ingin bekerja. Rosyid melihat semburan itu langsung terkejut dan memberitahukan kepada warga lain yang kemudian sekitar pukul 07.30 WIB langsung dilaporkan kepada petugas BOB areal Pedada yang letaknya sekitar 5 Km dari lokasi semburan.
Sampai kemarin, lokasi sembuaran air panas bercampur lumpur dengan diameter 20 centimeter dan radius seburan mencapai dua meter, sudah dipasang garis polisi untuk pengamanan masyarakat. Di lokasi itu juga terlihat air berwarna putih susu dan keruh sedangkan lumpurnya menyerupai tanah liat laut warna kebiru laut. Tapi, petugas BOB langsung mematikan dua sumur yakni di Pedada 39 dan sumur Pedada 60. Sehingga semburan aktivitas semburan yang awalnya sangat aktif, menjadi lamban dan kemarin hanya air panasnya saja yang masih terlihat keluar dari dalam tanah.
Mendengar adanya semburan air panas bercampur lumpur itu, membuat perhatian Pemkab Siak dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) dan pihak Kecamatan Sabak Auh dan Polsek Sungai Apit langsung meninjau lokasi, serta mengambil sampel untuk dilakukan pengujian di laborotariun di Jakarta.
Matikan Dua Sumur
Dalam pada itu, karena khawatir akan terjadinya semburan yang lebih besar lagi, BOB PT BSP-Pertamina Hulu, Rabu (18/3) sekitar pukul 08.00 WIB langsung mematikan dua sumur minyak yang masih aktif yakni sumur Pedada 39 dan sumur Pedada 60. Sehingga aktivitas pengeboran dan produksi minyak dikedua sumur itu terhenti, sampai ada penelitian dari laborotarium yang menyatatakn semburan itu tidak ada kaitannya dengan sumur milik BOB yang jaraknya sekitar 200 meter.
‘’Ada dua sumur yang kita matikan sementara, karena kita juga sudah mengambil sampel dilapangan berupa air dan lumpur untuk diteliti,’’ ucap salah seorang petugas BOB, Khairul di tempat kejadian semburan air dan lumpur.***RPO
Senin, 09 Maret 2009
Riau Kaya Sumber Daya Alam, tetapi Miskin Listrik
Kompas, 06/03/2009
Jumat, 6 Maret 2009 | 04:40 WIB
Pekanbaru, Kompas – Direktur Utama PT PLN Fahmi
Muchtar mengaku kaget mengetahui kondisi
kelistrikan di wilayah kaya sumber daya alam,
Provinsi Riau, yang ternyata hanya memiliki rasio
kelistrikan 42,7 persen (hanya 42,7 persen
penduduk/wilayah Riau yang dialiri listrik).
Rasio tersebut sangat jauh di bawah angka
rata-rata nasional yang mencapai 56 persen.
”Saya tidak menyangka kondisi kelistrikan Riau
ternyata begitu tertinggal dibandingkan dengan
daerah lain di Indonesia, padahal Riau kaya. Saya
juga mendapat data bahwa setiap tahun sebesar
70.000 pelanggan di Riau terpaksa ’ditolak’ PLN
karena ketidaktersediaan daya listrik,” ujar
Fahmi saat memberi sambutan acara penandatanganan
nota kesepahaman (MOU) antara PT PLN dan
Pemerintah Provinsi Riau di Pekanbaru, Kamis (5/3).
Pada kesempatan yang sama, Gubernur Riau Rusli
Zainal mengungkapkan, di mata pusat, Riau selalu
dipandang sebagai stereotip daerah kaya.
Akan tetapi, pada kenyataannya infrastruktur
Riau sangat berbanding terbalik dengan kekayaan alamnya.
”Dari bumi Riau, PT Chevron telah mengangkat
minyak bumi sebanyak 11 miliar barrel. Angka itu
merupakan produksi terbesar PT Chevron di seluruh
dunia. Sumbangsih Riau itu sudah tidak ternilai
untuk nasional. Namun, lihatlah, di sisi lain,
Riau masih belum diperhatikan. Rasio kelistrikan
itu membuktikan salah satu ketertinggalan Riau.
Tanpa listrik, Riau akan sulit mengejar
ketertinggalan meski Riau sebenarnya mampu,” kata Rusli.
Rusli membeberkan, selain memiliki sumber daya
minyak dan gas, Riau memiliki 1,8 juta hektar
areal perkebunan kelapa sawit atau sekitar 40
persen dari luas areal perkebunan sawit nasional
dengan dukungan 200 pabrik kelapa sawit yang
menghasilkan minyak sawit mentah (CPO).
Setiap tahun, dari Pelabuhan Dumai, Riau
mengekspor 7 juta sampai 8 juta ton CPO menuju 86 negara di seluruh dunia.
Akan tetapi, kekuatan di sektor hulu itu tidak
mampu berkembang ke hilir karena ketersediaan listrik yang tidak memadai.
”Mustahil Riau mampu berkembang mengejar
ketertinggalan kalau potensinya (sumber daya) itu
tidak dapat digunakan,” kata Rusli. (SAH)
Perpanjangan Blok Migas Tunggu Peraturan Menteri
Kompas, 06/03/2009
Jumat, 6 Maret 2009 | 04:25 WIB
Jakarta, Kompas - Persetujuan perpanjangan sejumlah kontrak blok
migas menunggu keluarnya Peraturan Menteri atau Permen Energi dan
Sumber Daya Mineral tentang pengajuan perpanjangan wilayah kerja.
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Direktorat Jenderal Migas Edi
Hermantoro mengemukakan hal itu, Kamis (5/3) di Jakarta. Menurut Edi,
permen itu sedang disusun dan ditargetkan keluar bulan Juni 2008.
Beberapa kontrak blok migas yang sedang menunggu persiapan
perpanjangan adalah Blok A yang berlokasi di Nanggroe Aceh Darussalam
dan Blok South Sumatera Extention, dengan operator Medco E&P, Blok
Madura Strait dengan operator Hess.
Kontrak Blok A yang ditargetkan berproduksi akhir tahun ini akan
berakhir pada 2011. Gas dari Blok A dibutuhkan untuk memasok PT Pupuk
Iskandar Muda. Pengesahan rencana kerja dan pengembangan blok sudah
mendapat persetujuan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas.
Edi mengatakan, selain perpanjangan kontrak, Ditjen Migas sedang
mengevaluasi kontrak eksplorasi blok migas yang tidak bisa memenuhi
komitmen. Sedikitnya ada 16 blok yang sedang dievaluasi untuk terminasi.
Menurut Edi, sebagian besar kontraktor mengalami masalah teknis dan
hanya sebagian yang terkendala pendanaan. "Ada yang sudah ngebor,
tapi enggak dapet juga," ujarnya.
Sesuai aturan, kontraktor migas harus bisa memenuhi komitmen tiga
tahun pertama masa eksplorasi. Masa eksplorasi berlangsung enam
tahun, dengan kemungkinan tambahan empat tahun.
Pemerintah akan menawarkan sekitar 20 wilayah kerja melalui
mekanisme lelang pada April 2009. (DOT)
Pengelolaan migas banyak kekeliruan
JAKARTA: Pengelolaan minyak dan gas bumi dalam 10 tahun terakhir
banyak mengalami kekeliruan, sehingga tidak memberikan andil besar
bagi kesejahteraan masyarakat.
Kekeliruan tersebut terindikasi antara lain dari masih dominannya
investor asing dalam mengusai industri hulu migas di Indonesia. Pada
saat yang bersamaan, produksi minyak nasional mengalami penurunan
yang cukup signifikan.
"Kekeliruan terbesar dalam pengelolaan migas nasional terletak pada
regulasi yakni isi Undang-Undang Migas No. 22/2001 yang menghapus
peran badan usaha negara untuk mengelola kekayaan migas. Sebagai
gantinya, dibentuk Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas," ujar
Direktur Centre of Petroleum and Energy for Economics Studies Kurtubi, kemarin.
Dia mengungkapkan hal itu pada acara peluncuran buku Memerangi
Sindrom Negara Gagal buah karya Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Migas
Nasional (Aspermigas) Effendi Siradjuddin.
BP Migas, lanjutnya, bukan badan usaha sehingga tidak bisa
menjalankan fungsi bisnis. "Jadi meskipun BP Migas diserahkan
kekayaan minyak yang berlimpah tidak bisa dikelola sendiri karena
bukan perusahaan. Akibatnya, banyak lapangan migas jatuh ke tangan asing."
Dia menyebutkan dengan kekeliruan tadi, dalam 10 tahun terakhir
pengelolaan migas tidak memberikan andil yang besar untuk
kesejahteraan rakyat. "Padahal Pasal 33 UUD 1945 menyatakan kekayaan
alam yang ada di bumi Indonesia sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat."
Atas dasar itu, Kurtubi minta pemerintahan berani merevisi atau
bahkan mencabut keberadaan UU Migas No.22/2001.
Perbaikan pengelolaan migas, lanjutnya, harus menjadi prioritas
pemerintahan hasil Pemilu 2009 sebagai solusi mencegah keterpurukan
Indonesia yang bisa mengarah menjadi negara gagal.
Oleh Ismail Fahmi
Bisnis Indonesia
Rabu, 18 Februari 2009
189 Izin Usaha Hilir Migas Diterbitkan di 2008
Jakarta - Departemen ESDM mengeluarkan izin usaha bagi 189 badan usaha
pada kegiatan usaha hilir migas selama 2008. Sebanyak 101 badan usaha
diantaranya memperoleh izin usaha tetap, dan 88 badan usaha lainnya
memperoleh izin sementara.
"Izin usaha yang diberikan meliputi kegiatan usaha pengolahan,
pengangkutan, penyimpanan, serta niaga," demikian dikutip detikFinance
dari situs resmi Departemen ESDM, Jumat (13/2/2009).
Izin usaha tetap yang diterbitkan pada tahun 2008 masing-masing diberikan
kepada 6 badan usaha pada kegiatan usaha pengolahan. Izin usaha pengolahan
tersebut meliputi 1 izin pengolahan migas, 1 izin pengolahan minyak bumi,
1 izin pengolahan hasil olahan, dan 3 izin pengolahan gas bumi.
Sementara untuk usaha pengangkutan, telah diterbitkan 46 izin tetap yang
terdiri dari 41 izin pengangkutan BBM, 3 izin pengangkutan LPG, 1 izin
pengangkutan CNG, dan 1 izin pengangkutan gas bumi melalui pipa.
Izin tetap untuk kegiatan usaha penyimpanan sebanyak 11 izin yang terdiri
9 izin penyimpanan BBN, 2 izin penyimpanan LPG dan 38 pada kegiatan usaha
niaga.
38 izin usaha niaga terdiri dari 2 izin niaga gas bumi yang memiliki
fasilitas jaringan berdistribusi, 3 izin niaga gas bumi yang tidak
memiliki fasilitas jaringan distribusi, 1 izin niaga LPG, 1 izin niaga
terbatas minyak bumi, 1 izin niaga terbatas hasil olahan minyak bumi, 8
izin niaga umum BBM, 14 izin niaga terbatas BBM, 4 izin niaga CNG/BBG, 1
izin niaga umum hasil olahan gas bumi, dan 3 isin niaga terbatas hasil
olahan gas bumi.
Sementara itu, izin usaha sementara sampai dengan tahun 2008 telah
diterbitkan masing-masing sebanyak 10 izin usaha pada kegiatan usaha
pengolahan. Izin kegiatan usaha pengolahan terdiri dari 6 izin pengolahan
minyak bumi, 2 izin pengolahan hasil olahan, 2 izin pengolahan gas bumi.
Izin sementara juga diberikan kepada 25 kegiatan usaha pengangkutan yang
terdiri dari 13 usaha pengangkutan BBM, 2 usaha pengangkutan LPG, 2 usaha
pengangkutan CNG, dan 8 usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa.
Tak hanya itu, izin juga diberikan kepada 16 kegiatan usaha penyimpanan
yang terdiri dari 12 izin penyimpanan BBM, 2 izin penyimpanan LPG, 2 izin
penyimpanan LNG. Terakhir, izin sementara juga diberikan pada 37 kegiatan
usaha niaga yang terdiri dari 13 niaga gas bumi yang memiliki fasilitas
jaringan distribusi, 4 niaga LPG, 11 niaga umum BBM, 9 niaga CNG/BBG.
Selain izin usaha, pada tahun 2008 Dirjen Migas juga telah menerbitkan 392
rekomendasi bagi kegiatan usaha hilir migas, yang terdiri dari 23
rekomendasi ekspor dan 369 rekomendasi impor.
"Rekomendasi ekspor meliputi ekspor BBM sebanyak 6 rekomendasi, ekspor
hasil olahan 13 rekomendasi, dan ekspor LPG 4 rekomendasi. Sementara itu,
keseluruhan rekomendasi impor sebanyak 369 merupakan rekomendasi impor
BBM," katanya.(lih/dnl)
Perhutani Setuju Hutan Ditambang
Banjir, longsor, dan kerusakan lingkungan lain akan semakin parah.
SEMARANG - Perum Perhutani Jawa Tengah dan Dinas Kehutanan Provinsi
Jawa Tengah menyetujui rencana alih fungsi hutan seluas 430 hektare
di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Kawasan itu akan dijadikan sebagai
area penambangan PT Semen Gresik. "Sudah clear, kami setuju," kata
Sri Puryono, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, kemarin.
PT Semen Gresik, yang akan mendirikan pabrik di Sukolilo, berencana
memanfaatkan Pegunungan Kendeng, Pati, seluas 1.035 hektare, yang
terdiri atas tanah kapur seluas 700 hektare, tanah liat (250
hektare), dan lokasi pabrik (75 hektare). Dari 700 hektare tanah
kapur, 430 hektare di antaranya milik PT Perhutani, sedangkan sisanya
milik rakyat.
PT Semen Gresik, kata Puryono, sudah menyiapkan calon lahan
penggantinya, yakni lahan milik warga yang akan dibeli sebagai
pengganti hutan. "PT Semen Gresik sudah menyiapkan lahan pengganti
seluas 1.200 hektare," katanya. Selain harus mengganti lahan,
perusahaan itu wajib membeli pohon dan segala sesuatu yang ada di
hutan, termasuk yang akan ditambang.
Keputusan itu ditentang oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi) Jawa Tengah. "Alih fungsi hutan itu akan semakin mempercepat
kerusakan lingkungan di Pati dan Jawa Tengah," kata Arif Zayyin,
Direktur Walhi Jawa Tengah, kepada Tempo kemarin.
Saat ini, kawasan Pegunungan Kendeng yang akan ditambang merupakan
hutan tanaman keras yang menjadi "sabuk hijau" untuk wilayah Pati dan
Jawa Tengah bagian utara. Walhi memperkirakan, jika hutan
dialihfungsikan dan dieksplorasi untuk industrialisasi, maka banjir,
longsor, dan kerusakan lingkungan lain di wilayah tersebut akan semakin parah.
Selain itu, penggalian kawasan karst bisa mempercepat pemanasan
global. Padahal, kata Arif, saat ini dunia sedang gencar
meminimalisasi pemanasan global. "Eee ini malah membuka pemicu
pemanasan global," kata dia dengan kesal. Arif ragu PT Semen Gresik
bisa mengganti lahan hutan yang akan ditambang. Jika penggantinya
adalah tanah milik rakyat yang sudah menjadi hutan rakyat, kata dia,
hal itu tidak bisa dibenarkan. ROFIUDDIN
Presiden Dihadang Persoalan Lapindo
Masak, jeritan rakyat dianggap guyonan."
JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang hari ini mengadakan
kunjungan kerja ke Lamongan, Jawa Timur, bakal disambut keluhan
ribuan korban lumpur Lapindo, yang nasibnya masih terkatung-katung
sejak Mei 2006. Gubernur Soekarwo akan membicarakan masalah
tersendatnya ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya kepada Presiden.
"Saya bersama Gus Ipul (Wakil Gubernur Saifullah Yusuf) akan menemui
Presiden besok," kata Soekarwo di hadapan korban Lapindo yang
berunjuk rasa di kantornya di Surabaya kemarin. Janji Soekarwo, yang
belum sepekan memimpin Jawa Timur, itu membuat pengunjuk rasa
bersedia pulang lagi ke Sidoarjo.
Menurut Sumitro, yang menjadi koordinator 4.000 pengunjuk rasa,
Soekarwo juga berjanji memanggil Minarak dalam dua hari ini. Meski
sudah mendapat jaminan permasalahan mereka bakal disampaikan ke
Presiden Yudhoyono, warga masih membicarakan perlu-tidaknya mereka
mengirim utusan langsung menemui Presiden di Lamongan. "Kami sedang
koordinasi," katanya kemarin malam.
Dalam beberapa hari ini korban Lapindo mengeluhkan PT Minarak yang
tidak memenuhi janji mencicil sebesar Rp 30 juta per bulan. Mereka
hanya dibayar Rp 5 juta sampai Rp 15 juta karena perusahaan kelompok
Bakrie itu mengaku sedang kesulitan uang.
Padahal, dalam pertemuan antara korban dan Minarak yang difasilitasi
Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto di Jakarta, 3 Desember tahun
lalu, perusahaan menyatakan sanggup mencicil Rp 30 juta per bulan.
Presiden tahun lalu juga memanggil bos kelompok usaha Bakrie, Nirwan,
untuk memastikan komitmen perusahaan dalam menyelesaikan pembayaran ganti rugi.
Djoko, yang menjadi Ketua Tim Pengarah Penyelesaian Lapindo, kemarin
malah meminta korban menerima dulu apa yang sanggup dibayarkan
Lapindo. "Yang penting Lapindo harus penuhi janji, mampunya Rp 20
juta, ya, dibayar tiap bulan. Mereka harus berjanji sendiri, jangan
lewat pemerintah," ujar Djoko.
Menurut Djoko, jajaran pimpinan grup Bakrie masih tetap berkomitmen
membayar kewajibannya kepada korban, tapi sesuai dengan kemampuan
perusahaannya. Djoko mengatakan saat ini belum ada keputusan apa pun
soal pembayaran ganti rugi. Namun, dia berjanji akan memberikan
keputusan itu saat korban Lapindo datang ke Jakarta. Dia akan
mengundang semua menteri, dewan pengarah, dan keluarga Bakrie untuk
ikut menemui mereka.
Pernyataan Djoko ini disesalkan Sumitro. "Menteri jangan sekadar
omong. Masak, jeritan rakyat ini hanya dianggap guyonan. Ini tidak
mencerminkan kepekaan sosial," katanya.
Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla
sebelumnya mengaku perusahaannya tidak sanggup membayar secara
optimal sesuai dengan komitmen. "Saya kira tidak ada solusi lain
kecuali warga menerima angsuran sesuai dengan dana yang tersedia,"
kata dia. "Kondisi di lapangan, ada yang diangsur Rp 5 juta, Rp 15
juta, atau Rp 30 juta." ROHMAN TAUFIK | DIAN YULIASTUTI | YUDONO
ADU KUAT BAKRIE VERSUS BAPEPAM (BAGIAN KEDUA)
Menyelisik Harga Ekstrapremium Bumi Resources
Bapepam menilai harga transaksi tidak wajar. Penilai independen
tengah diperiksa.
Pengantar
Akuisisi kilat PT Bumi Resources Tbk terhadap tiga perusahaan tambang
senilai Rp 6,2 triliun kembali mengguncang pasar modal Indonesia.
Spekulasi yang mencurigai adanya benturan kepentingan dan manipulasi
harga dalam transaksi itu memicu otoritas pasar modal turun tangan.
Bapepam kembali berhadapan dengan kelompok usaha Bakrie.
Penelusuran Tempo menemukan sejumlah kejanggalan tersebut. Tak
ketinggalan juga aroma intervensi politik dalam kasus ini. Ikuti
liputannya dalam tulisan berseri mulai kemarin.
Ingatan Nirwan Dermawan Bakrie terbang ke masa beberapa tahun silam,
ketika direksi PT Bakrie & Brothers Tbk memutuskan merambah bisnis
pertambangan batu bara. Keputusan yang tepat, menurut dia, karena
ternyata, dalam waktu singkat, harga jual batu bara melejit.
Induk usaha kelompok bisnis Bakrie di bidang pertambangan batu bara,
PT Bumi Resources Tbk, tumbuh menjadi produsen batu bara ternama.
"Sekarang pertanyaannya adalah apakah sukses itu akan terulang," ujar
Nirwan kepada Tempo di rumahnya sebulan lalu.
Ditemani sebatang rokok dan secangkir kopi panas, Nirwan menceritakan
ihwal aksi Bumi mengakuisisi tiga perusahaan tambang yang kemudian
disidik Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Umumnya
orang curiga, duit Rp 6,2 triliun itu dari mana? "Kami membeli dengan
skema menarik yang tidak mengganggu arus kas Bumi," katanya.
Cara yang dimaksud adik kandung Menteri Koordinator Kesejahteraan
Rakyat Aburizal Bakrie ini adalah membayar secara mencicil selama
tiga tahun. Sebelum pelunasan pada tahun ketiga, perusahaan tersebut
harus membuktikan kinerja seperti yang mereka janjikan. Nirwan
berujar, tiga perusahaan itu ditawarkan cukup lama. "Inilah saatnya
membeli, dan kami beli dengan harga bagus."
Tapi tidak semua orang sependapat dengan Nirwan. Analis sektor
pertambangan dari Danareksa Sekuritas, Felicia Barus, misalnya. Dalam
laporan analisis pada 9 Januari 2009 yang khusus menyoroti akuisisi
Bumi terhadap PT Pendopo Energi Batubara, Felicia menyebut pembelian
atas Pendopo terlalu mahal.
Perbandingan sederhana disorongkan Felicia. Di dalam analisisnya,
yang bertajuk "Another Day, Another Acquisition" , itu, dia
mengatakan, sebelumnya, PT Darma Henwa Tbk membeli Pendopo pada harga
US$ 11 juta untuk memperoleh 11 persen saham. Pembelian itu
dilaksanakan pada 5 Desember 2008.
Mengacu pada harga transaksi Darma, Felicia mengatakan mestinya nilai
100 persen saham Pendopo sekitar US$ 100 juta. Namun, nyatanya Bumi
membeli 84,5 persen saham Pendopo pada harga Rp 1,304 triliun
(sekitar US$ 118 juta pada kurs Rp 11 ribu per dolar AS).
Begitu pula, dia melanjutkan, pembelian Bumi atas Darma pada harga Rp
354 per lembar saham yang diumumkan 30 Desember 2008 jauh di atas
harga pasar. Pasalnya, harga pasar saham Darma pada tanggal itu hanya
Rp 50 per lembar.
Ia membeberkan, harga beli emiten berkode Dewa ini menunjukkan
perkiraan price-earning ratio (PER) untuk 2009 sebesar 27 kali, lebih
tinggi dari perkiraan PER Bumi sendiri, yang hanya 4,8 kali. PER
dihitung dengan cara membagi valuasi saham dengan pendapatan per
saham. Fungsi PER adalah menghitung nilai sebuah perusahaan
dibandingkan dengan perusahaan lain sejenis. Semakin kecil PER-nya,
saham tersebut semakin murah.
Sebaliknya, Felicia menilai transaksi akuisisi terhadap PT Fajar Bumi
Sakti menguntungkan karena menambah nilai sebanyak Rp 48 per lembar
saham. Hadirnya Fajar juga memberi sumbangan tambahan pendapatan Bumi
sebesar 7 persen selama periode 2009-2010.
Selanjutnya, dalam analyst report berjudul "Another Acquisition that
Hurts Minority Shareholders" , Felicia menjelaskan, akuisisi saham ini
melibatkan pembelian dalam jumlah besar (Rp 6,2 triliun) dan waktu
singkat yang memenuhi kriteria transaksi material (melebihi 10 persen
perkiraan pendapatan pada 2008 atau 20 persen dari perkiraan ekuitas
2008). Konsekuensinya, berdasarkan aturan pasar modal, Bumi harus
menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa guna meminta persetujuan.
Kepala Riset BNI Securities Norico Gaman sependapat bahwa harga beli
Darma Henwa sebesar lima kali dari harga pasar kelewat tinggi.
Padahal, menurut dia, 50 persen saja dari harga pasar sudah tergolong
harga premium. Apalagi kontribusi Darma sebagai kontraktor
pertambangan belum signifikan.
Menjawab tudingan itu, Direktur Utama Bumi Ari Saptari Hudaya
mengungkapkan, semua harga beli Bumi jauh di bawah harga yang
ditetapkan penilai independen. Valuasi penilai independen Bumi
menetapkan harga 100 persen saham Pendopo bernilai US$ 179-198 juta.
Sehingga 84,5 persen saham Pendopo mestinya berharga US$ 151 juta.
Sedangkan 100 persen saham Darma dinilai berharga US$ 448-510 juta.
Sehingga mestinya 44 persen saham Darma berharga minimal US$ 197 juta
dan maksimal US$ 224 juta. Demikian pula harga 100 persen saham
Fajar, yang dinilai seharga US$ 270-299 juta. Sehingga mestinya 76,8
persen saham ada pada harga US$ 207-209 juta.
Nirwan sepakat dengan anak buahnya itu. Menurut dia, Fajar dan
Pendopo adalah perusahaan tambang batu bara yang bisa mengelola batu
bara berkalori rendah, dan mahir menggali di kedalaman. Sedangkan
Darma adalah perusahaan kontraktor yang biasa menambang dan
menyiapkan alat-alat berat. Dengan begitu, Bumi bisa siap memasok
pasar energi dunia, yang diperkirakan terus naik. "Pasar dunia lagi
gila-gilaan butuh energi, Bos," ujarnya.
Apa pun cerita kelompok Bakrie, kelihatannya pasar belum melihat
titik terang dari akuisisi Bumi. Akibatnya, investor belum tertarik
bertransaksi pada saham perusahaan ini. Pada 5 Januari 2009, saham
Bumi masih bertengger pada harga Rp 940 per lembar. Kemarin harganya
ditutup menjadi Rp 730 setelah sempat menyentuh Rp 425 per lembar
pada 15 Januari lalu.
Analis BNI Securities, M. Alfatih, mengatakan aksi korporasi
perusahaan publik seharusnya menarik bagi investor. Apalagi akuisisi
Bumi bisa meningkatkan kapasitas produksi batu bara. Tapi banyak
sekali rumor soal transaksi itu. "Akibatnya, transaksi saham Bumi
masih sempit, nilainya juga cenderung turun," ujarnya.
Alfatih menyebutkan, beberapa pelaku pasar menilai akuisisi itu telah
mengubah struktur kepemilikan mayoritas pada perusahaan yang diambil
alih. "Banyak yang menganggap harus ada tender offer (penawaran
pembelian saham publik)," ujarnya. Belum lagi ada dugaan bahwa dalam
transaksi itu terdapat benturan kepentingan.
Fuad Rahmany, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan,
juga menduga transaksi tersebut material dan kelewat mahal. "Harga
pembelian terhadap ketiga perusahaan itu tidak wajar. Saya sedang
memeriksa penilai independennya, " kata dia.
Dia berpandangan, penetapan harga beli yang tidak wajar berpotensi
merugikan pemegang saham publik yang tidak dilibatkan dalam
pengambilan keputusan. Karena itu, Fuad mendesak Bumi segera
melaksanakan rapat umum pemegang saham untuk meminta persetujuan atas
transaksi akuisisi.
TIM SELUSUR
Penanggung Jawab: Setri Yasra
Penulis: Efri N.P. Ritonga
Penyumbang Bahan: Agoeng Wijaya, Yandhrie Arvian, Wahyuddin Fahmi,
Wahyu Muriadi
Skema Pembayaran Bumi
1. PT Darma Henwa Tbk
Bisnis: kontrak pertambangan
Estimasi nilai proyek: US$ 4,7 miliar
Perkiraan overburden (pengupasan tanah lapisan atas) 2009: 84 juta
bank cubic meter
Perkiraan penambangan batu bara 2009: 9 juta ton
Transaksi diumumkan 30 Desember 2008.
Jumlah saham: 44 persen
Nilai total: Rp 2,412 triliun (US$ 218 juta)
Uang muka: Rp 492 miliar (20,4 persen)
Pembayaran tahun pertama: Rp 359 miliar (14,9 persen)
Pembayaran tahun ketiga: Rp 1,561 triliun (64,7 persen)
Syarat tahun ketiga: produksi 12 juta ton pada Desember 2011
2. PT Fajar Bumi Sakti
Bisnis: pertambangan batu bara
Cadangan batu bara: 98 juta ton
Perkiraan produksi 2009: 2,3 juta ton
Transaksi diumumkan 5 Januari 2009
Jumlah saham: 76,8 persen
Nilai total: Rp 2,475 triliun (US$ 225 juta)
Uang muka: Rp 156 juta (0,03 persen)
Pembayaran tahun pertama: Rp 430 miliar (17,37 persen)
Pembayaran tahun ketiga: Rp 2,045 triliun (82,6 persen)
Syarat tahun ketiga: produksi 4 juta ton pada Desember 2010
3. PT Pendopo Energi Batubara (tahap studi kelayakan)
Bisnis: pertambangan batu bara
Cadangan batu bara: 700 juta ton
Sumber daya batu bara: 1,1 miliar ton
Transaksi diumumkan 7 Januari 2009
Jumlah saham: 84,5 persen
Nilai total: Rp 1,304 triliun (US$ 118 juta)
Uang muka: Rp 841 juta (0,1 persen)
Pembayaran tahun pertama: Rp 226 miliar (17,3 persen)
Pembayaran tahun ketiga: Rp 1,077 triliun (82,6 persen)
Syarat: kesepakatan pembelian daya Desember 2010
SUMBER: BUMI RESOURCES
Daerah Dilarang Terbitkan Kuasa Pertambangan
Selasa, 17 Februari 2009 | 00:10 WIB
* Tunggu Peraturan Pemerintah tentang Minerba Diterbitkan
JAKARTA - Departemen Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) melarang
pemerintah daerah menerbitkan kuasa pertambangan (KP) baru sampai
keluarnya peraturan pemerintah (PP) sebagai tindak lanjut UU No 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Dirjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Departemen ESDM Bambang
Setiawan mengatakan, sesuai UU Minerba, semua kegiatan pertambangan
memakai izin usaha pertambangan (IUP). "Kami sudah minta daerah jangan
terbitkan KP baru dulu," katanya, di Jakarta Senin (16/2).
Namun, bagi KP yang sudah berjalan, lanjut Bambang, diteruskan sampai
masa berlakunya habis. Demikian pula, dengan KP yang sudah mendapat
izin eksplorasi diteruskan sampai ke tahap eksploitasi.
Menurut Bambang, pihaknya telah mengeluarkan edaran Menteri ESDM
kepada gubernur dan bupati/walikota tentang perizinan pertambangan
mineral dan batubara sebelum terbitnya PP.
Ditjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Departemen ESDM mencatat
dalam periode 2001-2008 tercatat 2.513 KP yang 1.209 di antaranya
merupakan tahap eksplorasi, 623 eksploitasi, 483 penyelidikan umum,
171 pengangkutan, dan 27 pengolahan.
Propinsi terbanyak mengeluarkan KP adalah Kalimantan Selatan sebanyak
252 unit yang terdiri dari 129 tahap eksploitasi, 61 eksplorasi, 50
pengangkutan, dan 12 penyelidikan umum.
Pemerintah tengah menyusun empat rancangan peraturan pemerintah (RPP)
yang merupakan rangkuman dari 22 pasal UU Minerba yang mengamanatkan
aturan lanjutan tersebut. Pemerintah menargetkan pembuatan PP selesai
dalam waktu enam bulan, meski UU Minerba memberikan waktu selama satu
tahun sejak UU ditandatangani pada 12 Januari lalu.
Batu bara Diobral
Pemerintah mensinyalir ada banyak Kuasa Pertambangan (KP) yang masih
menjual harga batubara di bawah harga pasar alias diobral. Sehingga
pemerintah menilai perlu menetapkan patokan terendah harga batubara
yang diproduksi di Indonesia setiap bulannya.
"Kami mensinyalir dari KP yang bayar royalti ke pemerintah, banyak
yang menjual harga di bawah standar," ujar Bambang dalam media
briefing 'Potensi Batubara Untuk Ketahanan Energi Nasional' di Gedung
Ditjen Minerbapum, Jakarta, Senin (16/2).
Patokan harga terendah batubara yang akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini akan mengacu pada sejumlah indeks seperti ICI
(Indonesia Coal Index), Platts dan Barlow Jongker. "Harga patokan
batubara akan kami tetapkan berdasarkan harga Indeks seperti ICI,
Platts dan Barlow Jongker. Harga ini akan ditetapkan tiap bulan untuk
setiap ranking, kami tetapkan minimun price tapi tidak boleh di bawah
itu," tambahnya.
Jika sampai ada perusahaan yang masih menjal batubara di bawah harga
patokan terendah, maka harus menegosiasi ulang agar harga jual
batubaranya sesuai dengan patokan. "Kalau ada yang jual lebih rendah
dari itu maka kami akan minta untuk melakukan negosiasi lagi agar
menjual sesuai dengan harga minimum price," ungkapnya.
Dengan adanya aturan penetapan harga batubara, imbuh Bambang, maka
seluruh harga jual batubara akan relatif sama. Harga batubara dalam
negeri pun diharapkan bisa stabil. "Jadi dengan patokan yang kami
kirimkan setiap bulan, maka kami bisa menjaga harga batubaranya, "
ungkapnya.
Bambang menambahkan, implikasi penerapan harga patokan terendah ini
akan sama menariknya dengan harga ekspor. Sehingga pemerintah
optimistis akan tercapai optimaliasai pendapatan negara dan
meningkatkan keamanan pasokan batubara dalam negeri.
Bambang menambahkan jika konsumen dalam negeri khususnya sektor
pembangkitan listrik merasa harga batubara terlalu mahal, maka
pemerintah perlu memberikan subsidi kepada perusahaan pembangkit
listrik. "Tetapi bukan dengan memurahkan harga batubara," jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, sekretaris Dirjen Minerbapum, Witoro
Soelarno membenarkan adanya praktek banting harga yang dilakukan KP
dalam menjual batubara. "Bahkan ada beberapa KP yang menjual 5 dolar
AS per ton," tandasnya. (ANT)
--
Yakinkah anda bahwa Lapindo
membayar kewajibannya terhadap korban lumpur?
Berkali-kali PT.Minarak Lapindo Jaya (MLJ) mengaku tidak memiliki uang untuk
membayar kewajibannya terhadap korban lumpur. Sementara belum ada publikasi
terkait dengan kondisi keuangannya. Di sisi lain, Lapindo Brantas Inc, seperti
yang ditulis Yuliani dalam bukunya Bahaya Industri Migas di Kawasan Padat Huni,
ternyata masih menguasai 31 sumur migas (diluar sumur Banjar Panji/BJP-1) di
blok Brantas (Sidoarjo, Mojokerto dan Pasuruan). Lapindo Inc, juga menguasai 17
sumur migas di lapangang pengembangan. Selain itu Lapindo juga telah menerima
klaim asuransi atas sumur BJP-1 pada tahun 2006.
Yakinkah anda PT. MLJ tidak memiliki uang untuk membayar kewajibannya kepada
korban lumpur?
Chevron Jaga Produksi dari Blok Rokan
Kompas, 18/02/2009
Rabu, 18 Februari 2009 | 00:13 WIB
jakarta, kompas - Chevron Pacific Indonesia berkomitmen meningkatkan
produksi minyak dari lapangan Minas dan Duri yang ada di Blok Rokan,
Riau. Stabilitas produksi antara dilakukan melalui proyek peningkatan
perolehan minyak (enhanced oil recovery/EOR) dengan metode surfaktan.
Managing Director IndoAsia Business Unit Steve Green, di sela-sela
peringatan pencapaian produksi 11 miliar barrel di Pekanbaru, Selasa
(17/2), mengatakan, diperlukan kerja keras untuk mempertahankan
produksi dari lapangan Minas dan Duri karena ada penurunan alami.
Operasi Chevron di Indonesia dan Filipina berada di bawah payung
IndoAsia Business Unit (IBU). Chevron IBU melaksanakan kegiatan hulu
migas dan pembangkit tenaga listrik lewat entitas bisnis: PT Chevron
Pacific Indonesia (CPI) dan Chevron Indonesia Company (CICo) untuk
produksi dan eksplorasi migas. Chevron Geothermal Indonesia, Ltd dan
Chevron Geothermal Salak Ltd, serta Chevron Geothermal Philippines
Holdings Inc (CGPHI) untuk geotermal dan pembangkit listrik.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro
mengemukakan, produksi lapangan Minas bisa ditingkatkan 12 persen
dengan menggunakan metode surfaktan dan upaya peningkatan perolehan
minyak dengan teknologi injeksi uap air (steamflood) .
CPI menyumbang 40 persen dari produksi minyak nasional. Lapangan
Minas yang ditemukan tahun 1941, saat ini berproduksi rata-rata
84.000 barrel per hari, sedangkan produksi lapangan Duri yang
ditemukan tahun 1944 sekitar 200.000 barrel per hari.
Tinggal 50 persen
Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas R Priyono mengatakan,
cadangan minyak di lapangan Minas dan Duri tinggal 50 persen dari
cadangan terbukti ketika lapangan tersebut pertama kali berproduksi tahun 1952.
Menurut Priyono, dengan upaya EOR, kedua lapangan minyak tersebut
masih mampu berproduksi optimal dalam 20-30 tahun lagi. "Saat ini
surfaktan masih dalam tahap percobaan. Kalau sukses akan diterapkan
dengan skala penuh di 2011," ujarnya.
Tahun 2009, Chevron mengajukan rencana investasi 2,13 miliar dollar
AS untuk produksi dan pengembangan blok di Sumatera. Pencapaian
produksi minyak Chevron sepanjang tahun 2008 adalah 407.466 barel per
hari, sedangkan hingga tanggal 12 Februari 2009, produksi minyak
Chevron rata-rata 393.084 barrel per hari. (DOT)
ADU KUAT BAKRIE VERSUS BAPEPAM (BAGIAN TERAKHIR
Dari Bursa Hinggap di Senayan
Upaya membuka kasus Bumi terendus sebelum rapat. Ada gerilya politik.
Pengantar
Akuisisi kilat PT Bumi Resources Tbk terhadap tiga perusahaan tambang
senilai Rp 6,2 triliun kembali mengguncang pasar modal Indonesia.
Spekulasi yang mencurigai adanya benturan kepentingan dan manipulasi
harga dalam transaksi itu memicu otoritas pasar modal turun tangan.
Kembali Bapepam berhadapan dengan kelompok usaha Bakrie.
Penelusuran Tempo menemukan sejumlah kejanggalan tersebut. Tak
ketinggalan aroma intervensi politik dalam kasus ini. Ikuti
liputannya dalam tulisan berseri mulai Senin lalu.
Sejatinya ada empat topik yang dibawa Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dalam rapat kerja dengan Komisi
Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa pekan lalu.
Sesuai dengan urutan pembahasannya, topik yang dibawa adalah kasus PT
Antaboga Deltasekuritas, PT Bumi Resources Tbk, PT Sarijaya Permana
Sekuritas, dan PT Renaissance Capital.
Sepuluh menit pertama dipakai Fuad untuk membeberkan kasus
pengelolaan dana investasi Antaboga, yang juga pemegang saham PT Bank
Century Tbk. Seusai pembahasan Antaboga, ia beralih ke Bumi. Tapi
baru saja Fuad hendak membuka mulut, mendadak pemimpin rapat Olly
Dondokambey angkat bicara.
Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu meminta
pembahasan Bumi ditunda. Olly mengusulkan agenda rapat tersebut lebih
baik mendahulukan kasus-kasus pasar modal yang secara langsung
merugikan kepentingan masyarakat umum.
Usulan ini diamini oleh anggota-anggota komisi lainnya. Walhasil,
pembahasan mengenai Bumi pun layu sebelum berkembang. Selain Bumi,
komisi menolak membahas sengketa Renaissance Capital dengan Merrill Lynch.
Sumber Tempo membisikkan, memang ada yang tidak biasa dalam
presentasi Fuad hari itu. Ketua Bapepam, dia menyebutkan, menambah
satu topik pada materi presentasinya dalam rapat yang sebelumnya
sepakat hanya membahas persoalan Antaboga, Century, dan Sarijaya ini.
Namun, manuver sang Ketua Bapepam rupa-rupanya terendus sebelum rapat
dimulai. Bahan rapat setebal 23 halaman yang dibagikan Bapepam kepada
anggota Komisi menjadi pembahasan di luar rapat.
Di dalamnya dijelaskan kasus Bumi berawal ketika anak usaha kelompok
Bakrie ini mengakuisisi tiga perusahaan tambang, yakni PT Dharma
Henwa Tbk, PT Fajar Bumi Sakti, dan PT Pendopo Energi Batubara.
Pembelian dilakukan bertahap pada akhir Desember 2008 dan awal
Januari 2009 dengan nilai total Rp 6,18 triliun. Bapepam menyatakan
transaksi itu masuk kategori material. Artinya, baru dapat
dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan rapat umum pemegang saham.
Sumber tadi kembali bertutur, Fraksi Partai Golkar terlihat paling
gelisah dengan niat Bapepam memaparkan kasus tersebut. Gerilya
politik menjelang rapat langsung dilakukan lewat seorang anggotanya
dengan target menggugurkan pembahasan Bumi.
"Saya yakin lobi itu sudah dibicarakan di antara anggota Komisi dari
Fraksi Partai Golkar," kata dia. Lobi tersebut terbukti sukses. Kasus
Bumi sama sekali tak disentuh dalam rapat itu.
Namun, Olly, yang memimpin rapat, mengaku tak tahu soal kesepakatan
di luar rapat agar kasus Bumi tak dibahas. "Saya datang agak telat,
dan langsung memimpin," ujarnya kepada Tempo.
Setahu dia, alasan rapat yang berlangsung selama dua jam tersebut
tidak mengutak-atik Bumi semata-mata karena keterbatasan waktu.
Begitu pun Olly mengakui kasus Bumi, Century, Sarijaya, dan
Renaissance sebenarnya masuk daftar permasalahan yang dikumpulkan
staf ahli komisi Keuangan dan Perbankan.
Daftar itu lantas dibahas dalam rapat pemimpin komisi sepekan sebelum
rapat dengan Bank Indonesia dan Bapepam digelar. Rapat pimpinan
sepakat memprioritaskan pembahasan kasus Century dan Sarijaya.
Alasannya, komisi telah dijadwalkan menerima pengaduan dari nasabah
dua kasus tersebut sehari sebelum rapat.
Kasus Bank Century dan Sarijaya dinilai sangat terkait dengan
kepentingan publik. "Sebaliknya, kasus Bumi dianggap hanya melibatkan
orang-orang tertentu," kata Olly. Karenanya, ia juga bingung ketika
Fuad datang membawa agenda lain pada rapat dengar pendapat tersebut.
Anggota Komisi dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Marwoto
Mitrohardjono, juga tidak mengetahui adanya lobi menjelang rapat
dengan Bapepam pekan lalu. Yang dia tahu, rapat batal membahas kasus
Bumi karena keterbatasan waktu. "Sebenarnya saya menyesal, karena ada
banyak pertanyaan pada kasus itu," ujarnya.
Sebaliknya, Fuad mengungkapkan permintaan pembahasan Bumi justru
datang dari komisi. Faktanya, kata dia, seorang anggota Dewan telah
mengirim surat ke Bapepam beberapa waktu lalu. Isinya gawat, Fuad
dituduh melindungi Bumi dalam kasus ini.
Sontak Fuad naik darah mendengar tudingan tersebut. "Kata siapa itu?
Gila apa saya," katanya saat ditemui Tempo pekan lalu. Supaya tidak
dianggap "main mata", Fuad akhirnya membawa kasus Bumi ke rapat komisi.
Tapi sumber lain di Dewan menduga keputusan Fuad membawa kasus Bumi
ke rapat komisi sebagai upaya mencari dukungan politik. Selain
sensitif bagi anggota Dewan, ia menuturkan, kasus ini sensitif bagi pemerintah.
Sayangnya, sumber itu melanjutkan, partai-partai saat ini sedang
mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi pada Pemilihan
Umum 2009. Perilaku berjaga-jaga ini berimbas pada cara menyikapi sebuah kasus.
Terlebih lagi, ia menganalisis, kalau kasus tersebut terkait dengan
partai besar. Bumi adalah anak usaha PT Bakrie and Brothers Tbk, yang
dimiliki keluarga Bakrie. Salah satu anggota keluarga ini menempati
salah posisi strategis di Golkar. "Harus berhati-hati, semua harus
dilihat dari kemungkinan- kemungkinan koalisi," ujarnya.
Tapi semua spekulasi tersebut dibantah oleh anggota Fraksi Partai
Golkar, Ahmad Hafiz Zawawi. Ia memastikan tak ada niat partainya
untuk meredam kasus Bumi, apalagi melakukan lobi politik untuk
membatalkan pembahasan kasus tersebut bersama Bapepam.
"Kalau ada yang bicara begitu, itu su'udzon (buruk sangka) yang
berlebihan," kata Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan ini saat
ditemui Tempo kemarin.
Menurut dia, ditundanya pembahasan kasus Bumi lantaran keterbatasan
waktu. "Kasus Bank Century lebih penting, sampai ada nasabah yang mati."
Adapun Olly berharap bisa secepatnya membahas kasus ini. Meski
begitu, dia tak bisa memastikan waktunya karena agenda Komisi sangat
padat dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman
Sistem Keuangan dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Perpajakan. "Itu semua kan juga buat kepentingan Bapepam," katanya.
Kepada Tempo Fuad menyatakan tekadnya menuntaskan persoalan Bumi. Dia
memastikan Bapepam, yang dipimpinnya, bebas dari segala tekanan. Di
saat krisis seperti sekarang, banyak perusahaan yang kesulitan
likuiditas. "Ada yang legowo, ada juga yang ribut kalau merugi, terus
menyalahkan broker," ujar dia.
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Utama Bumi Ari Saptari Hudaya
bersama Komisaris Utama Bumi Nalinkant A. Rathod mempertanyakan
pemeriksaan yang dilakukan Bapepam. Pasalnya, mereka merasa Bumi
telah menjalankan proses akuisisi sesuai dengan aturan. "Padahal,
kalau ngobrol dengan mereka (Bapepam), selalu saya jelaskan, saya
tidak tahu apakah ada kaitan politiknya atau tidak," kata Ari.
TIM SELUSUR:
Penanggung Jawab: Setri Yasra
Penulis: Efri N.P. Ritonga
Penyumbang Bahan: Agoeng Wijaya, Yandhrie Arvian, Wahyuddin Fahmi, Wahyu Muryadi
Pertamina Bantah Protes Komisi Energi DPR
Korantempo, 18/02/2009
Kami tunggu saja rapat dengar pendapat berikutnya."
JAKARTA - PT Pertamina (Persero) membantah anggapan bahwa surat yang
dilayangkan ke Komisi Energi dan Lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat
merupakan bentuk protes.
"Itu bukan surat protes. Kami hanya mengusulkan agar rapat
selanjutnya dengan komisi tersebut bisa lebih efektif, efisien, dan
sesuai substansi," ujar Sekretaris Perusahaan Pertamina Toharso
kepada Tempo kemarin.
Menurut dia, surat itu dipicu oleh suasana yang berkembang dalam
rapat kerja pada 10 Februari lalu. Dalam rapat itu, kata Toharso,
pernyataan-pernyata an yang dilayangkan sejumlah anggota Dewan tidak
layak dan menyinggung anggota direksi.
"Kami meminta kepada anggota Komisi agar rapat berikutnya lebih ke
arah substansi, seperti tanggung jawab, kinerja, dan progress
Pertamina serta struktur harga produknya," ujarnya.
Toharso menegaskan, saat ini Pertamina tidak akan memberikan
klarifikasi kepada anggota Dewan. "Kami tunggu saja rapat dengar
pendapat berikutnya," ujarnya.
Dalam rapat kerja yang berlangsung Senin lalu, sejumlah anggota
Komisi Energi bersitegang dengan jajaran direksi Pertamina, disulut
oleh surat protes Pertamina bertanggal 13 Februari 2009. Dalam
suratnya, Pertamina menilai beberapa anggota Dewan mengajukan
pertanyaan di luar agenda rapat. Bahkan disebutkan, Dewan mengancam
akan meminta pergantian direksi. Dewan dianggap melanggar Tata Tertib
DPR Pasal 110.
Pemimpin sidang, Sonny Keraf, anggota Dewan dari Fraksi Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, kemudian meminta klarifikasi. Sonny
menyebut protes tertulis itu melecehkan anggota Komisi dan anggota
DPR secara umum.
Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil meminta Komisi
Energi melayangkan protes kepada Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Purnomo Yusgiantoro. "Itu urusan bisnis Pertamina dengan
Komisi VII (Komisi Energi dan Lingkungan), tidak ada urusan dengan
saya," ujar Sofyan.
Alvin Lie, anggota Komisi Energi dari Fraksi Partai Amanat Nasional,
berkukuh bahwa surat yang dilayangkan Pertamina itu merupakan bentuk
protes. "Publik bisa menilai surat itu protes atau usulan," katanya kemarin.
Adapun anggota Komisi dari Fraksi Golkar, Agusman Effendi, mengatakan
direksi Pertamina seharusnya lebih siap menghadapi kritik. "DPR bukan
lembaga pendidikan melainkan lembaga politik. Seharusnya direksi siap
dengan gejolak-gejolak yang timbul di sana," ujarnya. SETRI | SORTA TOBING
Ditjen Migas keluarkan 189 izin usaha hilir migas
JAKARTA: Ditjen Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral telah mengeluarkan 189 izin usaha untuk kegiatan bisnis hilir
minyak dan gas, yang terdiri dari bersifat tetap sebanyak 101 dan
bersifat sementara berjumlah 88 badan usaha.
Menurut laporan Ditjen Migas, izin yang diberikan itu meliputi izin
pada kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga
kegiatan bisnis hilir migas.
Khusus izin bersifat tetap usaha pengolahan, laporan itu menyebutkan
sebanyak enam badan usaha telah mendapatkan izin tang terdiri satu
izin pengolahan minyak dan gas, satu izin pengolahan minyak bumi, dan
satu izin pengolahan hasil olahan, serta tiga izin pengolahan gas bumi.
Selanjutnya, Ditjen Migas juga melaporkan instansi itu juga telah
menerbitkan 46 izin tetap usaha pengangkutan. Jenis izin itu terdiri
dari 41 izin pengangkutan BBM, tiga izin pengangkutan liquefied
petroleum gas (LPG/elpiji) , satu izin pengangkutan compressed natural
gas (CNG), dan satu izin pengangkutan gas bumi melalui pipa.
Ditjen itu juga telah memberikan izin tetap untuk kegiatan usaha
penyimpanan sebanyak 11 izin yang terdiri sembilan izin penyimpanan
bahan bakar nabati (BBN), dua izin penyimpanan elpiji, dan 38 pada
kegiatan usaha niaga.
Khusus izin kegiatan usaha niaga, Ditjen Migas memberikan
masing-masing dua izin niaga gas bumi yang memiliki fasilitas
jaringan berdistribusi, tiga izin niaga gas bumi yang tidak memiliki
fasilitas jaringan distribusi.
Selanjutnya, tambah laporan itu, instansi itu juga telah mengeluarkan
satu izin niaga elpiji, satu izin niaga terbatas minyak bumi, satu
izin niaga terbatas hasil olahan minyak bumi, delapan izin niaga umum
BBM, 14 izin niaga terbatas BBM, empat izin niaga CNG, satu izin
niaga umum hasil olahan gas bumi, dan tiga izin niaga terbatas hasil
olahan gas bumi.
Dalam kesempatan itu, ditektorat itu menyatakan hingga 2008 juga
telah mengeluarkan izin usaha sementara sebanyak 10 izin usaha pada
kegiatan usaha pengolahan yang terdiri dari enam izin pengolahan
minyak bumi, dua izin pengolahan hasil olahan, dan dua izin
pengolahan gas bumi.
Oleh Diena Lestari
Bisnis Indonesia
Pertamina Minta Jaminan Pemerintah Atas Proyek Natuna
Jakarta (ANTARA News) - Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP
Migas) mengungkapkan, PT Pertamina (Persero) meminta jaminan pemerintah
atas pinjaman proyek pengembangan gas Blok Natuna D Alpha.
Kepala BP Migas R Priyono sebelum rapat dengan Pansus Hak Angket BBM DPR
di Jakarta, Rabu mengatakan, jaminan tersebut diperlukan karena biaya
investasi pengembangan Natuna diperkirakan mencapai 40 miliar dolar AS.
"Pertamina minta jaminan ,trustee letter, dari pemerintah seperti halnya
proyek Tangguh," katanya.
Priyono mengatakan, di tengah situasi global sekarang ini, mencari
pinjaman 500 juta dolar AS saja sulit, apalagi 40 miliar dolar AS.
Saat ini, Pertamina tengah mencari mitra untuk mengembangkan Blok Natuna D
Alpha tersebut.
Hasil seleksi awal telah terpilih delapan calon yakni Chveron, Total,
ExxonMobil, StatoilHydro, CNPC, Shell, Petronas, dan ENI Spa.
Kriteria mitra yang diinginkan Pertamina di antaranya menyangkut aspek
teknologi, finansial, serta kesesuaian calon terhadap persyaratan
kemitraan.
Pertamina berkeinginan memiliki saham mayoritas sekaligus menjadi operator
blok tersebut dengan porsi kepemilikan minimal 40 persen.(*)
Minggu, 18 Januari 2009
Blok Langgak Dikelola Riau
Berproduksi sejak Januari 1979, Blok Langgak yang memiliki 21 sumur dan masuk dalam wilayah Blok Moutain Front Kuantan (MFK) itu rata-rata menghasilkan 450 barel minyak per-hari. Sesuai dengan kontrak, ladang minyak ini telah habis masa kontraknya pada 15 Januari 2004 silam. Namun kemudian diperpanjang hingga empat kali yang berakhir pada 19 Januari ini. Pihak Cevron yang dikonfirmasi tadi malam membenarkan berakhirnya kontrak pengelolaan Blok Langgak itu. Hanafi Kadir, Manajer Communications & Public Affairs PT CPI kepada Riau Mandiri mengungkapkan pihaknya siap menyerahkan pengelolaannya kepada Pemprov Riau. "Untuk kelanjutan pengelolaan ke depan, semua keputusan ada di tangan Pemprov Riau, apakah harus menunjuk perusahaan lain atau harus memperpanjang kembali kontrak dengan pihak PT CPI," katanya.
Bila pemerintah meminta PT CPI kembali untuk mengelola Blok Langgak tersebut, pihaknya tidak bisa menolak. "Demi kelangsungan produksi ladang minyak tersebut PT CPI tidak bisa mengelak jika diminta lagi," jelas Hanafi. Namun perlu ditekankan, apabila kontrak PT CPI telah berakhir untuk pengelolaan di masa yang akan datang, pihaknya juga akan siap membantu di masa transisi bagi operator baru yang akan mengelola Blok Langgak tersebut. "Demi kelangsungan dan kelancaran produksi," jelasnya.
Masih Ngambang
Sementara itu Gubri mengungkapkan, ke depan pasca selesainya kontrak pengelolaan CPP Blok oleh Chevron hari ini, ada waktu tiga bulan masa transisi bagi SPR dan Pemprov Riau untuk mempersiapkan diri, sebelum memulai operasi pengelolaan. "Kan ada masa transisi 3 bulan, sama juga dengan CPP Blok dulu. Kita juga telah persiapkan seperti garansi bank, tapi pada hakikatnya sudah," ujarnya. Rusli sendiri beberapa waktu lalu menegaskan rencana pengelolaan Blok Langgak oleh SPR telah berlangsung sejak 2 tahun yang lalu. "Jadi bukan seketika, itu sudah direncanakan sejak 2 tahun yang lalu," katanya.
Tentunya dengan adanya persetujuan Menteri ESDM seperti yang diungkapkan Gubri, sekaligus menghapus keraguan sejumlah pihak yang mempertanyakan tentang izin pengelolaan yang dimiliki PT SPR. Sebab, selama ini SPR dikenal sebagai perusahaan pihak ketiga atau perusahaan yang bermain di tataran hilir. Hanya saja, Gubri sendiri ketika ditanya wartawan tentang tanggal dikeluarnya izin dari ESDM tersebut, tidak menjawab dengan jawaban yang pasti. Gubri justeru menjawab dengan jawaban yang ngambang. "Tanggalnya disesuaikan," jawab Gubri lantas masuk ke mobil dinasnya dan pergi meninggalkan wartawan. Begitu juga dengan pihak PT SPR sampai saat ini masih menutup diri, terutama bagi media. SPR terkesan enggan melayani media untuk mempertanyakan kesiapannya sebagai BUMD yang ditunjuk untuk mengelola Blok Langgak. Soal sikap PT SPR itu, Gubri juga meminta wartawan untuk langsung mempertanyakan ke pihak SPR. "Tanyakan aja ke SPR," jawab Gubri.
Disegerakan
Kalangan DPRD Riau sendiri meminta Pemprov Riau, termasuk PT SPR, untuk menyegerakan berbagai persyaratan yang dibutuhkan, sehingga dalam waktu tiga bulan kedepan atau menjelanh habis masa transisi 3 bulan, tidak ada kendala lagi. "Dari awal kita dari dewan tidak mempersoalkan BUMD mana yang akan mengelola Blok Langgak ini apakah Riau Pertrolium (RP) atau PT SPR, yang penting bagi dewan adalah rebut dulu oleh pemprov. Kemudian Gubernur rekomendasikan siapa yang akan mengelola. Sebab yang terpenting adalah dengan dikelolanya Blok Langgak oleh daerah akan mendatangkan pemasukan atau PAD bagi daerah," kata anggota Komisi B DPRD Riau, H Syamsul Hidayah Kahar.
Oleh karena itu, kata Syamsul, kalau Gubernur menyatakan PT SPR sudah mendapat rekomendasi dari kementrian ESDM, maka pemprov dan PT SPR harus menyegerakan berbagai persyaratan atau keperluan untuk mengelola blok Langgak, baik SDMnya, peralatan atau teknologinya. "Ini merupakan peluang yang sangat baik, dengan dipercayakannya kepada daerah untuk mengelola Blok Langgak, maka semua stakeholder di Provinsi Riau harus bekerja maksimal. Sebab masih ada peluang yang lebih besar untuk beberapa tahun ke depan, sebab sekitar tahun 2019 kontrak Cevron akan berakhir. Kalau sudah berakhir, tentunya peluang daerah untuk mengelola lebih besar," paparnya. Hal senada juga dikatakan anggota Komisi B, Bambang Triwahyono. Menurutnya, bagi dewan tidak mempersoalkan perusahaan mana yang mengelola, yang penting ladang minyak tersebut dikelola daerah dan mendatang PAD bagi daerah.
"Sebab berdasarkan hitung-hitungan pada saat hearing Komisi B beberapa waktu lalu, bagi daerah yang mengelola ladang minyak ini, maka Riau akan mendapat dana sekitar Rp20 Miliar per-tahun. Itu khusus bagi yang mengelola. Lain lagi dengan DBH. Oleh karena itu dengan dipercayakannya kepada PT SPR, semua stake holder harus bekerja maksimal. sehingga pengelolaan Blok Langgak juga maksimal," harapnya. Hingga tadi malam belum diketahui pasti kapan akan dilaksanakan penyerahan resmi pengelolaan Blok Langgak itu dari Chevron ke Pemprov Riau. "Belum ada kabar resmi sampai kini," kata Kabag Humas Pemprov Riau Chairul Rizki ketika dikonfirmasi tadi malam. ( don,hai,aim,mel,ril,tun)