Nasionalisasi sebagai Jalan Keluar Kemandirian Ekonomi Bangsa Indonesia
Oleh : Riza Zuhelmy*
Perlu dicatat bahwa sampai saat ini Indonesia adalah penghasil 25% timah, 2,2% batubara, 7,2% emas, dan 5,7% nikel dunia. Berlawanan dengan semakin menipisnya cadangan mineral tambang kita, sampai saat ini sumbangan industri pertambangan pada PDB tidak pernah menembus angka 3%, atau tidak pernah lebih dari 50 trilyun rupiah. Produksi tembaga dan emas pada tahun 2004 dari PT Freeport (salah satu dari banyaknya perusahaan tambang asing yang beroperasi di Indonesia) di lubang Grasberg yang setara dengan 1,5 milyar US$ (15 trilyun rupiah). PT. Freeport yang dimiliki pemerintah Indonesia hanya sebesar 9,4% dari keseluruhan saham. Merujuk data tahun 1995, di areal tersebut tersimpan cadangan tembaga sebesar 40,3 milyar pon dan emas 52,1 juta ons. Deposit ini mempunyai nilai jual 77 milyar dollar AS. Hingga 45 tahun ke depan penambangan di Grasberg masih menguntungkan. Kemasan promosinya yang paling menakjubkan adalah, biaya produksi tambang emas dan tembaga di sini yang termurah di dunia.
Kondisi Masyarakat : Tapi lihatlah apa yang terjadi atas penduduk asli dari suku Amungme maupun suku-suku lainnya. Jika disimak dari kategori Alvin Toffler, The Third Wave, sebagian besar dari mereka hidup masih seperti di zaman batu. Dengan kaki telanjang dan penutup tubuh hanya sebatas kemaluan, mereka mengembara di hutan-hutan, mengejar binatang buruan bersenjatakan panah dan tombak. Nyaris tidak masuk akal bahwa ada mahluk manusia bertahan dengan cara demikian di tengah udara dingin di atas ketinggian lebih 2.000 m dari permukaan laut.
Hal yang serupa terjadi di Riau PT. Caltex Pacific Indonesia yang sekarang bernama Chevron telah mengeksploitasi kekayaan pertambangan di negeri selama puluhan tahun. Terhitung sejak awal Negara ini terbentuk sampai sekarang ini PT. CPI sangat mendominasi pengelolaan asset pertambangan minyak bumi yang dititipkan Tuhan kepada masyarakat manusia di Indonesia di negeri ini. Kekayaan alam yang seharusnya menjadi pondasi pengembangan corak produksi manusia malah dijadikan lading akumulasi modal oleh kapitalis asing dan dalam negeri (pemerintahan kaki tanggannya). Sebagaimana yang kita ketahui bahwa perkembangan masyarakat manusia adalah didasari pada aktivitas produksi yang dilakukannya, sehingga hal tersebut akan melahirkan corak produksi. Serta industri modern yang sehat dan bersih bias tercapai bila tenaga kerja tersebut menjadi tenaga produktif (selain mampu berproduksi, terpenuhi hak primernya yakni : sandang, pangan, dan papan, serta hak sekundernya pendidikan, kesehatan, hiburan, olahraga, dan lain sebagainya. Hal ini yang tidak pernah kita temukan dari proses produksi tuan kapitalis yang selalu diundang oleh kaki tangannya (Pemerintahan Rezim Orde Baru sampai SBY-JK dan antek-anteknya). Logika nya kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan yang kita rasakan adalah sebuah konsekwensi. Sakai misalnya menjadi suku yang sangat terisolir serta hamper seluruh desa tempat PT. CPI beroperasi tidak mendapatkan layanan Pendidikan, Kesehatan yang gratis dan layak, Jalan yang rusak serta tidak berlistrik. Padahal pemerintah dengan mengandalkan industri pertambangan kita yang begitu luas bias menjawab ini semua. Tidak ada data yang kongkrit tentang hasil produksi PT. CPI dan kontribusinya kepada rakyat, yang ditinggalkan adalah Monumen miliyaran Barel yang telah tersedot, Kebodohan, Keterbelakangan, Kemiskinan, Penyakit, Limbah dan Penderitaan. Pemprov Riau saja baru melakukan upaya penelaahan berapa keuntungan produksi minyak bumi di Riau beberapa waktu lalu.
Padahal, dengan produksi minyak sebanyak 500 juta bbl per tahun, Indonesia punya sisa waktu hingga 10 tahun. Sedangkan dengan produksi 2,9 TSCF per tahun, cadangan gas bumi akan kosong dalam 30 tahun. Sepanjang kurun waktu tiga tahun terakhir, pemasukan sektor migas- yang mayoritasnya adalah ekspor- mencapai 25% (rata-rata) dari keseluruhan pendapatan negara (APBN), atau sekitar 70-80 trilyun rupiah. keuntungan sebesar 170 trilyun rupiah per tahun yang akan diraih Exxon ke depannya di blok Cepu saja. sekitar 137 perusahaan migas yang kini beroperasi di Indonesia, sedangkan hanya 20 di antaranya yang merupakan perusahaan nasional.
Cost recovery merupakan pengeluaran negara untuk membiayai investasi pengembangan lapangan migas sehingga pendapatan dari migas harus dipotong cost recovery dulu baru masuk kantong pemerintah. Total cost recovery yang dikeluarkan pemerintah untuk migas 2005 membengkak 50,9% atau US$2,54 miliar dari US$4,99 miliar pada 2004 menjadi US$7,53 miliar.
pembagian hasil produksi dengan KPS-KPS (kontraktor production sharing) atau MNC-MNC migas dan cost recovery yang begitu merugikan bangsa kita, Sebagai contoh mungkin bisa dipergunakan data per-migas-an kita setahun lalu. Jika menggunakan asumsi rata-rata harga minyak 2005 US$60 per barel maka dengan data BP-MIGAS yang mencatat angka lifting minyak 2005 adalah 364.376.000 barel maka total pendapatan minyak di tahun 2005 adalah US$21,8 miliar. Angka tersebut belum dipotong cost recovery, dengan membengkaknya cost recovery minyak hingga US$4,19 miliar yang harus dibayar pemerintah pada KPS, maka sisa pendapatan migas yang harus dibagi hasil US$17,61 miliar. Dari kontrak kerja sama antara pemerintah dengan KPS, sepertinya tidak ada pembagian hasil 85:15 sebagaimana disebut-sebut selama ini. Rata-rata kontrak kerja sama pemerintah dengan KPS adalah 60% pemerintah dan 40% KPS. Dengan demikian dari pendapatan minyak US$17,61 miliar, pemerintah US$10,6 miliar, KPS US$7,04 miliar, hanya selisih US$3 miliar dari pendapatan pemerintah. Padahal KPS sudah menerima bagian US$4,19 miliar yang harus dibayar pemerintah sebagai cost recovery sehingga total bagian KPS dari seluruh pendapatan migas US$11,23 miliar. Sementara pemerintah hanya mendapat US$10,6 miliar. Dari angka yang ada, maka bagian pemerintah lebih kecil ketimbang KPS.
UU Migas No. 22 Tahun 2001.
Semakin mempermudah MNC-MNC Migas dunia seperti Shell, Petronas, Total, Chevron, dan Texaco menjelajahi ranah usaha yang sama sekali baru tetapi cukup menggiurkan bagi mereka - sektor hilir migas. Undang-undang yang salah satu pra syarat pencairan pinjaman lembaga-lembaga keuangan dunia, telah memuluskan liberalisasi sektor hilir migas seperti pengilangan, pengangkutan, sampai ke pemasaran.
Alibat : Sangat logis jika agenda pengurangan subsidi BBM dilakukan secara ‘serius’ sekali oleh rezim Mega-Hamzah sampai ke SBY-JK.
Resiko Kedepan : Persaingan di sektor hilir harus dibuat ‘seadil-adilnya’ untuk tamu-tamu asing tersebut (baca: MNC-MNC migas). Sungguh menyedihkan bila melihat bagaimana Pertamina yang korup dan hampir bangkrut dipaksa bersaing dengan MNC-MNC bermodal besar dan teknologi tinggi, sampai akhirnya dapat dipastikan akan tersingkir sama sekali di masa depan jika tidak ada perubahan (baca: reformasi) yang radikal di dalam tubuhnya.
Rakyat miskin Indonesia yang jumlahnya telah mencapai 115 juta orang.
Karena telah dapat disimpulkan bahwa penguasaan industri pertambangan, dan menjadikan Indonesia sebagai pasar, adalah jantungnya kepentingan utama imperialisme di Indonesia, maka jalan keluar utama untuk membendung dan melawan arus penjajahan asing adalah dengan melaksanakan program nasionalisasi seluruh aset pertambangan dan migas pada tahap awalnya. Dengan Program-program semacam nasionalisasi, pengambilalihan hingga pemberlakukan pajak yang tinggi bagi investasi dan royalti pendapatan perusahaan-perusahaan asing, adalah program-program yang sangat ditakuti oleh imperialisme.
Ada beberapa metode yang pernah digunakan di dunia untuk melakukan nasionalisasi.
Pertama adalah dengan jalan mere-negoisasi kontrak kerja sama (Kontrak Karya dan Kontrak KPS).
Contoh :
Presiden Evo Morales mengleuarkan sebuah dekrit yang memutuskan untuk menasionalisasi seluruh aset migas di Bolivia yang diwujudkan dengan paksaan untuk re-negoisasi seluruh kontrak yang telah ada. Disebutkan bahwa seluruh perusahaan energi asing memiliki waktu 180 hari untuk menyetujui kontrak baru dengan perusahaan milik pemerintah Yacimientos Petroliferos Fiscales Bolivianos (YPFB)-semacam Pertamina nya Bolivia. Selama masa transisi, YPFB akan memperoleh pemasukan 82 persen dan produsen (MNC-MNC) hanya 18 persen. Hanya perusahaan yang mau menerima kontrak baru tersebut yang diizinkan beroperasi di Bolivia. Langkah ini dilakukan dengan mengajak seluruh rakyat. Dalam salah satu pidatonya Morales memanggil para warga Bolivia untuk memobilisasi diri guna menghadapi setiap upaya sabotase yang dilakukan pihak lain atas operasi pengambilalihan itu. Tidak ketinggalan militer setempat pun ikut digerakkan atas komando sang presiden. Tak lama setelah Morales mengeluarkan perintah itu, pimpinan militer segera mengerahkan pasukannya ke ladang migas yang ada di negara Amerika Latin itu. Sekitar 56 ladang migas telah diduduki oleh negara.
Perubahan dalam kontrak meliputi aspek peningkatan pembagian keuntungan (saham), kejelasan konsep alih teknologi, dan peningkatan pajak/royalty.
Contoh :
Pada tahun tahun lalu pemeritah Venezuela minta kepada maskapai-maskapai swasta asing itu untuk merobah kontrak mereka dengan menjadikannya sebagai joint-venture atau mixed company bersama Petroleos deVenezuela SA (semacam Pertamina nya Venezuela), dengan pembagian saham sedikitnya 60% untuk perusahaan minyak negara Venezuela. Banyak maskapai-maskapai asing ini menerima tawaran syarat-syarat baru ini tanpa banyak perlawanan, karena berpendapat bahwa meskipun lebih banyak uang yang masuk kas negara Venezuela, mereka toh masih mendapat keuntungan juga (perlahan kita rebut secara total).
Yang kedua adalah penghentian sepihak kontrak yang sudah ada dan kemudian memberikan kompensasi.
Jika kepentingan nasional mendesak dan merugikan, kita berhak melakukan secara sepihak pemutusan kontrak lalu memberikan kompensasi seperlunya untuk masa kontrak yang belum dipenuhi.
Contoh :
Perdana Menteri Iran Mossadegh yang pernah menasionalisasi perusahaan minyak Anglo-Iranian pada masanya berkuasa (meskipun harus kehilangan kekuasaan – digulingkan AS), Memang betul bahwa tindakan penghentian kontrak karya ditengah jalan memungkinkan dibawanya negara ke arbitrase internasional (di Indonesia dilegalkan dengan UU. No. 25 Tahun 2007 Pasal 21-22 UU PMA bahwa keberadaan hak kepada investor asing yang melakukan penanaman modal yang dibolehkan dalam UU PMA untuk melakukan arbitrase terhadap pemerintah Indonesia jika terjadi pemutusan secara sepihak).
Yang sangat menarik Menteri Urusan Minyak Venezuela Ramirez soal kesiapannya menghadapi konfrontasi dengan maskapai-maskapai asing yang mereka sita ladang minyaknya, seperti TOTAL (Perancis) dan ENI (Italia). Ia mengatakan bahwa pemerintahnya “siap untuk pergi ke pengadilan di langit kalau mereka mau”, dan memperingatkan bahwa maskapai-maskapai asing yang terlibat dalam konfrontasi semacam itu tidak akan diikutsertakan dalam proyek-proyek yang akan datang di Venezuela yang mempunyai cadangan minyak sangat besar itu.
Yang ketiga adalah dengan menasionalisasi secara langsung tanpa adanya re-negoisasi kontrak ataupun kompensasi.
Situasi-situasi yang revolusioner dari massa rakyat sangat menunjang untuk pelaksanaan metode ini. Contoh yang paling bagus adalah seperti dalam kasus Kuba. Setahun setelah Revolusi Kuba 1959, pemerintah Fidel Castro menasionalisasi kilang-kilang minyak AS, Texaco dan Exxon, serta Shell milik Belanda, juga menasionalisasi seluruh industri pokok—termasuk 382 perusahaan dalam negeri—sektor perbankan swasta asing dan dalam negeri.
Telah mengambil alih perusahaan-perusahan swasta di antaranya pertambangan milik Yukos, perusahaan swasta perminyakan raksasa. Hasilnya adalah Rusia berhasil meraih pendapatan ratusan miliar dolar AS dari ekspor migas. Sehingga anggaran belanja negara mencatat surplus sebesar 56 miliar dollar AS. Rusia juga bisa memiliki cadangan devisa sebesar 277 miliar dollar AS, ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan Jepang.
Pernah Kita Lakukan!
Himbauan nasionalisasi ini tertuang secara hukum di PP 13/1960 (nasionalisasi industri perbankan), PP 50/1959 (nasionalisasi industri pertambangan), PP 45/1959 (nasionalisasi industri maritim), PP no. 012/1959 (nasionalisasi peternakan dan perkebunan), PP no. 018/1959 (nasionalisasi industri gas dan listrik), dll.
Upaya yang mirip juga pernah terjadi di Indonesia pada zaman pemerintahan Soekarno saat suhu perpolitikan tanah air sedang panas sekali di penghujung tahun 50-an. Himbauan langsung dari Sukarno untuk menasionalisasi seluruh aset Belanda yang ada di Indonesia disambut dengan meluasnya aksi-aksi rakyat buruh-tani yang terorganisir.
Militer Indonesia Ga Beres!!!
Tidak seperti di Bolivia yang mana tentaranya terideologi dan setia kepada rakyat. Di Tanah Air aksi-aksi rakyat tersebut begitu mudahnya dikooptasi oleh kelompok militer reaksioner. Seluruh perusahaan yang telah berhasil dinasionalisasi kekuatan buruh-tani diserahkan semerta-merta kepada militer
Hal ini ditunjukkan secara jelas, pada Tahun 1957, dengan dibentuknya Badan Nasionalisasi (BANAS) oleh Soekarno untuk melaksanakan ambil alih, atau Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda, dengan Ketua Harian BANAS Bapak D. Suprayogi (Mayjen), dan Bapak Suhardiman (Kapten-TNI-AD) sebagai Sekretaris BANAS. TMSU (Tambang Minyak Sumatera Utara) diserahkan kepada KASAD. Di zaman PM Ir. H. Juanda, 22 Juli 1957 -- setelah rapat umum yang dihadiri 15 ribu orang di Pangkalan Berandan 16 Juni 1957 -- Menteri Perindustrian dan Perdagangan IR. Inkiriwang menyerahkan kekuasaan mengenai TMSU kepada KASAD Jenderal AH. Nasution. Sebagai pemegang saham atas nama Pemerintah Republik Indonesia bertindak Ibnu Sutowo dan asistennya Mayor Harijono
Jangan Takut, Mari Kita Evaluasi dan Rebut Kembali!!!
Kegagalan masa lalu harus menjadi pelajaran untuk gerakan rakyat ke depannya. Setelah disajikan beberapa pilihan langkah untuk menasionalisasi, rakyat lah yang akan menentukan metode seperti apa yang digunakan sesuai dengan kondisi objektif yang berlaku dan yang paling memungkinkan. Program ini haruslah diyakini rakyat karena banyak sekali hal baik yang bisa dicapai untuk bangsa dengan melaksanakannya.
Jika berhasil menasionalisasi sektor migas saja, Indonesia akan menguasai mutlak minimalnya delapan milyar barrel cadangan minyak mentah Indonesia (produksi tahunan minyak mentah kita sekitar satu jutaan barrel) yang dengan asumsi harga minyak internasional 60 dollar AS per barrelnya akan bisa menyumbang cadangan devisa kita sebesar 480an milyar dollar AS.
Bukan Pertama Kali
Selama Orde baru dan juga sekarang pembangunan Indonesia semakin dikuasai oleh kekuatan ekonomi asing dan dibebani dengan semakin besar hutang luar negeri. Tetapi ini bukan pertama kali kemerdekaan Indonesia dikungkung oleh neo-kolonialisme ini. Pada tahun 1950an: vergardering, rapat massa, dan semua senjata revolusi lain juga digerakkan untuk melawan dominasi ekonomi asing dan hutang luar negeri.
Merdeka adalah ide pertama yang menyatukan rakyat Indonesia. Tetapi sejak semula kata MERDEKA mengandung banyak ide lain. MERDEKA adalah jembatan emas menuju keadilan dan kemakmuran. Rakyat disatukan oleh ide merdeka karena ide itu menggambarkan sebuah pengertian tentang realitas. Merdeka bukan sebuah konsep abstrak. MERDEKA berarti mempunyai negeri dan negara sendiri, tidak lagi dikuasai oleh kekuasaan bermental rasis, bertindakan eksploitatif dan memerintah secara diktator. Tetapi MERDEKA juga berarti menghilangkan eksploitasi, membuka kemerdekaan berpolitik dan membangun ekonomi dan budaya supaya tidak hanya formal kesamarataan dengan bangsa dan negara lain tetapi secara riil juga.
Tetapi pemerintah konservatif yang menguasai kabinet Republik Indonesia pada tahun sudah berkompromi dengan kekuatan kolonial. Belanda boleh mempertahankan perusahaannya yang sudah dibangun selama zaman kolonial sebagai hasil eksploitasi dan dominasi kolonialnya. Seluruh sektor modern dari ekonomi kembali dikuasai kekuatan neo-kolonial. Bukan saja itu. Pemerintah Hatta-Sjahrir ini juga menyetujui bahwa rakyat Indonesia harus bayar kompensasi pada Belanda untuk menutupi kerugian anggaran negara Belanda akibat 4 tahun melakukan perang terhadap rakyat dan bangsa Indonesia! Sehingga pada tahun 1949, Indonesia sudah berhutang luar negeri berjuta-juta dollar. Juga sebagian dari Hindia Belanda, Papua dibiarkan di dalam tangan penguasa kolonial.
Tetapi selama 1949-1957 banyak dari rakyat tidak tinggal diam dan tidak terima situasi ini. Sebuah front nasional untuk merebut kembali Irian Barat dibangun. Semakin lama jutaan orang terlibat. Perjuangan merebut kembali Irian Barat adalah sebuah perjuangan gerakan massa yang terus meningkatkan desakan terhadap pemerintah Indonesia untuk lebih giat memperjuangkan kemerdekaan Papua sebagai bagian dari Indonesia. Tetapi gerakan massa ini tidak sekedar terfokus pada Irian. Dengan sendirinya gerakan ini mempertajam fokus rakyat pada kenyataan bahwa ekonomi Indonesia masih ditangan Belanda dan bahwa negeri masih dibebani hutang negeri yang tidak adil.
Tuntutan atas nasionalisasi perusahaan Belanda dan pemutihan hutang luar negeri juga meningkat. Organisasi-organisasi kerakyatan, seperti serikat buruh, semakin giat, begitu juga partai-partai nasionalis dan kiri. Pada tahun 1957, kaum buruh di perusahaan Belanda bergerak dan menduduki perusahaannya. Boss-boss Belanda dipersilahkan berangkat. Dengan segera DPR mengesahkan tindakan ini dan semua perusahaannya dinasionalisasikan. Sisa hutang negeri pada Belanda (sebgain memang sudah dibayar) diputihkan. Pada tahun 1958 bisa dikatakan bahwa Indonesia berdaulat penuh terhadap ekonominya dan tidak mempunyai hutang luar negeri yang berarti. Pengalaman sesudah tahun 1958, juga menunjukkan bahwa memenangkan kemerdekaan formal (selesai direbut tahun 1949) disertai dengan mengusir kekuatan kolonial dari medan ekonomi (1956-57) tidak selesaikan masalah. 1958 Indonesia berdaulat terhadap ekonominya. Tetapi kekuatan neo-kolonial tetap menguasai ekonomi dunia, dan Indonesia mau tak mau tidak bisa lepas dari ekonomi dunia ini. Kekuatan neo-kolonial (imperialis) tetap menyerang. Pemerintahan Amerika Serikat dan Australia membantu gerakan PRRI dengan senjata. IMF dan Bank Dunia kirim delegasi ke Indonesia tahun 1962 mendesak Indonesia kembali ke ekonomi liberal, yaitu bersatu dengan ekonomi dunia dengan terima dikte-dikte kondisi dari Washington, London dan Tokyo. Pemerintah Amerika Serikat dan Inggeris Raya terus-menerus membangun hubungan secara diam-diam dengan teman-temannya di tubuh angkatan bersenjata yang terbuka untuk terima kembali kedudukan sebagai negeri dibawah dominasi nekolim. Militer sendiri lagi memperkuat kedudukan sesudah bisa memanfaatkan keadaan darurat militer untuk merebut banyak jabatan sebagai boss bekas perusahaan Belanda.
Adalah persekutuan ini – kekuatan nekolim berpusat di Washington dengan sebagian elemen tentara yang sanggup menjadi komprador pihak nekolim yang mendirikan Orde Baru, menindas gerakan pembebasan nasional yang anti-nekolim dan membuka pintu mengundang nekolim masuk kembali. Mula-mula nekolim ini dibatas-batasi sedikit untuk memberi ruang element-elemen tentara ini, serta kroninya, membangun konglomerat bisnisnya sendiri. Tetapi mau tak mau dengan jalan itu ekonomi Indonesia kehilangan integritasnya dan manjadi bagian dari sebuah ekonomi dan pasar dunia yang dikuasai Washington, London, Berlin, Tokyo, Canberra dan lain-lain.
Pada tahun 1997 ketergantungan ekonomi Indonesia pada kepentingan asing mejadi terbuka untuk semua orang melihat. Akibat faktor eksternal, ekonomi Indonesia runtuh dan belum bisa pulih. Dalam situasi ini, pihak kapitalis asing memperbesar lagi kekuasaannya melalu berbagai persetujuan baru dengan IMF.
Blok Langgak, Blok Sagu, Blok Rokan dan Blok Lainnya disektor Migas Kini Milik Siapa dan Untuk Siapa?
Permasalahan yang sangat mendesak dan menjadi buah bibir saat ini adalah pengelolaan blok langgak yang sudah berakhir masa kontraknya dengan PT. CPI sejak 2005 yang lalu. Namun sampai sekarang belum ada kepastian pengelolaan blok langgak kedepan. Hal ini diperparah lagi sikut-sikutan pengelolaan bukan dilihat dari siapa yang lebih professional dan sanggup mengelola tetapi perusahaan yang mana yang dekat dengan penguasa Riau hari ini dialah yang akan mengelola. Riau Petroleum sebagai BUMD yang bergerak pada pengelolaan dan produksi migas harus bersaing dengan PT. SPR (Sararna Perekonomian Riau) yang baru diusulkan ke DPRD Riau untuk diatur bidang pengelolaannya disektor pertambangan. Dan sampai saat ini kedua perusahaan ini belum memperlihatkan kepada rakyat Riau kesanggupannya mengelola sector pertambangan dan menjadikannya penopang kemandrian ekonomi. Perkembangan terakhir DPRD Prov, Riau sedang membahas tentang hal ini dengan memebentik Panitia Khusus, ironisnya panitia ini bukan membahas tentang kontrak karya (KPS) tetapi membahas PT. SPR agar bias menjadi BUMD yang bergerak disektor pertambangan. Dan pembahasan tentang hasil tambang dikemanakan, apakah dikelola menjadi barang yang lebih bernilai guna belum menjadi pembahasan yang serius. Padahal waktu terus berjalan dan produksi terus berlanjut tanpa kejelasan pengelolaan dan hasil produksi dikemanakan.
Inilah yang menjadi alasan pemerintah pusat enggan memberikan pengelolaannya oleh BUMD – Pemprov Riau. Belum blok Rokan yang berada di Rokan hilir akan berakhir kontraknya, blok Sagu serta blok yang lainnya. Padahal ini sangat berpotensi untuk dijadikan milik kita (rakyat Riau) untuk menopang kemandirian ekonomi rakyat Riau. Seharusnya Nasionalisasi bias kita mulai dari sini.
Gambaran permasalahan dunia perindustrian kita adalah sebagai berikut :
a. Sektor pertanian cukup besar kontribusinya pada PDB, sekitar 18,5% dan sebagian besar tenaga kerja mendapatkan nafkah dari sektor ini, yaitu sekitar 54%. Akan tetapi disisi lain tingkat upah di sektor ini sangat rendah dibanding sektor industri, yaitu sekitar setengahnya.
b. Produk sektor pertanian sebagian besar tidak diolah lanjut menjadi komoditas yang tinggi nilainya, baik untuk pasaran dalam negeri maupun untuk export, seperti beras, aci (tepung cassava), minyak goreng, crumb rubber, sheet, bungkil, teh, kopi, ikan, udang, kayu lapis, cengkeh, dan sebagainya. Penggunaan karet untuk dijadikan komoditas yang lebih tinggi nilainya masih terbatas pada ban mobil dan sejenisnya, belum mencakup konversi menjadi material konstruksi dengan sifat-sifat khusus ataupun komponen permesinan yang berkualitas tinggi. Ekstrak dari tumbuh-tumbuhan untuk bahan obatobatan, misalnya masih sangat terbatas dan pengolahan lanjut dari ekstrak semacam itu juga lebih terbatas lagi.
c. Produk-produk sektor pertambangan juga belum diolah, atau sangat sedikit yang telah diolah menjadi komoditas-komoditas yang bernilai tinggi, seperti high performance steel, high performance ceramics, senyawa organo-metalik, monomer, synthetic polymers, dan sebagainya.
d. Kemampuan produksi barang modal pada umumnya masih sangat terbatas pada struktur-struktur statik, seperti tangki, anjungan, tiang listrik, badan pesawat terbang, boilers, chassing, dan sejenisnya. Produksi rotary dan dynamic devices seperti turbin, kompressor, mesin-mesin perkakas (machinetools), dan sebagainya pada umumnya terbatas pada perakitan, atau belum dilaksanakan.
e. Telah terakumulasi kemampuan teknologi untuk mengoperasikan sistemsistem yang komplex, seperti pembangkit listrik, pabrik pupuk, pabrik LNG, dan sejenisnya; juga dalam hal perakitan dan konstruksi berbagai jenis struktur, serta dalam melakukan system-design.
f. Kemampuan dalam produksi barang-barang elektronik sangat terbatas pada pengoperasian sistem produksi komponen dan perakitan barang-barang konsumen. Kemampuan produksi barang elektronik untuk pemakaian profesional, seperti instrumen untuk pengukuran dan pengendalian otomatik, komputer, dan sejenisnya dapat dikatakan belum terjangkau.
memodifikasi pendekatan dan pelaksanaan industrialisasi yang kini berlangsung dengan memberi penekanan pada upaya:
a. Memanfaatkan sebesar-besarnya kemampuan dan kekuatan yang telah dipunyai, dan yang selama ini telah menunjukkan ketahanan dan ketangguhan dalam menopang perkembangan ekonomi komoditas, yaitu sektor pertanian, dengan cara mengalokasikan upaya yang besar untuk menegakkan industri yang berbasis pada pemanfaatan produk-produk pertanian menjadi komoditas yang bernilai tambah tinggi dan dibutuhkan di dalam negeri serta mempunyai peluang yang baik di pasar internasional;
b. Menegakkan berfungsinya industri teknologi, yang pada taraf mula ditekankan bagi berkembangnya industri pemroses hasil pertanian menjadi komoditas yang lebih canggih, sebagaimana dikemukakan di butir sebelumnya.
Untuk mewujudkan strategi dasar tersebut langkah-langkah yang harus dilaksanakan adalah:
- Mengenali dan menerapkan teknologi budi daya yang lebih produktif dan efisien di sektor pertanian, baik dalam budi daya tanaman, pengusahaan hutan, maupun dalam budi daya ternak dan perikanan;
- Meniadakan hambatan-hambatan institusional dalam perdagangan hasil-hasil sektor pertanian, khususnya yang menyangkut kebijaksanaan harga serta pengaturan tata-niaga, dan secara bersamaan membuka peluang pasar bagi produk-produk tersebut dengan memfungsikan industri proses pengolah hasil pertanian menjadi produk-produk yang lebih canggih, berpeluang pasar, dan berdaya saing;
- Mengerahkan sumberdaya IPTEK (dengan pendanaan yang mencukupi) untuk melakukan penelitian dan pengembangan yang mendukung pada terbentuknya preskripsi-preskripsi teknologis dalam berbudi daya, menggunakan teknik-teknik bio-teknologi, dan dalam memproses hasil budi daya menjadi komoditas-komoditas canggih;
- Mengalokasikan sumberdaya nasional untuk menumbuhkan industri peralatan proses (process equipment industries) dan mengembangkan keahlian-keahlian yang diperlukan untuk itu, baik dalam perancangan dan fabrikasi dan konstruksi peralatan proses, maupun di dalam melakukan proses-proses alih teknologi;
- Menegakkan industri teknologi, terutama yang memfokuskan perhatian dan upaya dalam penciptaan proses-proses pengolahan hasil-hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan(kelautan) dan menciptakan sistem-sistem pemroses (peralatan proses) untuk mengakomodasi pelaksanaan proses-proses yang dikembangkan tersebut. Secara ringkas, strategi dasar yang diturunkan dengan pendekatan analitis sebagaimana diuraikan terdahulu, pada dasarnya merumuskan langkah-langkah untuk memperkuat upaya yang tertuju pada pelaksanaan industrialisasi yang secara eksplisit merujuk kepada penekanan untuk menggunakan landasan kekuatan ekonomi yang telah tersedia, yaitu sektor-sektor yang telah disebutkan di atas.
Inti dari pendekatannya adalah meningkatkan keterkaitan sektor-sektor tersebut dengan sektor industri manufaktur, dan upaya yang dipilih untuk itu adalah:
• Meningkatkan permintaan agregat terhadap komoditas hasil sektor pertanian dan lainnya dengan mendorong pertumbuhan investasi di sektor manufaktur yang tertuju pada pengolahan hasil-hasil pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, dll untuk menghasilkan komoditas yang canggih, bernilai tambah tinggi, dan mempunyuai permintaan pasar yang tinggi di dalam negeri dan di pasar internasional;
• Memperkuat industri alat-alat proses agar lebih mampu menyediakan dan menanggapi permintaan barang modal yang diperlukan dalam industri manufaktur pengolah hasil pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan dll;
• Meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor pertanian, perikanan, perkebunan, dll dengan melakukan intervensi teknologis, sehingga sektor ini mampu menanggapi permintaan yang dibangkitkan dari upaya yang dikemukakan di butir pertama, tidak hanya dalam kuantitas tetapi juga dalam memenuhi dinamika perubahan persyaratan yang dikehendaki.
*) Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat – Serikat Tani Riau (KPP-STR)
Dan Ketua Umum Sentral Gerakan Rakyat Riau (SEGERA)
Jumat, 24 Oktober 2008
CALTEX Corporate Colony
Feature
How an Oil Consortium Pollutes Indonesia
by Robert Weissman
PEKANBARU, INDONESIA <../../../../cgi-bin/country-query?country=Indonesia> - The trees in front of AhmadÆs house, along the Mempura River, are dead, leafless and brittle symbols of development gone awry in IndonesiaÆs Riau Province, on the island of Sumatra. "I relied on the trees for wood for my roof and for food," Ahmad says, "but now there are only a few trees left."
Ahmad (not his real name) blames Caltex, the Asian joint venture of oil giants Texaco and Chevron, for the death of the trees. Six miles upstream, at one of its network of 78 "gathering stations," Caltex separates water from oil recovered from its Zamrud field. After initial separation of oil in tanks from water, the water is discharged into a series of lagoons, where gravity is supposed to separate any remaining oil from the water and the water temperature is reduced by surface cooling; the water then released into canals and eventually into the jungle watershed.
Dead trees are not the only ills for which Ahmad thinks Caltex is responsible. In recent years, the MempuraÆs fish population has also declined, posing severe hardship for people like Ahmad, who formerly worked as a fisher. Now he only works sporadically, collecting rubber from area trees. Ahmad says he wishes he could move his house, but, for him, leaving his village is practically inconceivable.
Others in AhmadÆs village echo his complaints - and also pin responsibility for their problems on Caltex. Nazwar (not his real name), who says the river often smells of oil, reports that the river water is no longer safe to drink, and that those who have drunk the water have become very sick or even died. Nazwar worries about the future of the village, and wonders how it will survive with the river, its lifeblood, polluted and unsafe. "We try to make do," he says.
Caltex flatly denies any responsibility for the villageÆs problems. "Oil content of fresh water discharged from [the Zamrud] gathering station has been consistently within guidelines," says Erwin Kasim, government and public relations general manager of Pertamina, the Indonesian state oil company for which Caltex is a contractor. "The surface water in the Zamrud area, including the Mempura River, is heavily laden - in fact black - with peat and tannin and is not a typically good habitat for fish," Kasim adds. "These heavily organic jungle streams are not a good source of drinking water."
The dispute in the Mempura village is only one of a number of emerging environmental conflicts between Riau communities and Caltex. Although the company boasts about its social and environmental policies and practices, there is increasing evidence that CaltexÆs operations are polluting areas throughout Riau. In June 1993, researchers from the British branch of Greenpeace tested water samples near six Caltex gathering stations and concluded in a report that CaltexÆs operations have been responsible for "large-scale releases of hydrocarbon contaminants into the freshwater system [that] have led to irreparable environmental damage resulting in severe long term hazards to human health and the quality of both surface and subsurface freshwater environments."
Greenpeace did not test the Mempura River for oil pollution, but Simone Troendle, the Greenpeace scientist who took the Riau water samples, says it is entirely possible that CaltexÆs upriver operations are responsible for the problems about which Ahmad, Nazwar and the other villagers are complaining. How oil contaminants are spread throughout the Riau rainforest ecosystem is a complicated process, she says, varying at each gathering station according to the direction of groundwater flows, how much waste Caltex is discharging and a number of other factors. At the very least, she says, the Mempura villagersÆ complaints "must be looked into."
The governmentÆs cut
CaltexÆs operations are spread widely throughout Riau. The company operates more than 100 oil and gas fields within a concession area of 32,000 square kilometers, and its pipelines and access roads criss-cross the province, cutting swaths through the Sumatran rainforest.
Caltex, which first invested in Riau in the early part of this century, is by far the largest oil producing company in oil-rich Indonesia. Each year the company pumps more than 200 million barrels of oil out of the ground.
CaltexÆs operations are governed by a production sharing contract with the Indonesian government. The current agreement allocates 10 percent of the profits derived from CaltexÆs Indonesian operations to the company, and the remaining 90 percent to the government. Accordingly, Caltex is a highly valued foreign investor, and not likely to be criticized by the government; despite IndonesiaÆs ongoing and somewhat successful attempts to diversify its economy, oil still accounts for 31 percent of the debt-ridden countryÆs foreign exchange earnings.
Local villages polluted
The environmental impact of CaltexÆs vast operations is only just beginning to be scrutinized, and even now local villagers are hesitant to challenge the companyÆs effect on the Riau ecology.
That the environmental problems caused by Caltex have not been recognized until now is not surprising, says GreenpeaceÆs Troendle, because of the capacity of the natural environment to absorb pollution. That capacity is limited, however, and the effects of pollution do eventually manifest. That is what is now happening, Troendle believes.
It is not surprising either that the political response to the pollution is developing slowly. In Indonesia, where nearly three decades of brutal authoritarian rule under President Suharto have taught people that protesting against government-supported projects can have extremely high costs, fear is pervasive, especially in the countryside, and remote villages do not have much recent tradition of standing up for their rights.
In the Mempura village, for example, Nazwar says residents have never complained directly to Caltex about their problems. "We donÆt know how to do it," he explains.
But now, aided by local environmentalists, Riau villagers may be slowly beginning to challenge the company.
The village of Sungai Limau has been the leader so far. It reportedly first complained - to both the company and the government - of the effects of alleged Caltex pollution in 1991. But its complaints were not addressed, and they did not generate any media or outside attention.
Then, in a January 1993 letter, Sungai Limau, now supported by the Riau chapter of the Indonesian environmental group WALHI, again charged Caltex with polluting the Sungai Limau and Siak rivers. The Sungai Limau villagers reported problems almost identical to those cited by the Mempura villagers. Their letter noted that oil is often visible in and around the rivers, and they complained that the riversÆ fish population has declined so much that they can no longer fish in them. They also said that a number of villagers have contracted rashes, diarrhea and other sicknesses as a result of the oil pollution.
During the same period, WALHI Riau brought together a coalition of individuals, known as Solidarity Forum, to investigate the Sungai Limau peopleÆs claims. From January to April, the Solidarity Forum investigated CaltexÆs operations.
At the end of April 1993, WALHI Riau wrote a letter to the Indonesian environmental ministry, Bapedal, in which the organization claimed that the preliminary Solidarity Forum investigation had found CaltexÆs Pusaka gathering station, located near Sungai Limau village, responsible for the pollution of the Sungai Limau and Siak rivers. WALHI Riau alleged the water to be contaminated with cyanide and hydrogen sulfide, and polluted for a decade. The letter called on Bapedal to conduct a special investigation of Pusaka and other Caltex gathering stations.
The government did respond to this round of complaints. In January 1993, the Riau governor sent a fact-finding mission to investigate and in April 1993, Bapedal conducted an investigation. The government investigations did not substantiate the charges. Caltex touts the investigations as proof that it is not responsible for the problems besetting Sungai Limau and other villages. As he does in the case of the Mempura village, CaltexÆs Kasim says the river is peat-laden and unfit for household use. The January 1993 investigation team, says Kasim, found "the oil content and discharged temperatures [at the Pusaka gathering station] below guidelines. No oil was detected along the [Caltex]-built discharge canal" which leads to the Siak River. The team also concluded that there was no disturbance of local fish populations and that the skin irritations of which villagers complained were due to poor hygiene, not pollution.
There are reasons to doubt the governmentÆs findings, however. First, the close Caltex- government relationship raises serious questions about the governmentÆs willingness to regulate or sanction the company. Second, Ribut Susanto, president of WALHI Riau, claims that WALHI Riau members witnessed Caltex engaging in a special clean-up of waste canals just prior to the Bapedal investigation in April. Caltex categorically denies SusantoÆs claim, but if it is true, SusantoÆs contention would undermine any basis for trusting the governmentÆs findings. Finally, Greenpeace tests of water samples near six Caltex gathering stations concluded that the villagersÆ claims are valid, and that water supplies are seriously polluted, posing severe health and environmental dangers.
Black gold, toxic effluent
The Minas gathering station, another of the 78 Caltex gathering stations dotting the Riau countryside, lies only a few miles to the north of Pekanbaru, RiauÆs capital. It appears as a bizarre anachronism, its huge oil tanks standing on open tracts of land cleared from in the middle of the Sumatran rainforest. The water treatment system here is very much like those upstream from the Mempura and Sungai Limau villages. Pipes carry oil-contaminated production water, pumped from CaltexÆs fields along with oil, from the tanks to mucky pits, where the water is dumped. The water in the pits, or lagoons, is steaming hot, and sometimes bubbling hot, because the underground fields from which it came are close to the western Pacific volcanic zone. The banks of the lagoons are covered with oil deposits and patches of oil float on top of the lagoons. Water which has settled to the bottom of the lagoons, supposedly free of oil contaminants, is discharged into a series of canals, or streams, which eventually lead to the Siak River, the main river running through Riau.
The June Greenpeace test, however, found the water discharged from the Minas gathering station to be highly contaminated, with oil registering 190 parts per million. This level of contamination, explains the Greenpeace report, poses serious threats to human health and the environment.
Caltex challenges the validity of the Greenpeace findings for the Minas gathering station, with Kasim contending that the Greenpeace sample at Minas was "taken not from a final discharge stream but from an intermediate treatment pit discharge." But Troendle says she walked along the artificial channels running out of the Minas gathering station for several miles and saw no other water treatment mechanism.
Although the Greenpeace study found the highest level of contaminants at the Minas gathering station, it found oil pollution at each of the other five sites it tested. Contamination levels at the other sites averaged an unsafe 9.4 parts per million.
Caltex denies that these discharge levels endanger human health or the environment, with Kasim pointing out that Indonesian guidelines limit oil concentrations in water discharges to 25 ppm. Kasim says the companyÆs "effluent processing technology achieves effluent discharge concentrations of dissolved and suspended materials that are within worldwide limits for prudent operation. We simply do not agree that [CaltexÆs] effluent treatment is inadequate."
Unsafe discharges were not the only environmental problem with CaltexÆs operations which the Greenpeace researchers identified. Because the settling lagoons are not sealed and receive effluent loads which are then poorly confined, hydrocarbons contaminate the soil below the settling lagoons and threaten groundwater quality, the Greenpeace researchers wrote. Again, Caltex denies any problem; Kasim says, "the settling lagoons or treatment pits are specifically designed to allow separation time for water and oil. The sites will be reclaimed and remediated to full legal and prudent standards when production operations are complete."
A final problem cited by Greenpeace stems from the discharge of hot water. Because the discharged water is as hot as 175 degrees Fahrenheit, according to Greenpeace, hydrocarbon contaminants in the water are likely to evaporate, creating local air pollution, much of which can return to the earth in RiauÆs frequent rains. Caltex denies that its discharges are hotter than 113 degrees.
Cutting a deal
That the Sungai Limau villagers and WALHI Riau were able to pressure the government into conducting an investigation of CaltexÆs environmental performance is itself somewhat remarkable, given the repressive nature of Indonesian government and its tight alliance with Caltex.
Both the government and Caltex appear very interested in defusing any protest activities in their infancy, and a key element of their strategy is dividing the local community and splitting it off from non- governmental organizations such as WALHI Riau. Government representatives told Singau Limau villagers that they should negotiate directly with Caltex, without the interference of third parties such as WALHI Riau.
And, according to Susanto, Caltex has succeeded in negotiating directly with leaders of the community, without the involvement of either WALHI Riau or broad segments of the village. At a June 1993 meeting with the head of Sungai Limau village, according to Susanto, Caltex agreed to help build a few wells, make an addition to a school, repair a road and provide some other assistance to Sungai Limau, as well as to investigate the side effects of the companyÆs discharge system. These forms of compensation, says Susanto, "are very far from what the community wants."
Whether Caltex can reach a final agreement with Sungai Limau and snuff out the complaints there is likely to affect what other villages who may be affected by CaltexÆs expansive operations do. If the Sungai Limau dispute can be resolved quietly, without much local or international publicity, it will not have much ripple effect. But if the Sungai Limau villagers can force an admission of Caltex wrongdoing or extract substantial compensation for the damages they have suffered, or if international attention is focused on CaltexÆs operations, local communities and the provincial and national governments will direct a much more searching eye at the Caltex operations which dominate the Riau countryside.
Sidebar
"Responsibility"
CALTEX TAKES PRIDE IN ITS PROCLAIMED ETHIC of corporate social responsibility. "For decades it has been CPIÆs [Caltex Pacific Indonesia] policy that within the area of CPI operation, the communities and their immediate environs should grow and prosper as does CPI," says Kasim. The roads the company has constructed to service its network of pipelines that criss-cross Riau are open to use by area residents, and, Kasim says, the company contributes to the construction of schools, mosques, electric lines and other local infrastructure.
The company presents itself as a paragon of social responsibility. In the September-October 1993 issue of the Harvard Business Review, Julius Tahija, former Caltex managing director and current chair of the CPI board of commissioners, proclaims, "For transnational corporations, meeting social responsibilities is an indispensable part of doing business in the developing world. ... It is perfectly true that an oil companyÆs principal purpose is to extract oil from the ground and sell it at a profit. ... [But multinational corporations] need development. And their need is urgent, whether they acknowledge it or not." Caltex, he asserts, recognizes the need for development and has provided a model for other companies.
Whatever the companyÆs contribution to the region may be, there is no denying that the sharp contrast of the wealth Caltex is tapping below the ground and the extreme poverty in villages above ground is stunning. Ahmad and his Mempura village, for example, have no electricity or running water, and their situation is replicated throughout Riau.
It would not be fair, however, to hold Caltex primarily responsible for the poverty in Riau. Caltex pours huge sums into the Indonesian governmentÆs coffers, but all of the money goes to the central government in Jakarta. "Every year we pass a resolution asking that some of the money go to Riau," says Dr. Chaidir, a member of the Riau Parliament, but every year the Jakarta government ignores or denies the request.
Still, CaltexÆs claims of social responsibility ring false in the impoverished villages whose subsistence-level economies have been tipped out of balance by what they believe to be the companyÆs environmental degradation.
How an Oil Consortium Pollutes Indonesia
by Robert Weissman
PEKANBARU, INDONESIA <../../../../cgi-bin/country-query?country=Indonesia> - The trees in front of AhmadÆs house, along the Mempura River, are dead, leafless and brittle symbols of development gone awry in IndonesiaÆs Riau Province, on the island of Sumatra. "I relied on the trees for wood for my roof and for food," Ahmad says, "but now there are only a few trees left."
Ahmad (not his real name) blames Caltex, the Asian joint venture of oil giants Texaco and Chevron, for the death of the trees. Six miles upstream, at one of its network of 78 "gathering stations," Caltex separates water from oil recovered from its Zamrud field. After initial separation of oil in tanks from water, the water is discharged into a series of lagoons, where gravity is supposed to separate any remaining oil from the water and the water temperature is reduced by surface cooling; the water then released into canals and eventually into the jungle watershed.
Dead trees are not the only ills for which Ahmad thinks Caltex is responsible. In recent years, the MempuraÆs fish population has also declined, posing severe hardship for people like Ahmad, who formerly worked as a fisher. Now he only works sporadically, collecting rubber from area trees. Ahmad says he wishes he could move his house, but, for him, leaving his village is practically inconceivable.
Others in AhmadÆs village echo his complaints - and also pin responsibility for their problems on Caltex. Nazwar (not his real name), who says the river often smells of oil, reports that the river water is no longer safe to drink, and that those who have drunk the water have become very sick or even died. Nazwar worries about the future of the village, and wonders how it will survive with the river, its lifeblood, polluted and unsafe. "We try to make do," he says.
Caltex flatly denies any responsibility for the villageÆs problems. "Oil content of fresh water discharged from [the Zamrud] gathering station has been consistently within guidelines," says Erwin Kasim, government and public relations general manager of Pertamina, the Indonesian state oil company for which Caltex is a contractor. "The surface water in the Zamrud area, including the Mempura River, is heavily laden - in fact black - with peat and tannin and is not a typically good habitat for fish," Kasim adds. "These heavily organic jungle streams are not a good source of drinking water."
The dispute in the Mempura village is only one of a number of emerging environmental conflicts between Riau communities and Caltex. Although the company boasts about its social and environmental policies and practices, there is increasing evidence that CaltexÆs operations are polluting areas throughout Riau. In June 1993, researchers from the British branch of Greenpeace tested water samples near six Caltex gathering stations and concluded in a report that CaltexÆs operations have been responsible for "large-scale releases of hydrocarbon contaminants into the freshwater system [that] have led to irreparable environmental damage resulting in severe long term hazards to human health and the quality of both surface and subsurface freshwater environments."
Greenpeace did not test the Mempura River for oil pollution, but Simone Troendle, the Greenpeace scientist who took the Riau water samples, says it is entirely possible that CaltexÆs upriver operations are responsible for the problems about which Ahmad, Nazwar and the other villagers are complaining. How oil contaminants are spread throughout the Riau rainforest ecosystem is a complicated process, she says, varying at each gathering station according to the direction of groundwater flows, how much waste Caltex is discharging and a number of other factors. At the very least, she says, the Mempura villagersÆ complaints "must be looked into."
The governmentÆs cut
CaltexÆs operations are spread widely throughout Riau. The company operates more than 100 oil and gas fields within a concession area of 32,000 square kilometers, and its pipelines and access roads criss-cross the province, cutting swaths through the Sumatran rainforest.
Caltex, which first invested in Riau in the early part of this century, is by far the largest oil producing company in oil-rich Indonesia. Each year the company pumps more than 200 million barrels of oil out of the ground.
CaltexÆs operations are governed by a production sharing contract with the Indonesian government. The current agreement allocates 10 percent of the profits derived from CaltexÆs Indonesian operations to the company, and the remaining 90 percent to the government. Accordingly, Caltex is a highly valued foreign investor, and not likely to be criticized by the government; despite IndonesiaÆs ongoing and somewhat successful attempts to diversify its economy, oil still accounts for 31 percent of the debt-ridden countryÆs foreign exchange earnings.
Local villages polluted
The environmental impact of CaltexÆs vast operations is only just beginning to be scrutinized, and even now local villagers are hesitant to challenge the companyÆs effect on the Riau ecology.
That the environmental problems caused by Caltex have not been recognized until now is not surprising, says GreenpeaceÆs Troendle, because of the capacity of the natural environment to absorb pollution. That capacity is limited, however, and the effects of pollution do eventually manifest. That is what is now happening, Troendle believes.
It is not surprising either that the political response to the pollution is developing slowly. In Indonesia, where nearly three decades of brutal authoritarian rule under President Suharto have taught people that protesting against government-supported projects can have extremely high costs, fear is pervasive, especially in the countryside, and remote villages do not have much recent tradition of standing up for their rights.
In the Mempura village, for example, Nazwar says residents have never complained directly to Caltex about their problems. "We donÆt know how to do it," he explains.
But now, aided by local environmentalists, Riau villagers may be slowly beginning to challenge the company.
The village of Sungai Limau has been the leader so far. It reportedly first complained - to both the company and the government - of the effects of alleged Caltex pollution in 1991. But its complaints were not addressed, and they did not generate any media or outside attention.
Then, in a January 1993 letter, Sungai Limau, now supported by the Riau chapter of the Indonesian environmental group WALHI, again charged Caltex with polluting the Sungai Limau and Siak rivers. The Sungai Limau villagers reported problems almost identical to those cited by the Mempura villagers. Their letter noted that oil is often visible in and around the rivers, and they complained that the riversÆ fish population has declined so much that they can no longer fish in them. They also said that a number of villagers have contracted rashes, diarrhea and other sicknesses as a result of the oil pollution.
During the same period, WALHI Riau brought together a coalition of individuals, known as Solidarity Forum, to investigate the Sungai Limau peopleÆs claims. From January to April, the Solidarity Forum investigated CaltexÆs operations.
At the end of April 1993, WALHI Riau wrote a letter to the Indonesian environmental ministry, Bapedal, in which the organization claimed that the preliminary Solidarity Forum investigation had found CaltexÆs Pusaka gathering station, located near Sungai Limau village, responsible for the pollution of the Sungai Limau and Siak rivers. WALHI Riau alleged the water to be contaminated with cyanide and hydrogen sulfide, and polluted for a decade. The letter called on Bapedal to conduct a special investigation of Pusaka and other Caltex gathering stations.
The government did respond to this round of complaints. In January 1993, the Riau governor sent a fact-finding mission to investigate and in April 1993, Bapedal conducted an investigation. The government investigations did not substantiate the charges. Caltex touts the investigations as proof that it is not responsible for the problems besetting Sungai Limau and other villages. As he does in the case of the Mempura village, CaltexÆs Kasim says the river is peat-laden and unfit for household use. The January 1993 investigation team, says Kasim, found "the oil content and discharged temperatures [at the Pusaka gathering station] below guidelines. No oil was detected along the [Caltex]-built discharge canal" which leads to the Siak River. The team also concluded that there was no disturbance of local fish populations and that the skin irritations of which villagers complained were due to poor hygiene, not pollution.
There are reasons to doubt the governmentÆs findings, however. First, the close Caltex- government relationship raises serious questions about the governmentÆs willingness to regulate or sanction the company. Second, Ribut Susanto, president of WALHI Riau, claims that WALHI Riau members witnessed Caltex engaging in a special clean-up of waste canals just prior to the Bapedal investigation in April. Caltex categorically denies SusantoÆs claim, but if it is true, SusantoÆs contention would undermine any basis for trusting the governmentÆs findings. Finally, Greenpeace tests of water samples near six Caltex gathering stations concluded that the villagersÆ claims are valid, and that water supplies are seriously polluted, posing severe health and environmental dangers.
Black gold, toxic effluent
The Minas gathering station, another of the 78 Caltex gathering stations dotting the Riau countryside, lies only a few miles to the north of Pekanbaru, RiauÆs capital. It appears as a bizarre anachronism, its huge oil tanks standing on open tracts of land cleared from in the middle of the Sumatran rainforest. The water treatment system here is very much like those upstream from the Mempura and Sungai Limau villages. Pipes carry oil-contaminated production water, pumped from CaltexÆs fields along with oil, from the tanks to mucky pits, where the water is dumped. The water in the pits, or lagoons, is steaming hot, and sometimes bubbling hot, because the underground fields from which it came are close to the western Pacific volcanic zone. The banks of the lagoons are covered with oil deposits and patches of oil float on top of the lagoons. Water which has settled to the bottom of the lagoons, supposedly free of oil contaminants, is discharged into a series of canals, or streams, which eventually lead to the Siak River, the main river running through Riau.
The June Greenpeace test, however, found the water discharged from the Minas gathering station to be highly contaminated, with oil registering 190 parts per million. This level of contamination, explains the Greenpeace report, poses serious threats to human health and the environment.
Caltex challenges the validity of the Greenpeace findings for the Minas gathering station, with Kasim contending that the Greenpeace sample at Minas was "taken not from a final discharge stream but from an intermediate treatment pit discharge." But Troendle says she walked along the artificial channels running out of the Minas gathering station for several miles and saw no other water treatment mechanism.
Although the Greenpeace study found the highest level of contaminants at the Minas gathering station, it found oil pollution at each of the other five sites it tested. Contamination levels at the other sites averaged an unsafe 9.4 parts per million.
Caltex denies that these discharge levels endanger human health or the environment, with Kasim pointing out that Indonesian guidelines limit oil concentrations in water discharges to 25 ppm. Kasim says the companyÆs "effluent processing technology achieves effluent discharge concentrations of dissolved and suspended materials that are within worldwide limits for prudent operation. We simply do not agree that [CaltexÆs] effluent treatment is inadequate."
Unsafe discharges were not the only environmental problem with CaltexÆs operations which the Greenpeace researchers identified. Because the settling lagoons are not sealed and receive effluent loads which are then poorly confined, hydrocarbons contaminate the soil below the settling lagoons and threaten groundwater quality, the Greenpeace researchers wrote. Again, Caltex denies any problem; Kasim says, "the settling lagoons or treatment pits are specifically designed to allow separation time for water and oil. The sites will be reclaimed and remediated to full legal and prudent standards when production operations are complete."
A final problem cited by Greenpeace stems from the discharge of hot water. Because the discharged water is as hot as 175 degrees Fahrenheit, according to Greenpeace, hydrocarbon contaminants in the water are likely to evaporate, creating local air pollution, much of which can return to the earth in RiauÆs frequent rains. Caltex denies that its discharges are hotter than 113 degrees.
Cutting a deal
That the Sungai Limau villagers and WALHI Riau were able to pressure the government into conducting an investigation of CaltexÆs environmental performance is itself somewhat remarkable, given the repressive nature of Indonesian government and its tight alliance with Caltex.
Both the government and Caltex appear very interested in defusing any protest activities in their infancy, and a key element of their strategy is dividing the local community and splitting it off from non- governmental organizations such as WALHI Riau. Government representatives told Singau Limau villagers that they should negotiate directly with Caltex, without the interference of third parties such as WALHI Riau.
And, according to Susanto, Caltex has succeeded in negotiating directly with leaders of the community, without the involvement of either WALHI Riau or broad segments of the village. At a June 1993 meeting with the head of Sungai Limau village, according to Susanto, Caltex agreed to help build a few wells, make an addition to a school, repair a road and provide some other assistance to Sungai Limau, as well as to investigate the side effects of the companyÆs discharge system. These forms of compensation, says Susanto, "are very far from what the community wants."
Whether Caltex can reach a final agreement with Sungai Limau and snuff out the complaints there is likely to affect what other villages who may be affected by CaltexÆs expansive operations do. If the Sungai Limau dispute can be resolved quietly, without much local or international publicity, it will not have much ripple effect. But if the Sungai Limau villagers can force an admission of Caltex wrongdoing or extract substantial compensation for the damages they have suffered, or if international attention is focused on CaltexÆs operations, local communities and the provincial and national governments will direct a much more searching eye at the Caltex operations which dominate the Riau countryside.
Sidebar
"Responsibility"
CALTEX TAKES PRIDE IN ITS PROCLAIMED ETHIC of corporate social responsibility. "For decades it has been CPIÆs [Caltex Pacific Indonesia] policy that within the area of CPI operation, the communities and their immediate environs should grow and prosper as does CPI," says Kasim. The roads the company has constructed to service its network of pipelines that criss-cross Riau are open to use by area residents, and, Kasim says, the company contributes to the construction of schools, mosques, electric lines and other local infrastructure.
The company presents itself as a paragon of social responsibility. In the September-October 1993 issue of the Harvard Business Review, Julius Tahija, former Caltex managing director and current chair of the CPI board of commissioners, proclaims, "For transnational corporations, meeting social responsibilities is an indispensable part of doing business in the developing world. ... It is perfectly true that an oil companyÆs principal purpose is to extract oil from the ground and sell it at a profit. ... [But multinational corporations] need development. And their need is urgent, whether they acknowledge it or not." Caltex, he asserts, recognizes the need for development and has provided a model for other companies.
Whatever the companyÆs contribution to the region may be, there is no denying that the sharp contrast of the wealth Caltex is tapping below the ground and the extreme poverty in villages above ground is stunning. Ahmad and his Mempura village, for example, have no electricity or running water, and their situation is replicated throughout Riau.
It would not be fair, however, to hold Caltex primarily responsible for the poverty in Riau. Caltex pours huge sums into the Indonesian governmentÆs coffers, but all of the money goes to the central government in Jakarta. "Every year we pass a resolution asking that some of the money go to Riau," says Dr. Chaidir, a member of the Riau Parliament, but every year the Jakarta government ignores or denies the request.
Still, CaltexÆs claims of social responsibility ring false in the impoverished villages whose subsistence-level economies have been tipped out of balance by what they believe to be the companyÆs environmental degradation.
Membuktikan Air Sungai Bebas Limbah
29 Mei 2007 Pukul 09:05
Yakinkan Wartawan, Air Batang Pudu pun Diminum
Nama PT Karya Lestari Perkasa (KLP) memang sejak beberapa hari ini langsung mencuat menyusul munculnya persoalan limbah B3 di Sungai Batang Pudu, Duri.
Laporan SYUKRI DATASAN syukri-datasan@riaupos.co.id This email address is being protected from spam bots, you need Javascript enabled to view it
PT KLP merupakan perusahaan yang sudah memenangi kontrak pengolahan limbah B3 dari PT CPI sejak November 2005 lalu. Dan oleh sebab itu pula, warga Sakai menduga, perusahaan ini telah mencemari lingkungan dengan limbah berbahaya.
Tak tanggung-tanggung, perusahaan itu dituding telah memastikan mata pencaharian warga sebagai nelayan penangkap ikan di Sungai Batang Pudu. Bahhkan, demo dan penyegelan lokasi kerja PT KLP serta tuntutan ganti rugi miliaran rupiah pun sempat heboh terdengar.
Lalu, bagaimana manajemen menyikapi hal ini? Project Manager PT KLP Syukriyatno Muhammad memberikan penjelasan. ‘’Kita telah melakukan pengolahan limbah lumpur eks drilling PT CPI untuk kawasan Bekasap di Arak Field sesuai dengan aturan yang berlaku,’’ katanya kepada wartawan di lokasi, Senin (28/5).
Ditambahkannya, setiap hari, perusahaan yang mendapat kontrak kerja selama tiga tahun ini mengolah lumpur bekas kegiatan pengeboran minyak PT CPI dari area operasi Bekasap. Volume lumpur yang diolah berkisar 15 sampai 20 vacum truk atau sekitar 900 hingga 1.200 barel setiap harinya.
Dalam pengolahan limbah tersebut, ungkapnya, PT KLP menggunakan air sebagai campuran bahan kimia (chemical). Air itu diambil dari sungai sekitar lokasi dengan sebuah truk tanki pada pagi hari, siang dan kalau volume kerja meningkat ada pula pada malam hari. Kegiatan pengambilan air pencampur chemical dengan armada truk tanki satu-satunya itu, kata Sukriyatno, telah pula diduga warga sebagai kegiatan membuang limbah B3 ke anak sungai. Proses pengolahan limbah di instalasi Arak Field, tambahnya, bertujuan untuk memisahkan lumpur dengan air. Residu lumpur hasil olahan dibuat menjadi batako untuk gravel di lingkungan persekitaran lapangan Arak. Sementara, airnya diproses lagi lewat pengendapan di dua pit.
‘’Sebelum dibuang ke anak sungai, air itu dites dulu, apakah sudah sesuai dengan baku mutu yang dipersyaratkan atau belum,’’ ucap Sukriyatno meyakinkan.
Terkait adanya dua pipa paralon yang dicurigai warga sebagai saluran pembuangan limbah menuju anak sungai, juga dibantah pihak perusahaan. Menurut Sukriyatno, pipa itu digunakan untuk menyedot endapan lumpur dari area yang terletak sekitar 200 meter dari instlasi pengolahan PT KLP. Area endapan tersebut juga merupakan konsesi PT CPI yang telah dibebaskan tahun 2002 lalu.
“Limbah yang diklaim warga itu terdapat di area tersebut. Itu jelas bukan hasil pengolahan PT KLP. Dan PT CPI juga sudah membuat surat pernyataan kepada Bapedalda bahwa pipa paralon itu untuk proses pengambilan ulang endapan di area yang telah dibebaskan itu,” ujarnya.
Bilamana dugaan pencemaran tersebut terbukti sesuai hasil penelitian labor oleh Bapedalda Bengkalis, Sukriyatno menyebut bahwa PT CPI dan PT KLP akan bertanggung jawab sepenuhnya.
Bahkan, untuk meyakinkan, Sukriyatno lalu mengajak para wartawan via jalan darat meninjau muara sungai Batang Pudu yang terletak di Jembatan Dua, Desa Petani. Liukan sungai di hamparan kawasan rawa tersebut selama ini menjadi area tangkapan ikan warga Sakai dan lainnya.
Seorang penangkap ikan, Syahril yang ditemui di tepian sungai dekat jembatan itu mengakui kalau tangkapan ikan cenderung berkurang sejak beberapa waktu silam.
Menariknya, di hadapan wartawan, dia pun menenggaknya beberapa kali seolah ingin memperagakan bahwa air itu tidak berbahaya. Setidaknya bagi dirinya sendiri. Rombongan juga dibawa melihat kanal pembuangan limbah Kota Duri di KM 3 Jalan Rangau. Aliran kanal mengalir menyusuri ceruk-ceruk Pematang Pudu hingga akhirnya menyatu ke kanal buangan dari Arak Field.***
Yakinkan Wartawan, Air Batang Pudu pun Diminum
Nama PT Karya Lestari Perkasa (KLP) memang sejak beberapa hari ini langsung mencuat menyusul munculnya persoalan limbah B3 di Sungai Batang Pudu, Duri.
Laporan SYUKRI DATASAN syukri-datasan@riaupos.co.id This email address is being protected from spam bots, you need Javascript enabled to view it
PT KLP merupakan perusahaan yang sudah memenangi kontrak pengolahan limbah B3 dari PT CPI sejak November 2005 lalu. Dan oleh sebab itu pula, warga Sakai menduga, perusahaan ini telah mencemari lingkungan dengan limbah berbahaya.
Tak tanggung-tanggung, perusahaan itu dituding telah memastikan mata pencaharian warga sebagai nelayan penangkap ikan di Sungai Batang Pudu. Bahhkan, demo dan penyegelan lokasi kerja PT KLP serta tuntutan ganti rugi miliaran rupiah pun sempat heboh terdengar.
Lalu, bagaimana manajemen menyikapi hal ini? Project Manager PT KLP Syukriyatno Muhammad memberikan penjelasan. ‘’Kita telah melakukan pengolahan limbah lumpur eks drilling PT CPI untuk kawasan Bekasap di Arak Field sesuai dengan aturan yang berlaku,’’ katanya kepada wartawan di lokasi, Senin (28/5).
Ditambahkannya, setiap hari, perusahaan yang mendapat kontrak kerja selama tiga tahun ini mengolah lumpur bekas kegiatan pengeboran minyak PT CPI dari area operasi Bekasap. Volume lumpur yang diolah berkisar 15 sampai 20 vacum truk atau sekitar 900 hingga 1.200 barel setiap harinya.
Dalam pengolahan limbah tersebut, ungkapnya, PT KLP menggunakan air sebagai campuran bahan kimia (chemical). Air itu diambil dari sungai sekitar lokasi dengan sebuah truk tanki pada pagi hari, siang dan kalau volume kerja meningkat ada pula pada malam hari. Kegiatan pengambilan air pencampur chemical dengan armada truk tanki satu-satunya itu, kata Sukriyatno, telah pula diduga warga sebagai kegiatan membuang limbah B3 ke anak sungai. Proses pengolahan limbah di instalasi Arak Field, tambahnya, bertujuan untuk memisahkan lumpur dengan air. Residu lumpur hasil olahan dibuat menjadi batako untuk gravel di lingkungan persekitaran lapangan Arak. Sementara, airnya diproses lagi lewat pengendapan di dua pit.
‘’Sebelum dibuang ke anak sungai, air itu dites dulu, apakah sudah sesuai dengan baku mutu yang dipersyaratkan atau belum,’’ ucap Sukriyatno meyakinkan.
Terkait adanya dua pipa paralon yang dicurigai warga sebagai saluran pembuangan limbah menuju anak sungai, juga dibantah pihak perusahaan. Menurut Sukriyatno, pipa itu digunakan untuk menyedot endapan lumpur dari area yang terletak sekitar 200 meter dari instlasi pengolahan PT KLP. Area endapan tersebut juga merupakan konsesi PT CPI yang telah dibebaskan tahun 2002 lalu.
“Limbah yang diklaim warga itu terdapat di area tersebut. Itu jelas bukan hasil pengolahan PT KLP. Dan PT CPI juga sudah membuat surat pernyataan kepada Bapedalda bahwa pipa paralon itu untuk proses pengambilan ulang endapan di area yang telah dibebaskan itu,” ujarnya.
Bilamana dugaan pencemaran tersebut terbukti sesuai hasil penelitian labor oleh Bapedalda Bengkalis, Sukriyatno menyebut bahwa PT CPI dan PT KLP akan bertanggung jawab sepenuhnya.
Bahkan, untuk meyakinkan, Sukriyatno lalu mengajak para wartawan via jalan darat meninjau muara sungai Batang Pudu yang terletak di Jembatan Dua, Desa Petani. Liukan sungai di hamparan kawasan rawa tersebut selama ini menjadi area tangkapan ikan warga Sakai dan lainnya.
Seorang penangkap ikan, Syahril yang ditemui di tepian sungai dekat jembatan itu mengakui kalau tangkapan ikan cenderung berkurang sejak beberapa waktu silam.
Menariknya, di hadapan wartawan, dia pun menenggaknya beberapa kali seolah ingin memperagakan bahwa air itu tidak berbahaya. Setidaknya bagi dirinya sendiri. Rombongan juga dibawa melihat kanal pembuangan limbah Kota Duri di KM 3 Jalan Rangau. Aliran kanal mengalir menyusuri ceruk-ceruk Pematang Pudu hingga akhirnya menyatu ke kanal buangan dari Arak Field.***
Pertemuan Warga Sakai-PT KLP Buntu
http://www.riautribune.com/portal/friend.php?op=FriendSend&artid=16047
http://www.riautribune.com/portal/mod.php?mod=publisher&op=printarticle&artid=16047
DURI (RTr)- Sesuai dengan jadwal yang ditentukan sebelumnya, kemarin (23/5) di Gedung Batin Bertuah, Kantor Camat Mandau dilaksanakan pertemuan antara masyarakat Sakai dari Desa Pematang Pudu dan Desa Petani dengan manajemen PT KLP sebagai pengelola limbah B3 di Arak Field.
Pertemuan direncanakan untuk menyelesaikan tuntutan ganti rugi akibat pencemaran lingkungan yang dilakukan PT KLP dan menetralisir kondisi Sungai Batang Pudu yang selama ini menjadi tempat mata pencarian Suku Sakai namun sudah tercemar.
Sekitar tiga ratus warga Sakai hadir dalam pertemuan yang dimediatori Upika Mandau. Pertemuan yang berjalan alot dan tegang itu juga dihadiri Direktur Eksekutif Walhi Riau Johni Setiawan Mundung.
Melihat tidak adanya arah penyelesaian dalam pertemuan itu, warga Sakai memilih meninggalkan ruangan (walk out). Sementara Upika Mandau melalui camat Mandau H Rozali Saidun SH meminta kesabaran masyarakat menunggu hasil pemeriksaan laboratorium tentang limbah tersebut.
Namun Iwan Basri, tokoh pemuda dan pembicara dari Suku Sakai dengan tegas menyampaikan rasa kekecewaan mereka kepada Upika Mandau yang dinilai selalu memberi perlindungan terhadap perusahaan, sementara perusahaan sudah jelas melanggar Undang-undang lingkungan hidup dan dapat dipidana. “Mengapa pemerintah tidak ada yang mendukung kami masyarakat asli Kecamatan Mandau ini? Sementara pihak perusahaan selalu dilindungi,” kata Iwan.
Ditambahkan Iwan, dari kasat mata masyarakat yang tidak pernah mengecam pendidikan ini jelas terlihat limbah itu beracun. Iwan memperlihatkan contoh limbah yang dimaksudkannya dalam dalam sebuah botol. “Kalau memang perusahaan tetap ngotot mengatakan ini bukan limbah beracun yang sudah mencemari sungai kami selama ini, kami minta perusahaan untuk angkat kaki serta memenuhi proses hukum dan membayar ganti rugi,” tegasnya.
Pertemuan yang juga dihadiri Iwan Tofani dari PT CPI dan General Menager PT KLP Afin Mauchant. Sementara perwakilan Bapedal Bengkalis, Zainal mengaku komit akan menyelesaikan masalah tersebut. Namun menurutnya, harus menunggu hasil pemeriksaan labor yang dalam tiga pekan mendatang.JSN
http://www.riautribune.com/portal/mod.php?mod=publisher&op=printarticle&artid=16047
DURI (RTr)- Sesuai dengan jadwal yang ditentukan sebelumnya, kemarin (23/5) di Gedung Batin Bertuah, Kantor Camat Mandau dilaksanakan pertemuan antara masyarakat Sakai dari Desa Pematang Pudu dan Desa Petani dengan manajemen PT KLP sebagai pengelola limbah B3 di Arak Field.
Pertemuan direncanakan untuk menyelesaikan tuntutan ganti rugi akibat pencemaran lingkungan yang dilakukan PT KLP dan menetralisir kondisi Sungai Batang Pudu yang selama ini menjadi tempat mata pencarian Suku Sakai namun sudah tercemar.
Sekitar tiga ratus warga Sakai hadir dalam pertemuan yang dimediatori Upika Mandau. Pertemuan yang berjalan alot dan tegang itu juga dihadiri Direktur Eksekutif Walhi Riau Johni Setiawan Mundung.
Melihat tidak adanya arah penyelesaian dalam pertemuan itu, warga Sakai memilih meninggalkan ruangan (walk out). Sementara Upika Mandau melalui camat Mandau H Rozali Saidun SH meminta kesabaran masyarakat menunggu hasil pemeriksaan laboratorium tentang limbah tersebut.
Namun Iwan Basri, tokoh pemuda dan pembicara dari Suku Sakai dengan tegas menyampaikan rasa kekecewaan mereka kepada Upika Mandau yang dinilai selalu memberi perlindungan terhadap perusahaan, sementara perusahaan sudah jelas melanggar Undang-undang lingkungan hidup dan dapat dipidana. “Mengapa pemerintah tidak ada yang mendukung kami masyarakat asli Kecamatan Mandau ini? Sementara pihak perusahaan selalu dilindungi,” kata Iwan.
Ditambahkan Iwan, dari kasat mata masyarakat yang tidak pernah mengecam pendidikan ini jelas terlihat limbah itu beracun. Iwan memperlihatkan contoh limbah yang dimaksudkannya dalam dalam sebuah botol. “Kalau memang perusahaan tetap ngotot mengatakan ini bukan limbah beracun yang sudah mencemari sungai kami selama ini, kami minta perusahaan untuk angkat kaki serta memenuhi proses hukum dan membayar ganti rugi,” tegasnya.
Pertemuan yang juga dihadiri Iwan Tofani dari PT CPI dan General Menager PT KLP Afin Mauchant. Sementara perwakilan Bapedal Bengkalis, Zainal mengaku komit akan menyelesaikan masalah tersebut. Namun menurutnya, harus menunggu hasil pemeriksaan labor yang dalam tiga pekan mendatang.JSN
DPRD-Kapolda Disodori Limbah
29 Mei 2007 Pukul 09:07
PEKANBARU (RP) - Puluhan warga Sakai korban pencemaran lingkungan yang disebabkan limbah, Senin (28/5) menyodorkan sampel limbah kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kapolda Riau, Bridjen Sutjiptadi, Senin (28/5) di kantor masing-masing.
Puluhan warga Sakai yang mengaku menjadi korban pencemaran limbah PT CPI ini, merupakan warga Desa Pematang Pudu dan Desa Petani, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis.
Kehadiran perwakilan massa, diterima oleh Komisi C DPRD Riau yang membidangi lingkungan hidup di Ruang Medium. Di antaranya, Ketua Komisi Robin P Hutagalung, dan anggota masing-masing Abu Bakar Siddik, Syarif Hidayat, Johar Firdaus, Hendro Susanto dan Syafrudin Saan.
Kepada Komisi C, koordinator massa Iwan Basri menceritakan, limbah yang mencemari Sungai Pudu, telah menyebabkan munculnya bencana kepada puluhan Kepala Keluarga (KK) dan sekitar 400 jiwa yang bermukim di dua desa. Bencana ini, adalah munculnya beragam jenis penyakit yang mendera masyarakat. Di antaranya gatal-gatal, sesak nafas, gejala kanker, sakit jantung dan lainnya.
‘’Penyakit yang mendera masyarakat ini tak hanya menjangkiti kalangan tua saja, melainkan juga anak-anak dan bahkan bayi yang cukup menderita,’’ ucap Iwan Basri.
Tak hanya bencana munculnya penyakit, pencemaran air sungai ini juga sudah menyebabkan masyarakat kehilangan mata pencarian sebagai sumber penghidupan. Ini terutama masyarakat yang menggantungkan hidup sebagai nelayan yang menangkap ikan di sungai.
Akibat limbah, telah membuat ikan mati dan bahkan hilang. ‘’Dulu sangat banyak ikan yang bisa didapatkan di sungai ini. Tapi sekarang ikan kecil-kecil pun susah didapat. Limbah dari perusahaan CPI ini telah benar-benar membuat kami sengsara dan punah,’’ kata tokoh masyarakat Pematang Pudu yang turut dalam aksi demo, Khalifah Buchori, menguatkan fakta yang disampaikan Iwan.
Dengan kondisi inilah warga Sakai sangat mengharapkan wakil-wakil mereka di DPRD Riau untuk menyelesaikan masalah ini. Sebab perjuangan menuntut hak ke perusahaan sudah dilakukan sejak dua pekan lalu. Namun sampai sekarang belum menampakkan hasil. ‘’Malah kami dituduh anarkis oleh perusahaan dan rekanan PT CPI,’’ kata Iwan.
Menerima pengaduan warga ini, setelah melalui pembicaraan dan diskusi alot, Komisi C DPRD Riau akhirnya sepakat untuk turun langsung ke lapangan pada Kamis (31/5) mendatang. ‘’Dalam minggu ini juga kami akan datang ke lokasi. Kemungkinan besar pada Kamis nanti,’’ sebut Robin P Hutagalung.
Sejumlah anggota Komisi juga mendukung supaya persoalan ini segera ditangani dan dituntaskan. ‘’Ini adalah persoalan serius. Jadi harus ditangani secara serius pula,’’ sebut Johar Firdaus.
Abu Bakar Siddik bahkan menganjurkan kepada Komisi supaya memanggil Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Riau untuk melakukan penelitian terhadap sungai yang menurut warga sudah tercemar.
Dalam aksinya, warga Sakai membawa serta sampel limbah yang dibuang langsung dari pipa pembuangan limbah milik PT CPI ke sungai, dan berikut pasir dasar sungai yang berwarna hitam akibat endapan limbah. Sampel limbah di bawa dalam kemasan botol air mineral. Warga sendiri datang ke DPRD Riau dengan menyewa bus angkutan umum. Sedianya warga juga bermaksud mengadukan nasibnya kepada Gubernur Riau. Namun mendapat kabar Gubri sedang di luar kota, warga pun tidak jadi menyampaikan hajatnya.
Kapolda Siap Bantu
Warga Sakai ini juga mendatangi Mapolda Riau. Suasana salah satu ruangan di Lantai 2 Mapolda Riau sekitar pukul 10.30 WIB, dipenuhi belasan orang masyarakat Sakai. Kapolda Riau Brigjen Sutjiptadi langsung menjumpai mereka, didampingi Kabid Humas Polda Riau AKBP Zulkifli, Kapolres Bengkalis AKBP Edi Setio BS dan Kapolsek Kota, AKP Nafsiah Utami. ‘’Siapapun yang datang dengan baik-baik tentu akan dilayani dengan baik. Dan atas iktikad baik saudara-saudara sekalian, saya siap membantu, menyelesaikan masalah yang terjadi,’’ ungkap Sutjiptadi meyakinkan hadirin.(kaf/mng)
PEKANBARU (RP) - Puluhan warga Sakai korban pencemaran lingkungan yang disebabkan limbah, Senin (28/5) menyodorkan sampel limbah kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kapolda Riau, Bridjen Sutjiptadi, Senin (28/5) di kantor masing-masing.
Puluhan warga Sakai yang mengaku menjadi korban pencemaran limbah PT CPI ini, merupakan warga Desa Pematang Pudu dan Desa Petani, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis.
Kehadiran perwakilan massa, diterima oleh Komisi C DPRD Riau yang membidangi lingkungan hidup di Ruang Medium. Di antaranya, Ketua Komisi Robin P Hutagalung, dan anggota masing-masing Abu Bakar Siddik, Syarif Hidayat, Johar Firdaus, Hendro Susanto dan Syafrudin Saan.
Kepada Komisi C, koordinator massa Iwan Basri menceritakan, limbah yang mencemari Sungai Pudu, telah menyebabkan munculnya bencana kepada puluhan Kepala Keluarga (KK) dan sekitar 400 jiwa yang bermukim di dua desa. Bencana ini, adalah munculnya beragam jenis penyakit yang mendera masyarakat. Di antaranya gatal-gatal, sesak nafas, gejala kanker, sakit jantung dan lainnya.
‘’Penyakit yang mendera masyarakat ini tak hanya menjangkiti kalangan tua saja, melainkan juga anak-anak dan bahkan bayi yang cukup menderita,’’ ucap Iwan Basri.
Tak hanya bencana munculnya penyakit, pencemaran air sungai ini juga sudah menyebabkan masyarakat kehilangan mata pencarian sebagai sumber penghidupan. Ini terutama masyarakat yang menggantungkan hidup sebagai nelayan yang menangkap ikan di sungai.
Akibat limbah, telah membuat ikan mati dan bahkan hilang. ‘’Dulu sangat banyak ikan yang bisa didapatkan di sungai ini. Tapi sekarang ikan kecil-kecil pun susah didapat. Limbah dari perusahaan CPI ini telah benar-benar membuat kami sengsara dan punah,’’ kata tokoh masyarakat Pematang Pudu yang turut dalam aksi demo, Khalifah Buchori, menguatkan fakta yang disampaikan Iwan.
Dengan kondisi inilah warga Sakai sangat mengharapkan wakil-wakil mereka di DPRD Riau untuk menyelesaikan masalah ini. Sebab perjuangan menuntut hak ke perusahaan sudah dilakukan sejak dua pekan lalu. Namun sampai sekarang belum menampakkan hasil. ‘’Malah kami dituduh anarkis oleh perusahaan dan rekanan PT CPI,’’ kata Iwan.
Menerima pengaduan warga ini, setelah melalui pembicaraan dan diskusi alot, Komisi C DPRD Riau akhirnya sepakat untuk turun langsung ke lapangan pada Kamis (31/5) mendatang. ‘’Dalam minggu ini juga kami akan datang ke lokasi. Kemungkinan besar pada Kamis nanti,’’ sebut Robin P Hutagalung.
Sejumlah anggota Komisi juga mendukung supaya persoalan ini segera ditangani dan dituntaskan. ‘’Ini adalah persoalan serius. Jadi harus ditangani secara serius pula,’’ sebut Johar Firdaus.
Abu Bakar Siddik bahkan menganjurkan kepada Komisi supaya memanggil Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Riau untuk melakukan penelitian terhadap sungai yang menurut warga sudah tercemar.
Dalam aksinya, warga Sakai membawa serta sampel limbah yang dibuang langsung dari pipa pembuangan limbah milik PT CPI ke sungai, dan berikut pasir dasar sungai yang berwarna hitam akibat endapan limbah. Sampel limbah di bawa dalam kemasan botol air mineral. Warga sendiri datang ke DPRD Riau dengan menyewa bus angkutan umum. Sedianya warga juga bermaksud mengadukan nasibnya kepada Gubernur Riau. Namun mendapat kabar Gubri sedang di luar kota, warga pun tidak jadi menyampaikan hajatnya.
Kapolda Siap Bantu
Warga Sakai ini juga mendatangi Mapolda Riau. Suasana salah satu ruangan di Lantai 2 Mapolda Riau sekitar pukul 10.30 WIB, dipenuhi belasan orang masyarakat Sakai. Kapolda Riau Brigjen Sutjiptadi langsung menjumpai mereka, didampingi Kabid Humas Polda Riau AKBP Zulkifli, Kapolres Bengkalis AKBP Edi Setio BS dan Kapolsek Kota, AKP Nafsiah Utami. ‘’Siapapun yang datang dengan baik-baik tentu akan dilayani dengan baik. Dan atas iktikad baik saudara-saudara sekalian, saya siap membantu, menyelesaikan masalah yang terjadi,’’ ungkap Sutjiptadi meyakinkan hadirin.(kaf/mng)
Limbah KLP, Tindak Bila Terbukti
Oleh admin
Kamis, 31-Mei-2007, 01:04:48 2 klik
PEKANBARU (RTr)- Gubernur Riau HM Rusli Zainal meminta Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Provinsi Riau untuk segera melakukan penetilian, apakah benar sungai Batang Pudu tercemar.
“Saya minta penelitian disegerakan, jangan sampai merugikan masyarakat,” ujar Gubri kepada wartawan usai membuka Worshop Pariwisata Riau di Ruang melati Kantor Gubernur, Selasa (29/5).
Penelitian disegerakan ini supaya jelas duduk persoalannya, jangan sampai masyarakat yang dirugikan lanjut Gubri.
Mengenai sanksi hukum bila terbukti kalau limbah PT Karya Lestari Perkasa (KLP) yang menyebabkan pencemaran sungai, Gubri mengaku menyerahkan sepenuhnya kepada penegak hukum. “Kalau memang terbukti harus ditindak sesuai ketentuan berlaku,” tegas Gubri.
Sementara sebagaimana diberitakan sebelumnya PT KLP siap bertanggung jawab bila hasil penelitian nantinya menyebutkan kalau limbah KLP yang menyebabkan pencemaran air. Seperti yang disampaikan Sukriyanto Direktur PT KLP meminta semua pihak untuk bersabar menunggu keluarnya hasil pemeriksaan labor yang telah dimulai sejak sepekan lalu itu.FAH
Kamis, 31-Mei-2007, 01:04:48 2 klik
PEKANBARU (RTr)- Gubernur Riau HM Rusli Zainal meminta Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Provinsi Riau untuk segera melakukan penetilian, apakah benar sungai Batang Pudu tercemar.
“Saya minta penelitian disegerakan, jangan sampai merugikan masyarakat,” ujar Gubri kepada wartawan usai membuka Worshop Pariwisata Riau di Ruang melati Kantor Gubernur, Selasa (29/5).
Penelitian disegerakan ini supaya jelas duduk persoalannya, jangan sampai masyarakat yang dirugikan lanjut Gubri.
Mengenai sanksi hukum bila terbukti kalau limbah PT Karya Lestari Perkasa (KLP) yang menyebabkan pencemaran sungai, Gubri mengaku menyerahkan sepenuhnya kepada penegak hukum. “Kalau memang terbukti harus ditindak sesuai ketentuan berlaku,” tegas Gubri.
Sementara sebagaimana diberitakan sebelumnya PT KLP siap bertanggung jawab bila hasil penelitian nantinya menyebutkan kalau limbah KLP yang menyebabkan pencemaran air. Seperti yang disampaikan Sukriyanto Direktur PT KLP meminta semua pihak untuk bersabar menunggu keluarnya hasil pemeriksaan labor yang telah dimulai sejak sepekan lalu itu.FAH
Empat Titik Limbah CPI tak Prosedural
08 Juni 2007 Pukul 09:17
Laporan KARTINI FATTACH, Pekanbaru kartini-fattach@riaupos.co.id This email address is being protected from spam bots, you need Javascript enabled to view it
HASIL peninjauan ke lapangan selama berkali-kali dilakukan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Provinsi Riau terhadap operasional pengolahan limbah PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) di CMTF Arak, Mandau, didapati empat titik pembuangan limbah yang tidak prosedural.
Temuan ini diungkapkan Kasubdin Pengawasan Bapedal Riau, Makruf Siregar, dalam pertemuan para pihak yang dihadiri PT CPI, Badan Pengelola Migas, Bapedalda Kabupaten Bengkalis, Camat Mandau, Kepala Desa dan masyarakat Desa Pematang Pudu, Petani serta Tonggak Delapan. Pertemuan difasilitasi Komisi C DPRD Riau di Ruang Medium, Kamis (7/6).
Dalam pertemuan yang dimulai sekitar pukul 13.00 WIB dan berakhir pukul 17.00 WIB itu, Makruf memaparkan bahwa pihaknya sudah beberapa kali melakukan pengecekan ke lapangan.
‘’Hasil dari turun lapangan yang kami lakukan selama beberapa kali ini didapati bahwa di CMTF Arak ditemukan pembuangan limbah tak prosedural dan tak sesuai izin. Prinsipnya kami menemukan sebanyak empat titik limbah yang dibuang tak prosedural,’’ tegas Makruf.
Akan halnya untuk kasus di Tonggak Delapan, Makruf juga menjelaskan pihaknya sudah mengambil sampel sebanyak beberapa kali. ‘’Kami perlu waktu 1 bulan lebih untuk melakukan proses terhadap penyakit yang menimpa warga Tonggak Delapan,’’ sebutnya.
Untuk melakukan pemeriksaan, Makruf menyebutkan pihaknya melakukan uji secara Fisika dan Kimia terhadap air sumur warga. Dan hasilnya secara Fisika dan Kimia, air memenuhi baku mutu standarisasi kesehatan.
Hanya saja, secara Biologi, tidak bisa diuji. Kalau mau diuji akan diulang ke lapangan. ‘’Dari pengamatan lapangan masih mencurigakan sumber air bersihnya. Tapi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan memperoleh kejelasan, kami sudah mengirim sampel ke Jakarta dan akan keluar dalam waktu dekat. Karena perlu proses sampai sebulan,’’ jelasnya.
Sementara Kepala Bapedalda Bengkalis H TS Ilyas yang turut hadir saat pertemuan menerangkan, setelah mendapatkan laporan dari masyarakat, pihaknya sudah empat kali melakukan pemantauan. ‘’Kami memang ada melihat ada pembuangan pipa yang belum bisa dipertanggungjawabkan oleh kontraktor. Info kontraktor pipa untuk menyedot air yang sudah terlanjur dibuang,’’ ucap Ilyas menerangkan soal temuannya di operasional CMTF Arak.
Diakui pula, pihaknya juga sudah melakukan pengambilan sampel dan sudah di bawa ke lab tapi hasil belum diketahui. ‘’Hasilnya nanti akan kita sampaikan kepada para pihak dan kami tidak punya kapasitas untuk memutuskan limbah B3 dan itu adalah kewenangan pusat. Lagi pula kami tak terlalu memahami betul soal tekhnologi,’’ jelasnya.
Untuk penyakit gatal-gatal di Desa Tonggak Delapan dan masalah lainnya, Ilyas menjelaskan masalah ini sudah berlarut. Bapedalda katanya, sudah meminta PT CPI untuk melakukan pengujian sesuai dengan tuntutan masyarakat. Dan PT CPI sudah penuhi itu. ‘’PT CPI sudah mempresentasikan hasil kerusakan tanah yang disebabkan dari patahan Sebanga,’’ jelasnya.(ose)
Laporan KARTINI FATTACH, Pekanbaru kartini-fattach@riaupos.co.id This email address is being protected from spam bots, you need Javascript enabled to view it
HASIL peninjauan ke lapangan selama berkali-kali dilakukan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Provinsi Riau terhadap operasional pengolahan limbah PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) di CMTF Arak, Mandau, didapati empat titik pembuangan limbah yang tidak prosedural.
Temuan ini diungkapkan Kasubdin Pengawasan Bapedal Riau, Makruf Siregar, dalam pertemuan para pihak yang dihadiri PT CPI, Badan Pengelola Migas, Bapedalda Kabupaten Bengkalis, Camat Mandau, Kepala Desa dan masyarakat Desa Pematang Pudu, Petani serta Tonggak Delapan. Pertemuan difasilitasi Komisi C DPRD Riau di Ruang Medium, Kamis (7/6).
Dalam pertemuan yang dimulai sekitar pukul 13.00 WIB dan berakhir pukul 17.00 WIB itu, Makruf memaparkan bahwa pihaknya sudah beberapa kali melakukan pengecekan ke lapangan.
‘’Hasil dari turun lapangan yang kami lakukan selama beberapa kali ini didapati bahwa di CMTF Arak ditemukan pembuangan limbah tak prosedural dan tak sesuai izin. Prinsipnya kami menemukan sebanyak empat titik limbah yang dibuang tak prosedural,’’ tegas Makruf.
Akan halnya untuk kasus di Tonggak Delapan, Makruf juga menjelaskan pihaknya sudah mengambil sampel sebanyak beberapa kali. ‘’Kami perlu waktu 1 bulan lebih untuk melakukan proses terhadap penyakit yang menimpa warga Tonggak Delapan,’’ sebutnya.
Untuk melakukan pemeriksaan, Makruf menyebutkan pihaknya melakukan uji secara Fisika dan Kimia terhadap air sumur warga. Dan hasilnya secara Fisika dan Kimia, air memenuhi baku mutu standarisasi kesehatan.
Hanya saja, secara Biologi, tidak bisa diuji. Kalau mau diuji akan diulang ke lapangan. ‘’Dari pengamatan lapangan masih mencurigakan sumber air bersihnya. Tapi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan memperoleh kejelasan, kami sudah mengirim sampel ke Jakarta dan akan keluar dalam waktu dekat. Karena perlu proses sampai sebulan,’’ jelasnya.
Sementara Kepala Bapedalda Bengkalis H TS Ilyas yang turut hadir saat pertemuan menerangkan, setelah mendapatkan laporan dari masyarakat, pihaknya sudah empat kali melakukan pemantauan. ‘’Kami memang ada melihat ada pembuangan pipa yang belum bisa dipertanggungjawabkan oleh kontraktor. Info kontraktor pipa untuk menyedot air yang sudah terlanjur dibuang,’’ ucap Ilyas menerangkan soal temuannya di operasional CMTF Arak.
Diakui pula, pihaknya juga sudah melakukan pengambilan sampel dan sudah di bawa ke lab tapi hasil belum diketahui. ‘’Hasilnya nanti akan kita sampaikan kepada para pihak dan kami tidak punya kapasitas untuk memutuskan limbah B3 dan itu adalah kewenangan pusat. Lagi pula kami tak terlalu memahami betul soal tekhnologi,’’ jelasnya.
Untuk penyakit gatal-gatal di Desa Tonggak Delapan dan masalah lainnya, Ilyas menjelaskan masalah ini sudah berlarut. Bapedalda katanya, sudah meminta PT CPI untuk melakukan pengujian sesuai dengan tuntutan masyarakat. Dan PT CPI sudah penuhi itu. ‘’PT CPI sudah mempresentasikan hasil kerusakan tanah yang disebabkan dari patahan Sebanga,’’ jelasnya.(ose)
Sungai Pudu Positif Tercemar Limbah
25 Juni 2007 Pukul 08:45
Hanafi: CPI Belum Terima Hasilnya
DURI(RP) - Sungai Batang Pudu di Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis dinyatakan positif tercemar limbah B3 (Bahan Beracun dan Berhaya) milik PT CPI. Kesimpulan ini sesuai dengan hasil tes laboratorium yang dilakukan Tim Ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
Saksi ahli dari IPB Ir Basuki Wasis MSi membenarkan hal itu. Sesuai hasil tes tersebut, ada beberapa kesimpulan yang dibuat, di antaranya, di sekitar daerah pengolahan limbah tidak ada dinding pembatas kolam, hingga terjadi pencemaran lingkungan.
Dalam hasil laboratorium itu juga dijelaskan, seyogyanya perusahaan pengelola mempunyai Amdal, ada UPL/UKL yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat. Selain itu juga harus ada rekomendasi Pemda setempat.
Semua itu, ternyata tidak dimiliki PT KLP (Karya Lestari Perkasa) sebagai perusahaan pemenang tender. Dari apa yang dilakukan perusahaan ini dua pasal UU 23/1997 tentang Lingkungan Hidup telah dilanggar, yakni pasal 41 menyangkut kesengajaan, serta pasal 42 menyangkut kelalian.
‘’Untuk penetapan tersangka selanjutnya, kita akan datangkan ahli korporasi dari salah satu perguruan tinggi dan ahli koprorasi tersebut sudah menyatakan kesediaannya untuk menjadi saksi ahli dalam kasus ini. Dari keterangan saksi ahli berikut inilah akan menyusul tersangka lain,’’ tambah Kapolsek Mandau AKP Alpen SH SIK, saat dihubungi RPG, Sabtu (23/6) lalu.
Kepada RPG pihak CPI yang dikonfirmasi melalui Manager Communication dan Media Relations Hanafi Kadir melalui rilis lewat emailnya yang diterima RPG, mengatakan, pihaknya belum bisa berkomentar banyak tentang hal itu. Menurut dia, pihaknya belum mendapat laporan dimaksud.
Mengenai keabsahan dan akurasi penemuan tersebut kata Hanafi, dapat dinyatakan langsung kepada pihak yang lebih berkompeten untuk menangani masalah lingkungan seperti Bapedal Riau atau Bapedalda Bengkalis.
Dijelaskan Hanafi lagi, CPI mempunyai izin resmi dari KLH (Kepmen LH No.111/2005) untuk pengelolaan Central Mud Treating Facilities (CMTF) Arak. Sedangkan PT KLP adalah kontraktor yang mengelola fasilitas tersebut atas nama CPI. PT KLP memenangkan tender yang dilakukan secara resmi dan terbuka serta sesuai dengan aturan-aturan tender yang berlaku. Amdal dikeluarkan untuk izin pengoperasian suatu wilayah, bukan perusahaan. Pengelolaan CMTF Arak termasuk ke dalam Amdal wilayah CPI Bekasap-Rokan, sesuai dengan surat persetujuan Departemen Pertambangan dan Energi No.2738/31/SJN.T/1998.
‘’Sesuai dengan hasil pertemuan di DPRD Riau kemarin, PT CPI telah mulai melakukan pembersihan di sekitar areal CMTF Arak sesuai rekomendasi yang dikeluarkaan oleh Bapedal Riau. CPI selalu menujunjung tinggi, hukum dan undang-undang serta peraturan berlaku, serta senantiasa menjaga dan melestarikan lingkungan dalam kegiatan operasinya,’’ ungkap hanafi.
Sementara pihak Bapedalda Riau bidang pemantau Ipal dan Amdal Makruf Siregar mengatakan, belum menerima hasil penelitian sampel dari tim IPB itu. Ia berpandangan, seharusnya sampel dilihat dari aspek legalnya. Artinya, air yang tercemar itu diteliti oleh dua kelompok. Satu diteliti oleh tim di lapangan dan satu oleh tim labor.‘’Jadi, nantinya hasil kedua tim ini diadu. Setelah itu barulah didapat hasil akhirnya,’’ kata Makruf. Dipaparkannya, dalam penelitian limbah B3, harus memakai uji LJ 50. Maksudnya, setelah diuji dalam 50 hari hasilnya baru bisa ke luar dan kemudian dilanjutkan dengan analisa. ‘’Jadi saya bingung bagaimana hasil tim IPB itu bisa keluar, sedangkan waktunya belum 50 hari,’’ katanya.
Polisi Tetapkan Satu Tersangka
Terkait kasus ini, limbah B3 di kawasan Arak Field dan Sungai Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis penyidik dari Polsek Mandau, menetapkan satu orang tersangka, berinisial JM, supervisor PT KLP.
‘’Tersangka Jhon Morris sudah kita tahan beberapa hari lalu. Dia dianggap berusaha menghilangkan fakta. Disinyalir, kenapa Iyan Cs disuruh membuang limbah ke sungai, supaya PT KLP tidak bentrok dengan masyarakat Suku Sakai, karena Iyan, juga orang Sakai,’’ kata AKP Alpen. Iyan, adalah orang suruhan JM yang diduga melakukan pembuangan limba B3.
Namun, kata Alpen lagi, karena sejauh ini JM cukup kooperatif, ia dikenakan wajib lapor. ‘’Sementara itu mengenai penelitian limbah B3 di laboratorium IPB Bogor, hasilnya sudah kita terima beberapa hari lalu, dan hasilnya telah terjadi pencemaran akibat limbah B3 di sekitar Arak Field dan Sungai Batang Pudu,’’ ujarnya menambahkan.
Mengenai nasib PT KLP, setelah dilakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi-saksi termasuk dari Bapedalda Bengkalis, dijelaskan Kapolsek, ternyata PT KLP sama sekali tidak memiliki Amdal, UKL, UPL, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Lingkungan Hidup Nomor 23/1997. Bahkan Bapedalda tidak mengetahui keberadaan PT KLP, sehingga otomatis belum ada rekomendasi Bapedalda untuk PT KLP, dalam hal pengolahan limbah.
‘’PT KLP hanya memiliki syarat-syarat mendirikan perseroan terbatas (perusahaan), bukan izin pengolahan limbah. Atas dasar ketidakmengertian itu mungkin mereka nekat membuang limbah B3 ke Sungai Batang Pudu secara sengaja. Semua itu jelas tergambar saat rekonstruksi. Kontrak kerja sama PT KLP dan PT CPI juga sedang kita dipelajari, apakah ada ketentuan Undang-Undang yang dilanggar. Sejauh ini untuk PT KLP dikenakan pasal 41,42 dan 46, UU Lingkungan Hidup,’’ ungkapnya.
Segera Bayarkan Ganti Rugi
Sementara itu, tokoh pemuda Suku Sakai, Iwan Basri menanggapi hasil laboratorium IPB yang menyimpulkan telah terjadi pencemaran limbah di lokasi Arak Field dan Sungai Batang Pudu, berharap PT CPI dan PT KLP tidak lagi menggunakan dalih lainnya untuk lari dari tanggung jawab.
‘’ Syukurlah hasilnya positif. Jadi, perjuangan masyarakat Suku Sakai tidak sia-sia. Sesuai janji yang pernah diucapkan di gedung dewan (DPRD Riau, red) beberapa waktu lalu di Pekanbaru, dimana PT CPI akan bertanggungjawab membersihkan seluruh daerah yang tercemar dan memberikan ganti kerugian kepada masyarakat yang terkena dampak limbah, diminta segera dibuktikan. Saat ini tidak ada jalan lain bagi PT CPI dan PT KLP untuk menghindar,’’ ujar Iwan.(usa/rpg/rnl)
Hanafi: CPI Belum Terima Hasilnya
DURI(RP) - Sungai Batang Pudu di Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis dinyatakan positif tercemar limbah B3 (Bahan Beracun dan Berhaya) milik PT CPI. Kesimpulan ini sesuai dengan hasil tes laboratorium yang dilakukan Tim Ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
Saksi ahli dari IPB Ir Basuki Wasis MSi membenarkan hal itu. Sesuai hasil tes tersebut, ada beberapa kesimpulan yang dibuat, di antaranya, di sekitar daerah pengolahan limbah tidak ada dinding pembatas kolam, hingga terjadi pencemaran lingkungan.
Dalam hasil laboratorium itu juga dijelaskan, seyogyanya perusahaan pengelola mempunyai Amdal, ada UPL/UKL yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat. Selain itu juga harus ada rekomendasi Pemda setempat.
Semua itu, ternyata tidak dimiliki PT KLP (Karya Lestari Perkasa) sebagai perusahaan pemenang tender. Dari apa yang dilakukan perusahaan ini dua pasal UU 23/1997 tentang Lingkungan Hidup telah dilanggar, yakni pasal 41 menyangkut kesengajaan, serta pasal 42 menyangkut kelalian.
‘’Untuk penetapan tersangka selanjutnya, kita akan datangkan ahli korporasi dari salah satu perguruan tinggi dan ahli koprorasi tersebut sudah menyatakan kesediaannya untuk menjadi saksi ahli dalam kasus ini. Dari keterangan saksi ahli berikut inilah akan menyusul tersangka lain,’’ tambah Kapolsek Mandau AKP Alpen SH SIK, saat dihubungi RPG, Sabtu (23/6) lalu.
Kepada RPG pihak CPI yang dikonfirmasi melalui Manager Communication dan Media Relations Hanafi Kadir melalui rilis lewat emailnya yang diterima RPG, mengatakan, pihaknya belum bisa berkomentar banyak tentang hal itu. Menurut dia, pihaknya belum mendapat laporan dimaksud.
Mengenai keabsahan dan akurasi penemuan tersebut kata Hanafi, dapat dinyatakan langsung kepada pihak yang lebih berkompeten untuk menangani masalah lingkungan seperti Bapedal Riau atau Bapedalda Bengkalis.
Dijelaskan Hanafi lagi, CPI mempunyai izin resmi dari KLH (Kepmen LH No.111/2005) untuk pengelolaan Central Mud Treating Facilities (CMTF) Arak. Sedangkan PT KLP adalah kontraktor yang mengelola fasilitas tersebut atas nama CPI. PT KLP memenangkan tender yang dilakukan secara resmi dan terbuka serta sesuai dengan aturan-aturan tender yang berlaku. Amdal dikeluarkan untuk izin pengoperasian suatu wilayah, bukan perusahaan. Pengelolaan CMTF Arak termasuk ke dalam Amdal wilayah CPI Bekasap-Rokan, sesuai dengan surat persetujuan Departemen Pertambangan dan Energi No.2738/31/SJN.T/1998.
‘’Sesuai dengan hasil pertemuan di DPRD Riau kemarin, PT CPI telah mulai melakukan pembersihan di sekitar areal CMTF Arak sesuai rekomendasi yang dikeluarkaan oleh Bapedal Riau. CPI selalu menujunjung tinggi, hukum dan undang-undang serta peraturan berlaku, serta senantiasa menjaga dan melestarikan lingkungan dalam kegiatan operasinya,’’ ungkap hanafi.
Sementara pihak Bapedalda Riau bidang pemantau Ipal dan Amdal Makruf Siregar mengatakan, belum menerima hasil penelitian sampel dari tim IPB itu. Ia berpandangan, seharusnya sampel dilihat dari aspek legalnya. Artinya, air yang tercemar itu diteliti oleh dua kelompok. Satu diteliti oleh tim di lapangan dan satu oleh tim labor.‘’Jadi, nantinya hasil kedua tim ini diadu. Setelah itu barulah didapat hasil akhirnya,’’ kata Makruf. Dipaparkannya, dalam penelitian limbah B3, harus memakai uji LJ 50. Maksudnya, setelah diuji dalam 50 hari hasilnya baru bisa ke luar dan kemudian dilanjutkan dengan analisa. ‘’Jadi saya bingung bagaimana hasil tim IPB itu bisa keluar, sedangkan waktunya belum 50 hari,’’ katanya.
Polisi Tetapkan Satu Tersangka
Terkait kasus ini, limbah B3 di kawasan Arak Field dan Sungai Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis penyidik dari Polsek Mandau, menetapkan satu orang tersangka, berinisial JM, supervisor PT KLP.
‘’Tersangka Jhon Morris sudah kita tahan beberapa hari lalu. Dia dianggap berusaha menghilangkan fakta. Disinyalir, kenapa Iyan Cs disuruh membuang limbah ke sungai, supaya PT KLP tidak bentrok dengan masyarakat Suku Sakai, karena Iyan, juga orang Sakai,’’ kata AKP Alpen. Iyan, adalah orang suruhan JM yang diduga melakukan pembuangan limba B3.
Namun, kata Alpen lagi, karena sejauh ini JM cukup kooperatif, ia dikenakan wajib lapor. ‘’Sementara itu mengenai penelitian limbah B3 di laboratorium IPB Bogor, hasilnya sudah kita terima beberapa hari lalu, dan hasilnya telah terjadi pencemaran akibat limbah B3 di sekitar Arak Field dan Sungai Batang Pudu,’’ ujarnya menambahkan.
Mengenai nasib PT KLP, setelah dilakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi-saksi termasuk dari Bapedalda Bengkalis, dijelaskan Kapolsek, ternyata PT KLP sama sekali tidak memiliki Amdal, UKL, UPL, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Lingkungan Hidup Nomor 23/1997. Bahkan Bapedalda tidak mengetahui keberadaan PT KLP, sehingga otomatis belum ada rekomendasi Bapedalda untuk PT KLP, dalam hal pengolahan limbah.
‘’PT KLP hanya memiliki syarat-syarat mendirikan perseroan terbatas (perusahaan), bukan izin pengolahan limbah. Atas dasar ketidakmengertian itu mungkin mereka nekat membuang limbah B3 ke Sungai Batang Pudu secara sengaja. Semua itu jelas tergambar saat rekonstruksi. Kontrak kerja sama PT KLP dan PT CPI juga sedang kita dipelajari, apakah ada ketentuan Undang-Undang yang dilanggar. Sejauh ini untuk PT KLP dikenakan pasal 41,42 dan 46, UU Lingkungan Hidup,’’ ungkapnya.
Segera Bayarkan Ganti Rugi
Sementara itu, tokoh pemuda Suku Sakai, Iwan Basri menanggapi hasil laboratorium IPB yang menyimpulkan telah terjadi pencemaran limbah di lokasi Arak Field dan Sungai Batang Pudu, berharap PT CPI dan PT KLP tidak lagi menggunakan dalih lainnya untuk lari dari tanggung jawab.
‘’ Syukurlah hasilnya positif. Jadi, perjuangan masyarakat Suku Sakai tidak sia-sia. Sesuai janji yang pernah diucapkan di gedung dewan (DPRD Riau, red) beberapa waktu lalu di Pekanbaru, dimana PT CPI akan bertanggungjawab membersihkan seluruh daerah yang tercemar dan memberikan ganti kerugian kepada masyarakat yang terkena dampak limbah, diminta segera dibuktikan. Saat ini tidak ada jalan lain bagi PT CPI dan PT KLP untuk menghindar,’’ ujar Iwan.(usa/rpg/rnl)
Sakai Kembali Demo Chevron
04 Juli 2007 Pukul 11:15
Laporan SYUKRI DATASAN, Duri syukri-datasan@riaupos.co.id This email address is being protected from spam bots, you need Javascript enabled to view it
RATUSAN warga Sakai dari Kelurahan Pematang Pudu dan Desa Petani, kembali “turun gunung” ke Arak Field, Selasa (3/7). Mereka sengaja datang untuk menggelar aksi demo. Paginya sekitar pukul 08.30 WIB, operator alat berat yang tengah melakukan clean up di tempat itu mereka suruh agar menghentikan kegiatan. Warga juga mengaku akan bertahan di tempat itu hingga ada penyelesaian kasus sesuai harapan mereka.
Tuntutan warga Sakai dalam demo kali ini berkisar pada tanggungjawab moril dan materil PT CPI sehubungan dengan kasus cemaran limbah yang mengalir ke Sungai Batang Pudu. Persoalan ganti rugi akibat berkurangnya mata pencaharian penduduk di aliran sungai itu turut menjadi tuntutan mereka kemarin. Warga juga mempertanyakan realisasi surat Wagubri kepada Bupati Bengkalis usai meninjau lapangan 23 Mei 2007 lewat. Kala itu Wagub minta dibentuk tim terpadu penyelesaian kasus melibatkan masyarakat, pihak terkait serta perusahaan. Hingga kini menurut mereka hal itu tak terealisasi. Hasil Raker Komisi C DPRD Riau dengan berbagai pihak terkait belum lama ini juga mereka sebut-sebut.
Sejauh pantauan Riau Pos hingga tengah hari kemarin, aksi demo tersebut masih berlangsung aman, tertib serta terkendali. Tak ada yel-yel yang diteriakkan kala rombongan wartawan dari Duri sampai di lokasi. Beberapa poster berisi tuntutan dan jeritan batin warga sakai dipasang di pintu kawat masuk lokasi pengolahan limbah yang dikelola PT Karya Lestari Perkasa (KLP).
Beberapa aparat polisi serta tenaga security PT Group 4 Securitas terlihat memantau situasi di lapangan. Staf bagian security PT CPI juga terlihat hadir di lokasi. Begitu juga beberapa staf dan pekerja kontrak dari PT Multi Structure yang ditugaskan untuk menangani clean up tempat penimbunan lumpur di pinggir jalan diluar pagar lokasi PT KLP.
Menurut pengakuan seorang operator PT Multi Structure, pagi itu sekitar pukul 08.30 WIB warga Sakai minta mereka menghentikan pekerjaan clean up. Menurut warga, pekerjaan tersebut jangan dilanjutkan dulu karena permasalahan ganti rugi yang mereka tuntut belum selesai. Tak ingin terjadi pergesekan, permintaan itu terpaksa dituruti pekerja di lapangan.
Sementara itu Manajer CMR PT CPI, Hanafi Kadir, ketika dikonfirmasi menegaskan bahwa proses pembersihan pada keempat titik di sekitar CMTF Arak sedang berlangsung dan diharapkan selesai 20 Juli 2007. ‘’Salah satu metoda yang dilakukan adalah dengan mencampurkan terlebih dahulu lumpur dengan tanah yang agak kering sehingga mudah untuk dikeruk dan tidak mencemari lingkungan ketika dalam pengangkutan,’’ jelasnya.
Hanafi juga menjelaskan persoalan tuntutan ganti rugi warga atas klaim berkurangnya penghasilan. ‘’Seperti yang kami sampaikan dalam rapat dengan Komisi C DPRD Riau 7 Juni 2007 lalu, permasalahan tuntutan ganti rugi menyangkut masalah hukum. CPI tidak dapat memberikan ganti rugi tanpa dasar hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan melalui putusan pengadilan,’’ pungkasnya.(ose)
Laporan SYUKRI DATASAN, Duri syukri-datasan@riaupos.co.id This email address is being protected from spam bots, you need Javascript enabled to view it
RATUSAN warga Sakai dari Kelurahan Pematang Pudu dan Desa Petani, kembali “turun gunung” ke Arak Field, Selasa (3/7). Mereka sengaja datang untuk menggelar aksi demo. Paginya sekitar pukul 08.30 WIB, operator alat berat yang tengah melakukan clean up di tempat itu mereka suruh agar menghentikan kegiatan. Warga juga mengaku akan bertahan di tempat itu hingga ada penyelesaian kasus sesuai harapan mereka.
Tuntutan warga Sakai dalam demo kali ini berkisar pada tanggungjawab moril dan materil PT CPI sehubungan dengan kasus cemaran limbah yang mengalir ke Sungai Batang Pudu. Persoalan ganti rugi akibat berkurangnya mata pencaharian penduduk di aliran sungai itu turut menjadi tuntutan mereka kemarin. Warga juga mempertanyakan realisasi surat Wagubri kepada Bupati Bengkalis usai meninjau lapangan 23 Mei 2007 lewat. Kala itu Wagub minta dibentuk tim terpadu penyelesaian kasus melibatkan masyarakat, pihak terkait serta perusahaan. Hingga kini menurut mereka hal itu tak terealisasi. Hasil Raker Komisi C DPRD Riau dengan berbagai pihak terkait belum lama ini juga mereka sebut-sebut.
Sejauh pantauan Riau Pos hingga tengah hari kemarin, aksi demo tersebut masih berlangsung aman, tertib serta terkendali. Tak ada yel-yel yang diteriakkan kala rombongan wartawan dari Duri sampai di lokasi. Beberapa poster berisi tuntutan dan jeritan batin warga sakai dipasang di pintu kawat masuk lokasi pengolahan limbah yang dikelola PT Karya Lestari Perkasa (KLP).
Beberapa aparat polisi serta tenaga security PT Group 4 Securitas terlihat memantau situasi di lapangan. Staf bagian security PT CPI juga terlihat hadir di lokasi. Begitu juga beberapa staf dan pekerja kontrak dari PT Multi Structure yang ditugaskan untuk menangani clean up tempat penimbunan lumpur di pinggir jalan diluar pagar lokasi PT KLP.
Menurut pengakuan seorang operator PT Multi Structure, pagi itu sekitar pukul 08.30 WIB warga Sakai minta mereka menghentikan pekerjaan clean up. Menurut warga, pekerjaan tersebut jangan dilanjutkan dulu karena permasalahan ganti rugi yang mereka tuntut belum selesai. Tak ingin terjadi pergesekan, permintaan itu terpaksa dituruti pekerja di lapangan.
Sementara itu Manajer CMR PT CPI, Hanafi Kadir, ketika dikonfirmasi menegaskan bahwa proses pembersihan pada keempat titik di sekitar CMTF Arak sedang berlangsung dan diharapkan selesai 20 Juli 2007. ‘’Salah satu metoda yang dilakukan adalah dengan mencampurkan terlebih dahulu lumpur dengan tanah yang agak kering sehingga mudah untuk dikeruk dan tidak mencemari lingkungan ketika dalam pengangkutan,’’ jelasnya.
Hanafi juga menjelaskan persoalan tuntutan ganti rugi warga atas klaim berkurangnya penghasilan. ‘’Seperti yang kami sampaikan dalam rapat dengan Komisi C DPRD Riau 7 Juni 2007 lalu, permasalahan tuntutan ganti rugi menyangkut masalah hukum. CPI tidak dapat memberikan ganti rugi tanpa dasar hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan melalui putusan pengadilan,’’ pungkasnya.(ose)
Wagubri tak Berhak Tuntaskan Keluhan Warga Pematang Pudu
Rabu, 7 Nopember 2007 16:42
Belasan warga Pematang Pudu, Mandau menemui Wagubri Wan Abu Bakar. Mereka mengadukan masalah pencemaran sungai dan kehidupan mereka yang terbelakang, namun Wagubri mengaku, hal itu menjadi tangung jawab Pemkab Bengkalis.
Riauterkini-PEKANBARU- Belasan warga Desa Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis menemui Wakil Gubernur Riau Wan Abu Bakar, Rabu (7/11). Kedatangan mereka untuk mengadukan masalah dugaan pencemaran sungai Pematang Pudu oleh limbah PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI) serta sejumlah masalah sosial lainnya.
Menjawab keluhan warga tersebut, Wagubri mengatakan, untuk masalah dugaan pencemaran sungai Pematang Pudu, Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedal) Riaut telah secara resmi mengumumkan hasil penelitian, yang memastikan tidak ada pencemaran. "Kalau masalah dugaan pencemaran, Bapedal Riau telah memastikan tidak ada pencemaran. Jadi masalah itu harus dianggap selesai," ujarnya.
Setelah mendapat penegasan dari Wagubri mengenai hasil penelitian Bapedal Riau, warga kemudian beralih pada masalah kesejahteraan mereka yang terbelakang. Mereka juga mengusulkan agar mereka direlokasi ke daerah yang lebih maju.
Menanggapi permintaan masyarakat tersebut, Wagubri mengatakan, bahwa hal itu bukan tangung jawab Pemprov Riau, melainkan tanggung jawab dari Pemkab Bengkalis. "Saya akan coba hubungai Pemkab Bengkalis untuk memperhatikan masalah tersebut, sebab masalah kesejahteraan masyarakat, menjadi tanggung jawab Bengkalis," tegasnya.
Meksipun terlihat kurang puas, namun belasan masyarakat tersebut akhirnya tak bisa berbuat apa-apa, selain menerima penjelasan tersebut dan kemudian pamit pulang.***(mad)
Belasan warga Pematang Pudu, Mandau menemui Wagubri Wan Abu Bakar. Mereka mengadukan masalah pencemaran sungai dan kehidupan mereka yang terbelakang, namun Wagubri mengaku, hal itu menjadi tangung jawab Pemkab Bengkalis.
Riauterkini-PEKANBARU- Belasan warga Desa Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis menemui Wakil Gubernur Riau Wan Abu Bakar, Rabu (7/11). Kedatangan mereka untuk mengadukan masalah dugaan pencemaran sungai Pematang Pudu oleh limbah PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI) serta sejumlah masalah sosial lainnya.
Menjawab keluhan warga tersebut, Wagubri mengatakan, untuk masalah dugaan pencemaran sungai Pematang Pudu, Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedal) Riaut telah secara resmi mengumumkan hasil penelitian, yang memastikan tidak ada pencemaran. "Kalau masalah dugaan pencemaran, Bapedal Riau telah memastikan tidak ada pencemaran. Jadi masalah itu harus dianggap selesai," ujarnya.
Setelah mendapat penegasan dari Wagubri mengenai hasil penelitian Bapedal Riau, warga kemudian beralih pada masalah kesejahteraan mereka yang terbelakang. Mereka juga mengusulkan agar mereka direlokasi ke daerah yang lebih maju.
Menanggapi permintaan masyarakat tersebut, Wagubri mengatakan, bahwa hal itu bukan tangung jawab Pemprov Riau, melainkan tanggung jawab dari Pemkab Bengkalis. "Saya akan coba hubungai Pemkab Bengkalis untuk memperhatikan masalah tersebut, sebab masalah kesejahteraan masyarakat, menjadi tanggung jawab Bengkalis," tegasnya.
Meksipun terlihat kurang puas, namun belasan masyarakat tersebut akhirnya tak bisa berbuat apa-apa, selain menerima penjelasan tersebut dan kemudian pamit pulang.***(mad)
BEBSiC Tolak Dana Chevron dan Total
(JATAM, 18/04/2007) Borneo Ecology and Biodiversity Conservation Institute (BEBSic) mengeluarkan surat penolakan pendanaan Chevron dan Total (17/4) pada Pertemuan Nasional Pendidikan Lingkungan Hidup 2007 (Penas PLH 2007) yang akan datang. Dalam surat yang yang ditujukan kepada Jaringan Pendidikan Lingkungan Hidup (JPL) itu, BEBSiC menyampaikan tiga alasan penolakan terhadap dua perusahaan transnasional asal Amerika Serikat dan Perancis tersebut.
Pertama, Chevron telah melakukan pencemaran lingkungan hidup di kawasan Saloloang (Tanjung Jumlai) dan sekitarnya (Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur) pada tahun 2005 (kasus kebocoran gas) dan 2007 (kasus kebocoran pipa minyak). Hingga saat ini tidak jelas tanggung gugat Chevron terhadap pencemaran dan dampaknya kepada masyarakat.
Kedua, TOTAL hingga saat ini masih tetap melarang nelayan melakukan penangkapan ikan di wilayah tangkapan tradisional rakyat sekitar kawasan tambangnya.
Ketiga, Beberapa unit perusahaan Chevron dan TOTAL di Kalimantan Timur masih masuk dalam kategori Proper MERAH yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Artinya perusahaan tersebut memiliki reputasi buruk dalam mengelola lingkungan hidup.
Surat BEBSic, lembaga yang peduli terhadap konservasi sumber daya alam ini dikeluarkan menanggapi sikap Panitia Pertemuan Nasional Pendidikan Lingkungan Hidup Penas PLH 2007 yang memutuskan menggunakan dana Chevron dan Total untuk pelaksanaan Penas PLH. Ade Fadli, Direktur Eksekutif BEBSic juga menyatakan keprihatinannya karena tidak ada penjelasan dari Panitia Pengarah Nasional dari Kalimantan Timur (saudara Yusuf Lawey), berkaitan dengan sikap JPL terhadap pendanaan tersebut.
Dalam suratnya, BEBSic juga menyatakan keluar dari Kepanitiaan Penas PLH 2007 dan berhenti menjadi JPL Kalimantan Timur. Ade Fadili berharap, peran JPL mendorong pencapaian Perbaikan Sistem Pendidikan Nasional tak boleh dipisahkan dari Perbaikan Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia. (JM)
Pertama, Chevron telah melakukan pencemaran lingkungan hidup di kawasan Saloloang (Tanjung Jumlai) dan sekitarnya (Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur) pada tahun 2005 (kasus kebocoran gas) dan 2007 (kasus kebocoran pipa minyak). Hingga saat ini tidak jelas tanggung gugat Chevron terhadap pencemaran dan dampaknya kepada masyarakat.
Kedua, TOTAL hingga saat ini masih tetap melarang nelayan melakukan penangkapan ikan di wilayah tangkapan tradisional rakyat sekitar kawasan tambangnya.
Ketiga, Beberapa unit perusahaan Chevron dan TOTAL di Kalimantan Timur masih masuk dalam kategori Proper MERAH yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Artinya perusahaan tersebut memiliki reputasi buruk dalam mengelola lingkungan hidup.
Surat BEBSic, lembaga yang peduli terhadap konservasi sumber daya alam ini dikeluarkan menanggapi sikap Panitia Pertemuan Nasional Pendidikan Lingkungan Hidup Penas PLH 2007 yang memutuskan menggunakan dana Chevron dan Total untuk pelaksanaan Penas PLH. Ade Fadli, Direktur Eksekutif BEBSic juga menyatakan keprihatinannya karena tidak ada penjelasan dari Panitia Pengarah Nasional dari Kalimantan Timur (saudara Yusuf Lawey), berkaitan dengan sikap JPL terhadap pendanaan tersebut.
Dalam suratnya, BEBSic juga menyatakan keluar dari Kepanitiaan Penas PLH 2007 dan berhenti menjadi JPL Kalimantan Timur. Ade Fadili berharap, peran JPL mendorong pencapaian Perbaikan Sistem Pendidikan Nasional tak boleh dipisahkan dari Perbaikan Kondisi Lingkungan Hidup Indonesia. (JM)
Ladang Minyak Chevron Diduduki Ratusan Warga Sakai
Senin, 7 Mei 2007 17:31
Dituding Cemari Sungai,
Ladang Minyak Chevron Diduduki Ratusan Warga Sakai
Ratusan warga Sakai Pedalaman duduki ladang minyak PT Chevron Pacifik Indonesia (CPI). Mereka menuding limbah perusahaan tersebut sudah mencemari sungai.
Riauterkini-PEKANBARU-Ratusan warga Suku Sakai menduduki ladang minyak milik PT Chevron Pacifik Indonesia di Desa Pematang Kuda, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis Riau. Mereka menuding limbah perusahaan minyak raksasa itu mencemari sungai Batang Puru tempat mereka menggantungkan hidup mereka.
Aksi pendudukan ladang minyak oleh ratusan warga Sakai Pedalaman itu dilakukan sejak pagi senin (7/5). Mereka meminta manajemen Chevron untuk segera menyelesaikan permasalahan limbah mereka.
"Kita meminta pihak PT Chevron Pacifik Indonesia untuk segera menyelesaikan permasalahan limbah mereka. Karena dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran limbah kimia itu sangat merugikan warga. Baik dari pendapatan ikan, kerusakan perahu (kapal) maupun kerusakan rotan yang merupakan hasil hutan yang diolah secara lestari oleh warga," ungkap Kepala Suku Sakai, Matar Batin Muda.
Katanya, menurunnya jumlah pendapatan ikan terutama ikan khayangan menjadi dasar warga Sakai melakukan aksi ini. Sebelum terjadi pencemaran, pendapatan warga dari hasil menangkap ikan Khayangan mencapai Rp 35 juta pertahun. Setahun belakangan ini ikan khayangan tidak nampak lagi. Ironisnya, ikan-ikan jenis lain juga banyak yang mati.
Di sisi lain, diduga kiat PT Chevron membuang limbah kimianya ke sungai Batang Puru. Hal itu dibuktikan dengan tingginya kerusakan kapal atrau perahu milik warga serta kerusakan pada hasil rotan dari hutan yang diangkut warga melalui transportasi air.
"Kapal atau perahu yang biasanya bisa digunakan selama setahun, kini paling lama hanya bisa digunakan untuk 8 bulan saja. Demikian juga dengan hasil rotan hutan milik warga yang diangkut melalui air. Baik kapal atau perahu maupun rotan cepat terjadi pelapukan. Hal itu disebabkan karena limbah kimia yang dibuang ke sungai," terangnya.
Sementara itu, manajemen PT Chevron Pacifik Indonesia melalui Hanafi Kadir maupun Jeanny Simanjuntak, berkali-kali dihubungi via ponselnya sedang tidak aktif.***(H-we)
Dituding Cemari Sungai,
Ladang Minyak Chevron Diduduki Ratusan Warga Sakai
Ratusan warga Sakai Pedalaman duduki ladang minyak PT Chevron Pacifik Indonesia (CPI). Mereka menuding limbah perusahaan tersebut sudah mencemari sungai.
Riauterkini-PEKANBARU-Ratusan warga Suku Sakai menduduki ladang minyak milik PT Chevron Pacifik Indonesia di Desa Pematang Kuda, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis Riau. Mereka menuding limbah perusahaan minyak raksasa itu mencemari sungai Batang Puru tempat mereka menggantungkan hidup mereka.
Aksi pendudukan ladang minyak oleh ratusan warga Sakai Pedalaman itu dilakukan sejak pagi senin (7/5). Mereka meminta manajemen Chevron untuk segera menyelesaikan permasalahan limbah mereka.
"Kita meminta pihak PT Chevron Pacifik Indonesia untuk segera menyelesaikan permasalahan limbah mereka. Karena dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran limbah kimia itu sangat merugikan warga. Baik dari pendapatan ikan, kerusakan perahu (kapal) maupun kerusakan rotan yang merupakan hasil hutan yang diolah secara lestari oleh warga," ungkap Kepala Suku Sakai, Matar Batin Muda.
Katanya, menurunnya jumlah pendapatan ikan terutama ikan khayangan menjadi dasar warga Sakai melakukan aksi ini. Sebelum terjadi pencemaran, pendapatan warga dari hasil menangkap ikan Khayangan mencapai Rp 35 juta pertahun. Setahun belakangan ini ikan khayangan tidak nampak lagi. Ironisnya, ikan-ikan jenis lain juga banyak yang mati.
Di sisi lain, diduga kiat PT Chevron membuang limbah kimianya ke sungai Batang Puru. Hal itu dibuktikan dengan tingginya kerusakan kapal atrau perahu milik warga serta kerusakan pada hasil rotan dari hutan yang diangkut warga melalui transportasi air.
"Kapal atau perahu yang biasanya bisa digunakan selama setahun, kini paling lama hanya bisa digunakan untuk 8 bulan saja. Demikian juga dengan hasil rotan hutan milik warga yang diangkut melalui air. Baik kapal atau perahu maupun rotan cepat terjadi pelapukan. Hal itu disebabkan karena limbah kimia yang dibuang ke sungai," terangnya.
Sementara itu, manajemen PT Chevron Pacifik Indonesia melalui Hanafi Kadir maupun Jeanny Simanjuntak, berkali-kali dihubungi via ponselnya sedang tidak aktif.***(H-we)
CD Perusahaan Migas dari Pemerintah
10 Mei 2007 Pukul 08:56
Laporan Kartini Fattach, Pekanbaru This email address is being protected from spam bots, you need Javascript enabled to view it
Masyarakat jangan lagi terkecoh dengan dana program Community Developement (CD) yang ditaburkan perusahaan Minyak dan Gas (Migas) selama ini. Sebab, ternyata dana yang dibagi-bagikan ke masyarakat dalam berbagai program itu, tidak bersumber dari keuntungan perusahaan, melainkan dari biaya operasional yang ditanggung oleh pemerintah.
Seperti dikemukakan Kepala Perwakilan BP Migas Pekanbaru, Bambang Arbiwanto, masyarakat dan pemerintah daerah harus jernih melihat program CD perusahaan ini. ‘’Jangan kira program CD yang disalurkan perusahaan diambil dari keuntungan perusahaan, itu ditanggung oleh pemerintah dan perusahaan hanya menjalankannya saja. Perusahaan juga harus menjelaskan ini ke publik, dan jangan lakukan pembohongan publik,’’ sebut Bambang Arbiwanto.
Hal ini diungkapkannya saat hearing dengan Komisi B DPRD Riau, Rabu (9/5). Munculnya penjelasan dari Bambang Arbiwanto ini, karena menjawab pertanyaan dari sejumlah anggota Komisi B dan Dinas Pertambangan dan Energi serta Dinas Pendapatan Daerah yang meminta kejelasan soal realisasi dana CD ini.
Apa yang diungkapkan Bambang Arbiwanto ini, dibenarkan pula oleh Anggota Komisi B Bambang Tri Wahyono. Ia mengatakan, selama ini perusahaan Migas di Riau sudah melakukan pembohongan publik dengan menggambar-gemborkan bantuan dari dana CD sebagai bantuan perusahaan. Padahal dana yang digunakan dibebankan kepada pemerintah.
Apa yang diungkapkan Bambang Arbiwanto dan Bambang Tri Wahyono tentang sumber dana CD ini, tidak ditampik oleh sejumlah perusahaan Migas yang beroperasi di daerah Riau. PT Chevron Pasific Indonesia (CPI), salah satu perusahaan yang mengakui hal ini.
Bahkan General Affairs PT CPI, Rasfuldi, khusus di CPI biaya operasional yang digunakan selain bersumber dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Riau juga ikut-ikutan terbebani dengan program CD perusahaan ini.
Adapun pembagian biaya operasional ini jelas Rasfuldi, sebesar 74 persen ditanggung Pemerintah Pusat, 13 persen ditanggung Pemprov Riau. Sedangkan 12 persen selebihnya ditanggung oleh PT CPI.
‘’Benar biaya operasional kami ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan daerah. Sementara perusahaan hanya sebagian kecil saja. Dana CD juga diambil dari situ,’’ jelasnya.
Terhadap hal ini, Bambang Arbiwanto menyarankan supaya pengelolaan dana CD dari tujuh perusahaan Migas di Riau sebaiknya dikelola secara mandiri oleh pemerintah daerah. Untuk ini pemerintah daerah bisa membentuk lembaga yang menyalurkan dana CD ini, termasuk penetapan program-program yang akan dilaksanakan.
Bambang juga menjelaskan, dana CD dari tujuh perusahaan Migas ini, harus dibagikan untuk kesejahteraan masyarakat Riau yang dananya mencapai miliaran rupiah itu.
Hanya saja selama ini berapa besar yang digunakan kurang disampaikan secara transparan.
Ini disambut oleh Komisi B DPRD Riau. Wakil Ketua AB Purba SH MH bahkan mengatakan akan membicarakannya secara khusus dengan Dispenda dan Distamben Riau.
Sementara Sekretaris Komisi B DPRD Riau Zulkarnaen Noerdin SH MH, menyarankan supaya penyaluran dana CD ini tak hanya bagi masyarakat di daerah penghasil saja, melainkan juga disalurkan ke kabupaten/kota lain di Riau.(ade)
Laporan Kartini Fattach, Pekanbaru This email address is being protected from spam bots, you need Javascript enabled to view it
Masyarakat jangan lagi terkecoh dengan dana program Community Developement (CD) yang ditaburkan perusahaan Minyak dan Gas (Migas) selama ini. Sebab, ternyata dana yang dibagi-bagikan ke masyarakat dalam berbagai program itu, tidak bersumber dari keuntungan perusahaan, melainkan dari biaya operasional yang ditanggung oleh pemerintah.
Seperti dikemukakan Kepala Perwakilan BP Migas Pekanbaru, Bambang Arbiwanto, masyarakat dan pemerintah daerah harus jernih melihat program CD perusahaan ini. ‘’Jangan kira program CD yang disalurkan perusahaan diambil dari keuntungan perusahaan, itu ditanggung oleh pemerintah dan perusahaan hanya menjalankannya saja. Perusahaan juga harus menjelaskan ini ke publik, dan jangan lakukan pembohongan publik,’’ sebut Bambang Arbiwanto.
Hal ini diungkapkannya saat hearing dengan Komisi B DPRD Riau, Rabu (9/5). Munculnya penjelasan dari Bambang Arbiwanto ini, karena menjawab pertanyaan dari sejumlah anggota Komisi B dan Dinas Pertambangan dan Energi serta Dinas Pendapatan Daerah yang meminta kejelasan soal realisasi dana CD ini.
Apa yang diungkapkan Bambang Arbiwanto ini, dibenarkan pula oleh Anggota Komisi B Bambang Tri Wahyono. Ia mengatakan, selama ini perusahaan Migas di Riau sudah melakukan pembohongan publik dengan menggambar-gemborkan bantuan dari dana CD sebagai bantuan perusahaan. Padahal dana yang digunakan dibebankan kepada pemerintah.
Apa yang diungkapkan Bambang Arbiwanto dan Bambang Tri Wahyono tentang sumber dana CD ini, tidak ditampik oleh sejumlah perusahaan Migas yang beroperasi di daerah Riau. PT Chevron Pasific Indonesia (CPI), salah satu perusahaan yang mengakui hal ini.
Bahkan General Affairs PT CPI, Rasfuldi, khusus di CPI biaya operasional yang digunakan selain bersumber dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Riau juga ikut-ikutan terbebani dengan program CD perusahaan ini.
Adapun pembagian biaya operasional ini jelas Rasfuldi, sebesar 74 persen ditanggung Pemerintah Pusat, 13 persen ditanggung Pemprov Riau. Sedangkan 12 persen selebihnya ditanggung oleh PT CPI.
‘’Benar biaya operasional kami ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan daerah. Sementara perusahaan hanya sebagian kecil saja. Dana CD juga diambil dari situ,’’ jelasnya.
Terhadap hal ini, Bambang Arbiwanto menyarankan supaya pengelolaan dana CD dari tujuh perusahaan Migas di Riau sebaiknya dikelola secara mandiri oleh pemerintah daerah. Untuk ini pemerintah daerah bisa membentuk lembaga yang menyalurkan dana CD ini, termasuk penetapan program-program yang akan dilaksanakan.
Bambang juga menjelaskan, dana CD dari tujuh perusahaan Migas ini, harus dibagikan untuk kesejahteraan masyarakat Riau yang dananya mencapai miliaran rupiah itu.
Hanya saja selama ini berapa besar yang digunakan kurang disampaikan secara transparan.
Ini disambut oleh Komisi B DPRD Riau. Wakil Ketua AB Purba SH MH bahkan mengatakan akan membicarakannya secara khusus dengan Dispenda dan Distamben Riau.
Sementara Sekretaris Komisi B DPRD Riau Zulkarnaen Noerdin SH MH, menyarankan supaya penyaluran dana CD ini tak hanya bagi masyarakat di daerah penghasil saja, melainkan juga disalurkan ke kabupaten/kota lain di Riau.(ade)
CPI Klaim Air Buangannya Aman Terhadap Lingkungan
Jum’at, 11 Mei 2007 08:05
Menyikapi aksi pendudukan ratusan warga Suku Sakai terhadap salah satu instalasi minyaknya, PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI) membatan bahwa air buangannya menyembabkan pencemaran lingkungan.
Riauterkini-PEKANBARU- Dalam melaksanakan operasinya, PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI) berpegang teguh pada komitmennya untuk senantiasa menjaga keselamatan lingkungan. Hal itu berlaku di semua fasilitasnya, termasuk fasilitas pengolahan lumpurnya (CMTF = centralized mud treating facility) di lapangan Arak.
CPI maupun mitra kerja yang mengoperasikannya selalu memantau mutu air yang keluar dari proses pengolahan lumpur CMTF Arak dengan uji laboratorium untuk memastikan bahwa air tersebut memenuhi baku mutu yang ditetapkan oleh undang-undang lingkungan.
Uji mutu air dari CMTF dilakukan mitra kerja CPI setiap hari. Untuk lebih memastikannya, laboratorium CPI juga melakukan pengujian atas mutu air buangan CMTF setiap dua minggu sekali. Sampai sejauh ini, hasil pemantauan kami menunjukkan bahwa air buangan dari CMTF memenuhi semua parameter yang dipersyaratkan oleh Kep-03/Bapedal /09/1995.
Perlu diketahui bahwa pengoperasian CMTF di lapangan Arak sudah mendapat izin dari Menteri Negara Lingkungan Hidup melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 111 tahun 2005. Keputusan tersebut dibuat setelah staf Asisten Deputi Urusan Pertambangan, Energi dan Migas, Kementrian Negara Lingkungan Hidup, melakukan klarifikasi teknis terhadap CMTF dan memastikan fasilitas tersebut telah memenuhi persyaratan, sesuai dengan keputusan kepala Bapedal Nomor: Kep-03/Bapedal/09/1995 tentang persyaratan teknis pengolahan limbah B3.
Di bawah ini adalah contoh hasil Lab CPI:
Date No Facility Name Facility Unit Sampling Point NH3 COD H2S pH Oil Content Phenol Debit Temp
mg/L mg/L mg/L - mg/L mg/L m3/day oC Nilai ambang batas 5 200 0.5 6.0 - 9.0 25 2 - 40 oC
4-Jan-07 1 ARAK CMTF Pit 3 dibuang ke hutan 0.86 71.00 0.01 8.17 na 0.018 na na
19-Jan-07 1 ARAK CMTF Pit 3 dibuang ke hutan 0.77 15.00 0.02 7.86 na 0.039 na na
9-Feb-07 1 ARAK CMTF Pit 3 dibuang ke hutan 0.35 23.00 0.02 7.79 na 0.021 na na
28-Mar-07 1 ARAK CMTF Pit 3 dibuang ke hutan 0.53 12.00 0.02 8.33 na 0.056 na na ***(SP)
Menyikapi aksi pendudukan ratusan warga Suku Sakai terhadap salah satu instalasi minyaknya, PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI) membatan bahwa air buangannya menyembabkan pencemaran lingkungan.
Riauterkini-PEKANBARU- Dalam melaksanakan operasinya, PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI) berpegang teguh pada komitmennya untuk senantiasa menjaga keselamatan lingkungan. Hal itu berlaku di semua fasilitasnya, termasuk fasilitas pengolahan lumpurnya (CMTF = centralized mud treating facility) di lapangan Arak.
CPI maupun mitra kerja yang mengoperasikannya selalu memantau mutu air yang keluar dari proses pengolahan lumpur CMTF Arak dengan uji laboratorium untuk memastikan bahwa air tersebut memenuhi baku mutu yang ditetapkan oleh undang-undang lingkungan.
Uji mutu air dari CMTF dilakukan mitra kerja CPI setiap hari. Untuk lebih memastikannya, laboratorium CPI juga melakukan pengujian atas mutu air buangan CMTF setiap dua minggu sekali. Sampai sejauh ini, hasil pemantauan kami menunjukkan bahwa air buangan dari CMTF memenuhi semua parameter yang dipersyaratkan oleh Kep-03/Bapedal /09/1995.
Perlu diketahui bahwa pengoperasian CMTF di lapangan Arak sudah mendapat izin dari Menteri Negara Lingkungan Hidup melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 111 tahun 2005. Keputusan tersebut dibuat setelah staf Asisten Deputi Urusan Pertambangan, Energi dan Migas, Kementrian Negara Lingkungan Hidup, melakukan klarifikasi teknis terhadap CMTF dan memastikan fasilitas tersebut telah memenuhi persyaratan, sesuai dengan keputusan kepala Bapedal Nomor: Kep-03/Bapedal/09/1995 tentang persyaratan teknis pengolahan limbah B3.
Di bawah ini adalah contoh hasil Lab CPI:
Date No Facility Name Facility Unit Sampling Point NH3 COD H2S pH Oil Content Phenol Debit Temp
mg/L mg/L mg/L - mg/L mg/L m3/day oC Nilai ambang batas 5 200 0.5 6.0 - 9.0 25 2 - 40 oC
4-Jan-07 1 ARAK CMTF Pit 3 dibuang ke hutan 0.86 71.00 0.01 8.17 na 0.018 na na
19-Jan-07 1 ARAK CMTF Pit 3 dibuang ke hutan 0.77 15.00 0.02 7.86 na 0.039 na na
9-Feb-07 1 ARAK CMTF Pit 3 dibuang ke hutan 0.35 23.00 0.02 7.79 na 0.021 na na
28-Mar-07 1 ARAK CMTF Pit 3 dibuang ke hutan 0.53 12.00 0.02 8.33 na 0.056 na na ***(SP)
PRODUKSI MINYAK RIAU TERUS MENGALAMI PENURUNAN
30 May 2007 16:08 wib
PEKANBARU (RiauInfo) - Riau yang selama ini dikenal sebagai daerah penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia, suatu saat nanti predikat itu tidak lagi akan disandanginya. Hal ini disebabkan produksi minyak Riau setiap tahunnya terus Mengalami penurunan.
Kepala Sub Dinas Mineral dan Energi Dinas Pertambangan dan Energi Riau, Ir Abdi H mengatakan Rabu (30/5) di Pekanbaru, penurunan ini selain disebabkan terbatasnya cadanganminyak yang ada di perut bumi Riau, juga disebabkan tidak adanya eksplorasi sumur-sumur baru.
Menurut dia,jika penurunan terus saja terjadi dari tahun ke tahun, maka diperkirakan Riau hanya akan mampu memproduksi minyak bumi hanya sampai 20 tahun ke depan. "Setelah itu Riau tidak akan lagi jadi daerah penghasil minyak," ungkapnya.
Abdi mengatakan, berdasarkan hasil penelitian diketahui cadangan minyak bumi Riau per 1 Januari 2005 lalu sekitar 4,27 miliar barel. Cadangan tersebut tentunya akan terus menurun seiring dengan kegiatan eksploitasi minyak bumi yang dilakukan sejumlah perusahaan di Riau.
Saat ini ada beberapa perusahaan minyak di Riau yang beroperasi mengeskploitasi minyak bumi, diantaranya PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), Badan Operasi Bersama (BOB), PT Kondur, Medco, dan PT Petroselat. Dari beberapa perusahaan itu, produksi minyak terbesar dilakukan oleh PT CPI.
Berdasarkan data, PT CPI pada tahun 2003 memproduksi minyak sebesar 504.069 barel per hari, lalu pada tahun 2004 menurun menjadi 503.907 barel per hari, dan tahun 2005 menurun lagi menjadi 468.675 barel per hari. Sedangkan BOB pada tahun 2003 memproduksi 31.966 arel perhari, tahun 2004 turun menjadi 30.033 barel perhari, dan tahun 2005 menjadi 27.221 barel per hari.
Dari data tersebut terlihat kecenderungan menurunnya produksi minyak bumi di Riau. "Hal ini harus diantisipasi sejak dari awal dengan memikirkan sumber energi pengganti minyak bumi. Misalnya dengan mengembangkan bahan bakar nabati atau biodiesel," ujarnya lagi.(Ad)
PEKANBARU (RiauInfo) - Riau yang selama ini dikenal sebagai daerah penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia, suatu saat nanti predikat itu tidak lagi akan disandanginya. Hal ini disebabkan produksi minyak Riau setiap tahunnya terus Mengalami penurunan.
Kepala Sub Dinas Mineral dan Energi Dinas Pertambangan dan Energi Riau, Ir Abdi H mengatakan Rabu (30/5) di Pekanbaru, penurunan ini selain disebabkan terbatasnya cadanganminyak yang ada di perut bumi Riau, juga disebabkan tidak adanya eksplorasi sumur-sumur baru.
Menurut dia,jika penurunan terus saja terjadi dari tahun ke tahun, maka diperkirakan Riau hanya akan mampu memproduksi minyak bumi hanya sampai 20 tahun ke depan. "Setelah itu Riau tidak akan lagi jadi daerah penghasil minyak," ungkapnya.
Abdi mengatakan, berdasarkan hasil penelitian diketahui cadangan minyak bumi Riau per 1 Januari 2005 lalu sekitar 4,27 miliar barel. Cadangan tersebut tentunya akan terus menurun seiring dengan kegiatan eksploitasi minyak bumi yang dilakukan sejumlah perusahaan di Riau.
Saat ini ada beberapa perusahaan minyak di Riau yang beroperasi mengeskploitasi minyak bumi, diantaranya PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), Badan Operasi Bersama (BOB), PT Kondur, Medco, dan PT Petroselat. Dari beberapa perusahaan itu, produksi minyak terbesar dilakukan oleh PT CPI.
Berdasarkan data, PT CPI pada tahun 2003 memproduksi minyak sebesar 504.069 barel per hari, lalu pada tahun 2004 menurun menjadi 503.907 barel per hari, dan tahun 2005 menurun lagi menjadi 468.675 barel per hari. Sedangkan BOB pada tahun 2003 memproduksi 31.966 arel perhari, tahun 2004 turun menjadi 30.033 barel perhari, dan tahun 2005 menjadi 27.221 barel per hari.
Dari data tersebut terlihat kecenderungan menurunnya produksi minyak bumi di Riau. "Hal ini harus diantisipasi sejak dari awal dengan memikirkan sumber energi pengganti minyak bumi. Misalnya dengan mengembangkan bahan bakar nabati atau biodiesel," ujarnya lagi.(Ad)
Tudingan Pembuangan Limbah B3 PT Chevron
Kamis, 31 Mei 2007 15:58
Limbah Tak Terangkut Tanggung Jawab ISDM
Karena pengerjaan pembuangan limbah sudah diserahkan ISDM, Chevron menyatakan bahwa limbah B3 yang tidak terangkut merupakan tanggung jawab ISDM.
Riauterkini-PEKANBARU-Salah satu GM PT Chevron Pacifik Indonesia (CPI), Edwin kepada Riauterkini kamis (31/5) menyatakan bahwa seluruh limbah sudah diangkut oleh kontraktor yang mengerjakannya. Namun diantara limbah-limbah yang harus diangkut itu, memang masih ada limbah B3 yang tidak bisa di angkut.
"Memang ada limbah B3 yang tidak bisa diangkut. tetapi, secara keseluruhan, limbah-limbah itu diangkut oleh kontraktor kita. Mengenai tanggung jawab, masih 'tersisanya' limbah B3 adalah tanggung jawab dari ISDM. Pasalnya, perusahaan kontraktor itu berada dibawah koordinasi ISDM. Sebab perusahaan kontraktor termasuk dalam perusahaan BPH Migas," terangnya.
Data yang berhasil dihimpun Riauterkini menunjukkan bahwa di kawasan pengelolaan lumpur PT Chevron di Arak Duri tercatat limbah yang harus diolah PT Chevron adalah sebanyak 1.500 barel setiap harinya.
Sementara, dari kawasan pengolahan limbah milik PT CPI di Arak Duri dengan desa Petani dan desa Pematang Pudu hanya berjarak tidak lebih dari 1 Km saja. Sementara dialiran sungai disekitar lokasi pengolahan limbah, terdapat sebuah pipa yang langsung dari limbah.
Ironisnya, kedua desa yang tidak jauh dari kawasan pengolahan limbah milik PT CPI itu mayoritas dihuni oleh masyarakat nelayan. Bahkan menurut mereka, sejak pengolahan limbah ditangani secara tidak serius, masyarakat nelayan banyak yang kehilangan pekerjaan. Pasalnya, ikan-ikan banyak yang mati.
Salah satu warga, Effendi kepada Riauterkini menceritakan bahwa selain banyak ikan yang mati, banyak warga yang menderita muntah-muntah dan batuk-batuk. Itu semua disebabkan karena penanganan limbah B3 yang tidak sesuai dengan prosedur. Sehingga banyak warga yang harus menanggung dampaknya.
"Kami minta pihak perusahaan untuk bertanggung jawab dalam kasus pencemaran limbah yang berdampak kepada warga. Perusahaan harus menyelesaikan permasalahan ini," terangnya. ***(H-we)
Limbah Tak Terangkut Tanggung Jawab ISDM
Karena pengerjaan pembuangan limbah sudah diserahkan ISDM, Chevron menyatakan bahwa limbah B3 yang tidak terangkut merupakan tanggung jawab ISDM.
Riauterkini-PEKANBARU-Salah satu GM PT Chevron Pacifik Indonesia (CPI), Edwin kepada Riauterkini kamis (31/5) menyatakan bahwa seluruh limbah sudah diangkut oleh kontraktor yang mengerjakannya. Namun diantara limbah-limbah yang harus diangkut itu, memang masih ada limbah B3 yang tidak bisa di angkut.
"Memang ada limbah B3 yang tidak bisa diangkut. tetapi, secara keseluruhan, limbah-limbah itu diangkut oleh kontraktor kita. Mengenai tanggung jawab, masih 'tersisanya' limbah B3 adalah tanggung jawab dari ISDM. Pasalnya, perusahaan kontraktor itu berada dibawah koordinasi ISDM. Sebab perusahaan kontraktor termasuk dalam perusahaan BPH Migas," terangnya.
Data yang berhasil dihimpun Riauterkini menunjukkan bahwa di kawasan pengelolaan lumpur PT Chevron di Arak Duri tercatat limbah yang harus diolah PT Chevron adalah sebanyak 1.500 barel setiap harinya.
Sementara, dari kawasan pengolahan limbah milik PT CPI di Arak Duri dengan desa Petani dan desa Pematang Pudu hanya berjarak tidak lebih dari 1 Km saja. Sementara dialiran sungai disekitar lokasi pengolahan limbah, terdapat sebuah pipa yang langsung dari limbah.
Ironisnya, kedua desa yang tidak jauh dari kawasan pengolahan limbah milik PT CPI itu mayoritas dihuni oleh masyarakat nelayan. Bahkan menurut mereka, sejak pengolahan limbah ditangani secara tidak serius, masyarakat nelayan banyak yang kehilangan pekerjaan. Pasalnya, ikan-ikan banyak yang mati.
Salah satu warga, Effendi kepada Riauterkini menceritakan bahwa selain banyak ikan yang mati, banyak warga yang menderita muntah-muntah dan batuk-batuk. Itu semua disebabkan karena penanganan limbah B3 yang tidak sesuai dengan prosedur. Sehingga banyak warga yang harus menanggung dampaknya.
"Kami minta pihak perusahaan untuk bertanggung jawab dalam kasus pencemaran limbah yang berdampak kepada warga. Perusahaan harus menyelesaikan permasalahan ini," terangnya. ***(H-we)
Libatkan BP Migas dalam Hearing Limbah
Rabu, 06-Juni-2007, 19:41:15
PEKANBARU (RTr)- Hearing terbuka soal pencemaran Sungai Batang Pudu Desa Petani Kelurahan Pematang Pudu Kecamatan Mandau tidak saja menghadirkan PT Chevron sebagai pihak yang bertanggungjawab, tetapi juga BP Migas.
Selama ini instansi tersebut merupakan representatif pemerintah yang mengesahkan anggaran terkait soal minyak bumi di Riau sehingga dinilai perlu dilibatkan dalam konflik pencemaran limbah antara PT Chevron dengan masyarakat Sakai.
Hal tersebut ditegaskan anggota Komisi C DPRD Riau Abu Bakar Siddiq kepada Riau Tribune Selasa (5/6) kemarin. Hearing terbuka yang dijadwalkan Kamis besok dan difasilitasi oleh Komisi C tersebut juga akan menghadirkan Bapedalda Riau dan Kabupaten Bengkalis serta masyarakat dua desa yang menderita akibat pencemaran limbah yang tidak melalui prosedur.
“Kami sudah rapat intern komisi dan ditetapkan jadwal hearing pencemaran limbah Sungai Batang Pudu, Kamis (7/6) besok. Bila PT Chevron tidak merasa perlu membawa serta PT Karya Lestari Perkasa untuk memberikan penjelasan soal pencemaran limbah dan bisa mengklarifikasikan sendiri, saya rasa tidak ada masalah. Tapi mungkin lebih baik perusahaan tersebut dibawa serta,” jelas Abu.
Menurut Abu, peran BP Migas dalam pertemuan tersebut sangat penting. Hal ini disebabkan karena keberadaan PT Chevron sebagai kontraktor di bidang perminyakan yang ditunjuk pemerintah berada di bawah instansi tersebut. “Sehingga bila dalam pertemuan tersebut diambil kesepakatan antara PT Chevron dengan masyarakat Sakai, maka BP Migas bisa menyikapinya. Atau mungkin saja memberi masukan dan pertimbangan,” katanya.RLA
PEKANBARU (RTr)- Hearing terbuka soal pencemaran Sungai Batang Pudu Desa Petani Kelurahan Pematang Pudu Kecamatan Mandau tidak saja menghadirkan PT Chevron sebagai pihak yang bertanggungjawab, tetapi juga BP Migas.
Selama ini instansi tersebut merupakan representatif pemerintah yang mengesahkan anggaran terkait soal minyak bumi di Riau sehingga dinilai perlu dilibatkan dalam konflik pencemaran limbah antara PT Chevron dengan masyarakat Sakai.
Hal tersebut ditegaskan anggota Komisi C DPRD Riau Abu Bakar Siddiq kepada Riau Tribune Selasa (5/6) kemarin. Hearing terbuka yang dijadwalkan Kamis besok dan difasilitasi oleh Komisi C tersebut juga akan menghadirkan Bapedalda Riau dan Kabupaten Bengkalis serta masyarakat dua desa yang menderita akibat pencemaran limbah yang tidak melalui prosedur.
“Kami sudah rapat intern komisi dan ditetapkan jadwal hearing pencemaran limbah Sungai Batang Pudu, Kamis (7/6) besok. Bila PT Chevron tidak merasa perlu membawa serta PT Karya Lestari Perkasa untuk memberikan penjelasan soal pencemaran limbah dan bisa mengklarifikasikan sendiri, saya rasa tidak ada masalah. Tapi mungkin lebih baik perusahaan tersebut dibawa serta,” jelas Abu.
Menurut Abu, peran BP Migas dalam pertemuan tersebut sangat penting. Hal ini disebabkan karena keberadaan PT Chevron sebagai kontraktor di bidang perminyakan yang ditunjuk pemerintah berada di bawah instansi tersebut. “Sehingga bila dalam pertemuan tersebut diambil kesepakatan antara PT Chevron dengan masyarakat Sakai, maka BP Migas bisa menyikapinya. Atau mungkin saja memberi masukan dan pertimbangan,” katanya.RLA
CPI Janji Perbaiki Kerusakan
08 Juni 2007 Pukul 09:16
Pulihkan Lingkungan dan Sembuhkan Warga
PEKANBARU (RP) - PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), akhirnya berjanji akan memulihkan (recovery) lingkungan yang tercemar termasuk Sungai Batang Pudu dari operasional pengolahan limbah CMTF Arak, dan menyembuhkan warga yang menderita sakit gatal-gatal di Tonggak Delapan.
Janji ini dipatrikan PT CPI dan PT KLP melalui utusannya, saat pertemuan para pihak terkait. Dalam hal ini PT CPI, Badan Pengelola Migas, Bapedal Provinsi Riau, Bapedalda Bengkalis, Camat Mandau, masyarakat Sakai Pematang Pudu dan Petani selaku korban dugaan pencemaran limbah CMTF Arak dan warga Desa Tonggak Delapan yang terkena penyakit gatal-gatal.
Bertemunya para pihak ini, difasilitasi oleh Komisi C DPRD Riau membidangi lingkungan hidup. Pertemuan berlangsung di ruang Medium DPRD Riau, Kamis (7/6). Rapat dipimpin Ketua Komisi C Robin P Hutagalung. Dari CPI hadir Edwin Abdulmuthalib, Bambang Prasetya, Djati Sussetya, Hanafi Kadir dan Sukriyatno Muhamad dari PT KLP.
Janji ini dibuat PT CPI sesuai dengan permintaan dari masyarakat yang tinggal di aliran Sungai Batang Pudu, yang menuntut pemulihan lingkungan dan ganti rugi dari hilangnya mata pencarian mereka sebagai nelayan yang mengandalkan kehidupan dari sungai Batang Pudu selama setahun ini. Sedangkan kepada masyarakat di Tonggak Delapan, adalah sebagai bentuk kepedulian PT CPI terhadap warga yang bermukim dalam kompleks camp PT CPI.
‘’Kami menyepakati untuk mengobati para warga yang terserang penyakit gatal-gatal di Tonggak Delapan ini bukan berarti kami berada dalam posisi salah. Tapi adalah sebagai bentuk kepedulian kami kepada warga,’’ ucap Edwin.
Sementara untuk pemulihan lingkungan yang sudah tercemar, termasuk Sungai Batang Pudu, disetujui PT CPI setelah adanya desakan dari para pihak yang hadir supaya ada langkah konkrit yang diambil CPI. Hanya saja, untuk recovery ini sesuai dengan yang disampaikan Djati Soesetya, baru dilakukan oleh CPI paling lambat satu pekan setelah pertemuan kemarin.
‘’Kami akan lakukan langkah konkrit di lapangan paling lambat sepekan ke depan,’’ucap Djati. Hanya saja, sebelum melakukan recovery, pihaknya terlebih dahulu meminta hasil rekomendasi dari Bapedal Riau soal adanya lokasi yang ditemukan tercemar oleh operasional PT CPI.
Sementara untuk ganti rugi kepada warga Sakai di Pematang Pudu dan Petani, Djati menyebutkan akan melihat apa bentuk kompensasi mata pencariannya akan dicarikan formulasinya dan segera pelajari dan disiapkan apa model yang paling tepat.
Akan halnya untuk pengobatan warga Tonggak Delapan yang menderita gatal-gatal, Edwin menjelaskan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Bengkalis untuk mencarikan cara pemulihan yang paling tepat. Akan halnya untuk relokasi dan ganti rugi warga yang mengaku terkurung dalam camp operasional PT CPI, Edwin mangatakan untuk hal ini cukup memberatkan. ‘’Kalau di ganti rugi mau diapakan lokasi itu. Karena CPI juga tidak memerlukan lokasi itu,’’ sebutnya.
Terhadap janji PT CPI ini, Kepala BP Migas, Muliawan, yang juga hadir saat pertemuan mengatakan bahwa BP Migas akan mendukung terpenuhinya apa yang menjadi tuntutan masyarakat ke PT CPI setelah ada rekom dari Bapedal. Selain itu pihaknya juga mendukung rencana PT CPI untuk memulihkan lingkungan dan menyembuhkan warga sakit. Termasuk juga untuk ganti rugi.
Teralisasi atau tidaknya janji PT CPI ini, menurut Robin P Hutagalung akan dikawal oleh Komisi C bersama dengan masyarakat, Bapedal dan pihak terkait lainnya. Hal senada juga diungkapkan Anggota Komisi C Abu Bakar Siddik SSi.
‘’Komisi C bersama masyarakat dan pihak terkait lain akan terus mengontrol dan mengawal realisasi janji dari PT CPI ini. Dan kita akan carikan info terus-menerus soal perkembangan penyelesaian kasus ini. Kita tak ingin janji tapi realisasi dari janji yang suatu ketika bila tak dipenuhi maka kita akan tentukan sikap sendiri,’’ ucap Abu Bakar yang sempat diinterupsi Edwin Abdulmuthalib dari CPI saat menyampaikan argumennya.
Sebelum diperoleh kesepakatan, Djati Susetya mengatakan, untuk ganti rugi pihaknya tidak keberatan melakukannya asal bersamaan dengan itu masalah hukum ditetapkan.
‘’Kita baru bisa memberikan ganti rugi bila ada landasan hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Apalagi pemberian ganti rugi ini menyangkut dana pemerintah, jadi harus yakin betul ganti rugi ini telah berdasarkan seseuatu yang secara hukum dapat dipetanggungjawabkan,’’ sebut Djati.
Hanya saja, Abu Bakar bersikeras bahwa ganti rugi harus dibiayai dari untung PT CPI, bukan dari dana community development (CD) yang nantinya diminta ganti oleh Chevron kepada pemerintah melalui dana operasional perusahaan atau atau biasa dikenal dengan istilah cost recovery.
Untuk pembersihan lingkungan yang tercemar limbah, Djati mengatakan bahwa hal itu tergantung Bapedal. ‘’Kita juga akan melakukan pembersihan sesuai hukum yang ada. Begitupun untuk keluhan warga Tonggak Delapan, juga harus sesuai dasar hukum sebagai acuan. Tanpa itu tidak mungkin bisa diberikan,’’ tegas Djati.
Menanggapi ini sejumlah anggota dewan termasuk utusan masyarakat angkat bicara. Sebab CPI tak mungkin hanya berdiam diri dengan realita di lapangan. Karena itulah akhirnya CPI berjanji melakukan langkah konrkit seusai kesepakatan yang dibuat.(kaf)
Pulihkan Lingkungan dan Sembuhkan Warga
PEKANBARU (RP) - PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), akhirnya berjanji akan memulihkan (recovery) lingkungan yang tercemar termasuk Sungai Batang Pudu dari operasional pengolahan limbah CMTF Arak, dan menyembuhkan warga yang menderita sakit gatal-gatal di Tonggak Delapan.
Janji ini dipatrikan PT CPI dan PT KLP melalui utusannya, saat pertemuan para pihak terkait. Dalam hal ini PT CPI, Badan Pengelola Migas, Bapedal Provinsi Riau, Bapedalda Bengkalis, Camat Mandau, masyarakat Sakai Pematang Pudu dan Petani selaku korban dugaan pencemaran limbah CMTF Arak dan warga Desa Tonggak Delapan yang terkena penyakit gatal-gatal.
Bertemunya para pihak ini, difasilitasi oleh Komisi C DPRD Riau membidangi lingkungan hidup. Pertemuan berlangsung di ruang Medium DPRD Riau, Kamis (7/6). Rapat dipimpin Ketua Komisi C Robin P Hutagalung. Dari CPI hadir Edwin Abdulmuthalib, Bambang Prasetya, Djati Sussetya, Hanafi Kadir dan Sukriyatno Muhamad dari PT KLP.
Janji ini dibuat PT CPI sesuai dengan permintaan dari masyarakat yang tinggal di aliran Sungai Batang Pudu, yang menuntut pemulihan lingkungan dan ganti rugi dari hilangnya mata pencarian mereka sebagai nelayan yang mengandalkan kehidupan dari sungai Batang Pudu selama setahun ini. Sedangkan kepada masyarakat di Tonggak Delapan, adalah sebagai bentuk kepedulian PT CPI terhadap warga yang bermukim dalam kompleks camp PT CPI.
‘’Kami menyepakati untuk mengobati para warga yang terserang penyakit gatal-gatal di Tonggak Delapan ini bukan berarti kami berada dalam posisi salah. Tapi adalah sebagai bentuk kepedulian kami kepada warga,’’ ucap Edwin.
Sementara untuk pemulihan lingkungan yang sudah tercemar, termasuk Sungai Batang Pudu, disetujui PT CPI setelah adanya desakan dari para pihak yang hadir supaya ada langkah konkrit yang diambil CPI. Hanya saja, untuk recovery ini sesuai dengan yang disampaikan Djati Soesetya, baru dilakukan oleh CPI paling lambat satu pekan setelah pertemuan kemarin.
‘’Kami akan lakukan langkah konkrit di lapangan paling lambat sepekan ke depan,’’ucap Djati. Hanya saja, sebelum melakukan recovery, pihaknya terlebih dahulu meminta hasil rekomendasi dari Bapedal Riau soal adanya lokasi yang ditemukan tercemar oleh operasional PT CPI.
Sementara untuk ganti rugi kepada warga Sakai di Pematang Pudu dan Petani, Djati menyebutkan akan melihat apa bentuk kompensasi mata pencariannya akan dicarikan formulasinya dan segera pelajari dan disiapkan apa model yang paling tepat.
Akan halnya untuk pengobatan warga Tonggak Delapan yang menderita gatal-gatal, Edwin menjelaskan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Bengkalis untuk mencarikan cara pemulihan yang paling tepat. Akan halnya untuk relokasi dan ganti rugi warga yang mengaku terkurung dalam camp operasional PT CPI, Edwin mangatakan untuk hal ini cukup memberatkan. ‘’Kalau di ganti rugi mau diapakan lokasi itu. Karena CPI juga tidak memerlukan lokasi itu,’’ sebutnya.
Terhadap janji PT CPI ini, Kepala BP Migas, Muliawan, yang juga hadir saat pertemuan mengatakan bahwa BP Migas akan mendukung terpenuhinya apa yang menjadi tuntutan masyarakat ke PT CPI setelah ada rekom dari Bapedal. Selain itu pihaknya juga mendukung rencana PT CPI untuk memulihkan lingkungan dan menyembuhkan warga sakit. Termasuk juga untuk ganti rugi.
Teralisasi atau tidaknya janji PT CPI ini, menurut Robin P Hutagalung akan dikawal oleh Komisi C bersama dengan masyarakat, Bapedal dan pihak terkait lainnya. Hal senada juga diungkapkan Anggota Komisi C Abu Bakar Siddik SSi.
‘’Komisi C bersama masyarakat dan pihak terkait lain akan terus mengontrol dan mengawal realisasi janji dari PT CPI ini. Dan kita akan carikan info terus-menerus soal perkembangan penyelesaian kasus ini. Kita tak ingin janji tapi realisasi dari janji yang suatu ketika bila tak dipenuhi maka kita akan tentukan sikap sendiri,’’ ucap Abu Bakar yang sempat diinterupsi Edwin Abdulmuthalib dari CPI saat menyampaikan argumennya.
Sebelum diperoleh kesepakatan, Djati Susetya mengatakan, untuk ganti rugi pihaknya tidak keberatan melakukannya asal bersamaan dengan itu masalah hukum ditetapkan.
‘’Kita baru bisa memberikan ganti rugi bila ada landasan hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Apalagi pemberian ganti rugi ini menyangkut dana pemerintah, jadi harus yakin betul ganti rugi ini telah berdasarkan seseuatu yang secara hukum dapat dipetanggungjawabkan,’’ sebut Djati.
Hanya saja, Abu Bakar bersikeras bahwa ganti rugi harus dibiayai dari untung PT CPI, bukan dari dana community development (CD) yang nantinya diminta ganti oleh Chevron kepada pemerintah melalui dana operasional perusahaan atau atau biasa dikenal dengan istilah cost recovery.
Untuk pembersihan lingkungan yang tercemar limbah, Djati mengatakan bahwa hal itu tergantung Bapedal. ‘’Kita juga akan melakukan pembersihan sesuai hukum yang ada. Begitupun untuk keluhan warga Tonggak Delapan, juga harus sesuai dasar hukum sebagai acuan. Tanpa itu tidak mungkin bisa diberikan,’’ tegas Djati.
Menanggapi ini sejumlah anggota dewan termasuk utusan masyarakat angkat bicara. Sebab CPI tak mungkin hanya berdiam diri dengan realita di lapangan. Karena itulah akhirnya CPI berjanji melakukan langkah konrkit seusai kesepakatan yang dibuat.(kaf)
Empat Titik Limbah CPI tak Prosedural
08 Juni 2007 Pukul 09:17
Laporan KARTINI FATTACH, Pekanbaru kartini-fattach@riaupos.co.id
HASIL peninjauan ke lapangan selama berkali-kali dilakukan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Provinsi Riau terhadap operasional pengolahan limbah PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) di CMTF Arak, Mandau, didapati empat titik pembuangan limbah yang tidak prosedural.
Temuan ini diungkapkan Kasubdin Pengawasan Bapedal Riau, Makruf Siregar, dalam pertemuan para pihak yang dihadiri PT CPI, Badan Pengelola Migas, Bapedalda Kabupaten Bengkalis, Camat Mandau, Kepala Desa dan masyarakat Desa Pematang Pudu, Petani serta Tonggak Delapan. Pertemuan difasilitasi Komisi C DPRD Riau di Ruang Medium, Kamis (7/6).
Dalam pertemuan yang dimulai sekitar pukul 13.00 WIB dan berakhir pukul 17.00 WIB itu, Makruf memaparkan bahwa pihaknya sudah beberapa kali melakukan pengecekan ke lapangan.
‘’Hasil dari turun lapangan yang kami lakukan selama beberapa kali ini didapati bahwa di CMTF Arak ditemukan pembuangan limbah tak prosedural dan tak sesuai izin. Prinsipnya kami menemukan sebanyak empat titik limbah yang dibuang tak prosedural,’’ tegas Makruf.
Akan halnya untuk kasus di Tonggak Delapan, Makruf juga menjelaskan pihaknya sudah mengambil sampel sebanyak beberapa kali. ‘’Kami perlu waktu 1 bulan lebih untuk melakukan proses terhadap penyakit yang menimpa warga Tonggak Delapan,’’ sebutnya.
Untuk melakukan pemeriksaan, Makruf menyebutkan pihaknya melakukan uji secara Fisika dan Kimia terhadap air sumur warga. Dan hasilnya secara Fisika dan Kimia, air memenuhi baku mutu standarisasi kesehatan.
Hanya saja, secara Biologi, tidak bisa diuji. Kalau mau diuji akan diulang ke lapangan. ‘’Dari pengamatan lapangan masih mencurigakan sumber air bersihnya. Tapi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan memperoleh kejelasan, kami sudah mengirim sampel ke Jakarta dan akan keluar dalam waktu dekat. Karena perlu proses sampai sebulan,’’ jelasnya.
Sementara Kepala Bapedalda Bengkalis H TS Ilyas yang turut hadir saat pertemuan menerangkan, setelah mendapatkan laporan dari masyarakat, pihaknya sudah empat kali melakukan pemantauan. ‘’Kami memang ada melihat ada pembuangan pipa yang belum bisa dipertanggungjawabkan oleh kontraktor. Info kontraktor pipa untuk menyedot air yang sudah terlanjur dibuang,’’ ucap Ilyas menerangkan soal temuannya di operasional CMTF Arak.
Diakui pula, pihaknya juga sudah melakukan pengambilan sampel dan sudah di bawa ke lab tapi hasil belum diketahui. ‘’Hasilnya nanti akan kita sampaikan kepada para pihak dan kami tidak punya kapasitas untuk memutuskan limbah B3 dan itu adalah kewenangan pusat. Lagi pula kami tak terlalu memahami betul soal tekhnologi,’’ jelasnya.
Untuk penyakit gatal-gatal di Desa Tonggak Delapan dan masalah lainnya, Ilyas menjelaskan masalah ini sudah berlarut. Bapedalda katanya, sudah meminta PT CPI untuk melakukan pengujian sesuai dengan tuntutan masyarakat. Dan PT CPI sudah penuhi itu. ‘’PT CPI sudah mempresentasikan hasil kerusakan tanah yang disebabkan dari patahan Sebanga,’’ jelasnya.(ose)
Laporan KARTINI FATTACH, Pekanbaru kartini-fattach@riaupos.co.id
HASIL peninjauan ke lapangan selama berkali-kali dilakukan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Provinsi Riau terhadap operasional pengolahan limbah PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) di CMTF Arak, Mandau, didapati empat titik pembuangan limbah yang tidak prosedural.
Temuan ini diungkapkan Kasubdin Pengawasan Bapedal Riau, Makruf Siregar, dalam pertemuan para pihak yang dihadiri PT CPI, Badan Pengelola Migas, Bapedalda Kabupaten Bengkalis, Camat Mandau, Kepala Desa dan masyarakat Desa Pematang Pudu, Petani serta Tonggak Delapan. Pertemuan difasilitasi Komisi C DPRD Riau di Ruang Medium, Kamis (7/6).
Dalam pertemuan yang dimulai sekitar pukul 13.00 WIB dan berakhir pukul 17.00 WIB itu, Makruf memaparkan bahwa pihaknya sudah beberapa kali melakukan pengecekan ke lapangan.
‘’Hasil dari turun lapangan yang kami lakukan selama beberapa kali ini didapati bahwa di CMTF Arak ditemukan pembuangan limbah tak prosedural dan tak sesuai izin. Prinsipnya kami menemukan sebanyak empat titik limbah yang dibuang tak prosedural,’’ tegas Makruf.
Akan halnya untuk kasus di Tonggak Delapan, Makruf juga menjelaskan pihaknya sudah mengambil sampel sebanyak beberapa kali. ‘’Kami perlu waktu 1 bulan lebih untuk melakukan proses terhadap penyakit yang menimpa warga Tonggak Delapan,’’ sebutnya.
Untuk melakukan pemeriksaan, Makruf menyebutkan pihaknya melakukan uji secara Fisika dan Kimia terhadap air sumur warga. Dan hasilnya secara Fisika dan Kimia, air memenuhi baku mutu standarisasi kesehatan.
Hanya saja, secara Biologi, tidak bisa diuji. Kalau mau diuji akan diulang ke lapangan. ‘’Dari pengamatan lapangan masih mencurigakan sumber air bersihnya. Tapi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan memperoleh kejelasan, kami sudah mengirim sampel ke Jakarta dan akan keluar dalam waktu dekat. Karena perlu proses sampai sebulan,’’ jelasnya.
Sementara Kepala Bapedalda Bengkalis H TS Ilyas yang turut hadir saat pertemuan menerangkan, setelah mendapatkan laporan dari masyarakat, pihaknya sudah empat kali melakukan pemantauan. ‘’Kami memang ada melihat ada pembuangan pipa yang belum bisa dipertanggungjawabkan oleh kontraktor. Info kontraktor pipa untuk menyedot air yang sudah terlanjur dibuang,’’ ucap Ilyas menerangkan soal temuannya di operasional CMTF Arak.
Diakui pula, pihaknya juga sudah melakukan pengambilan sampel dan sudah di bawa ke lab tapi hasil belum diketahui. ‘’Hasilnya nanti akan kita sampaikan kepada para pihak dan kami tidak punya kapasitas untuk memutuskan limbah B3 dan itu adalah kewenangan pusat. Lagi pula kami tak terlalu memahami betul soal tekhnologi,’’ jelasnya.
Untuk penyakit gatal-gatal di Desa Tonggak Delapan dan masalah lainnya, Ilyas menjelaskan masalah ini sudah berlarut. Bapedalda katanya, sudah meminta PT CPI untuk melakukan pengujian sesuai dengan tuntutan masyarakat. Dan PT CPI sudah penuhi itu. ‘’PT CPI sudah mempresentasikan hasil kerusakan tanah yang disebabkan dari patahan Sebanga,’’ jelasnya.(ose)
Limbah Sungai Belum Dibersihkan
Sabtu, 16-Juni-2007, 14:29:26
PEKANBARU (RTr- Sampai hari ini, PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) belum juga membersihkan endapan limbah di Sungai Batang Pudu Desa Petani, Kelurahan Pematang Pudu, Kecamatan Mandau yang tercemar akibat pengolahan tidak prosedural.
Padahal, dalam pertemuan antara PT CPI dengan masyarakat yang dimediatori Komisi C DPRD Riau, Kamis (7/6) lalu, pihak perusahaan diberi batas selama sepekan untuk membersihkan sungai.
“Namun sampai batas yang ditentukan, perusahaan belum juga membersihkan endapan limbah di dasar sungai. Masyarakat masih saja menunggu dalam ketidakpastian. Keberadaan sungai tersebut sangat penting bagi kami. Selain sebagai lahan pencarian menangkap ikan, air sungai juga dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi,” ungkap Iwan Basri, warga Pematang Pudu yang sejak awal mengkoordinir masyarakat memperjuangkan hak mereka.
Melalui handpone, Iwan menjelaskan masyarakat tidak terlalu memikirkan masalah ganti rugi yang dijanjikan perusahaan dalam pertemuan bersama Komisi C di gedung DPRD Riau, pekan lalu. “Yang kami inginkan saat ini, perusahaan membersihkan sungai sehingga bisa dimanfaatkan lagi. Kalau masalah ganti rugi, akan difasilitasi Pemkab Bengkalis melalui tim sembilan yang sudah dibentuk,” katanya.
Menyikapi kondisi ini, anggota Komisi C DPRD Riau Abu Bakar Siddiq yang dihubungi Riau Tribune, Jumat (15/6) kemain menjelaskan, pihaknya akan mengkonfirmasikan hal ini kepada PT CPI atau BP Migas. Karena sesuai kesepakatan dari pertemuan sebelumnya, perusahaan harus membersihkan sungai dari endapan limbah paling lambat seminggu setelah pertemuan dilakukan. Disamping itu, juga harus membayar ganti rugi kepada masyarakat tempatan melalui penghitungan yang dilakukan oleh tim sembilan Pemkab Bengkalis.RLA.
PEKANBARU (RTr- Sampai hari ini, PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) belum juga membersihkan endapan limbah di Sungai Batang Pudu Desa Petani, Kelurahan Pematang Pudu, Kecamatan Mandau yang tercemar akibat pengolahan tidak prosedural.
Padahal, dalam pertemuan antara PT CPI dengan masyarakat yang dimediatori Komisi C DPRD Riau, Kamis (7/6) lalu, pihak perusahaan diberi batas selama sepekan untuk membersihkan sungai.
“Namun sampai batas yang ditentukan, perusahaan belum juga membersihkan endapan limbah di dasar sungai. Masyarakat masih saja menunggu dalam ketidakpastian. Keberadaan sungai tersebut sangat penting bagi kami. Selain sebagai lahan pencarian menangkap ikan, air sungai juga dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi,” ungkap Iwan Basri, warga Pematang Pudu yang sejak awal mengkoordinir masyarakat memperjuangkan hak mereka.
Melalui handpone, Iwan menjelaskan masyarakat tidak terlalu memikirkan masalah ganti rugi yang dijanjikan perusahaan dalam pertemuan bersama Komisi C di gedung DPRD Riau, pekan lalu. “Yang kami inginkan saat ini, perusahaan membersihkan sungai sehingga bisa dimanfaatkan lagi. Kalau masalah ganti rugi, akan difasilitasi Pemkab Bengkalis melalui tim sembilan yang sudah dibentuk,” katanya.
Menyikapi kondisi ini, anggota Komisi C DPRD Riau Abu Bakar Siddiq yang dihubungi Riau Tribune, Jumat (15/6) kemain menjelaskan, pihaknya akan mengkonfirmasikan hal ini kepada PT CPI atau BP Migas. Karena sesuai kesepakatan dari pertemuan sebelumnya, perusahaan harus membersihkan sungai dari endapan limbah paling lambat seminggu setelah pertemuan dilakukan. Disamping itu, juga harus membayar ganti rugi kepada masyarakat tempatan melalui penghitungan yang dilakukan oleh tim sembilan Pemkab Bengkalis.RLA.
Isi Perjanjian CPP Block Diragukan
PEKANBARU-Di tengah makin kerasnya desakan dari berbagai elemen dan tokoh masyarakat di Provinsi Riau agar Pertamina segera menyerahkan sepenuhnya pengelolaan CPP Block kepada daerah, muncul keraguan terhadap isi sesungguhnya dari nota perjanjian penyerahan ladang minyak tahun 2002 lalu itu. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti bagaimana bentuk dokumen asli kesepakatan tahun 2002 lalu tentang penyerahan itu.
Dari penelusuran dan konfirmasi dilakukan oleh anggota DPR RI asal Riau, Drs. Khairul Anwar ke Badan Pengelola (BP) Migas melalui ahli hukum pertambangan BP Migas di Jakarta justru menyebutkan adanya ketidakjelaskan isi kesepakatan itu. Meskipun disebutkan akan diserahkan dua tahun setelah penyerahan dari Caltex Pacific Indonesia (CPI) yang kini bernama Chevron kepada Pertamina, tapi tidak disebutkan mengenai tanggal dan bulan penyerahan itu kemudian kepada Pemerintah Daerah di Riau. Celah ini kemungkinan dijadikan alasan ujar Kharul Anwar, mengapa sampai sekarang CPP Block tak kunjung diserahkan kepada daerah.
Menurut Khairul, berdasarkan penuturan dari Ahli Hukum Pertambangan Migas Dr. Riyad, kesepakatan itu multi tafsir dan salah satu cara agar masalah ini segera selesai dengan mendudukkan kembali kesepakatan itu. Pemerintah Provinsi Riau dengan Pertamina perlu kembali duduk satu meja membahas detil dari kesepakatan itu sehingga proses penyerahannya berjalan dengan baik.
“Kesepakatan itu berdasarkan cross check kita ke ahli hukum menyebutkan adanya multitafsir dalam kesepakatan itu sehingga membingungkan untuk dilaksanakan, Riau perlu duduk satu meja dengan Pertamina meng-clear-kan masalah ini,” kata Khairul Anwar melalui ponselnya dari Jakarta, Sabtu (16/6).
Selain itu Khairul berjanji akan menindaklanjutinya dengan meminta informasi dari mantan Ketua Komisi VII DPR RI, Dr. Irwan Prayitno yang waktu itu menyaksikan langsung proses kesepakatan dan penyerahan CPP Block tersebut yang kini menjadi Ketua Komisi IX.
Dikhawatirkan penyebab ketidakjelasan kesepakatan itu kata Khairul yang juga Korwil PKS untuk wilayah Sumbagut itu, akibat dari kelalaian di masa lalu yang tidak cermat dalam membuat kesepakatan sehingga menjadi alasan bagi Pertamina tetap mengendalikan CPP Block tersebut. Karena keberadaan CPP Block ini memiliki nilai tambah bagi Riau, pihaknya akan berusaha ikut memperjuangkan agar proses penyerahan itu bisa segera terlaksana.
Selain itu anggota DPR Riau asal Riau lainnya Muhammad Tonas, SE juga mengakui kalau sampai saat ini masih mencari dokumen asli dari kesepakatan itu sehingga menjadi pegangan bagi anggota DPR RI asal Riau di Jakarta ikut mendesak Pertamina. Sejauh ini pihaknya belum mengetahui bentuk persis kesepakatan itu dan mendesak pemerintah tulus menyerahkannya kepada Riau segera. (yon)
Dari penelusuran dan konfirmasi dilakukan oleh anggota DPR RI asal Riau, Drs. Khairul Anwar ke Badan Pengelola (BP) Migas melalui ahli hukum pertambangan BP Migas di Jakarta justru menyebutkan adanya ketidakjelaskan isi kesepakatan itu. Meskipun disebutkan akan diserahkan dua tahun setelah penyerahan dari Caltex Pacific Indonesia (CPI) yang kini bernama Chevron kepada Pertamina, tapi tidak disebutkan mengenai tanggal dan bulan penyerahan itu kemudian kepada Pemerintah Daerah di Riau. Celah ini kemungkinan dijadikan alasan ujar Kharul Anwar, mengapa sampai sekarang CPP Block tak kunjung diserahkan kepada daerah.
Menurut Khairul, berdasarkan penuturan dari Ahli Hukum Pertambangan Migas Dr. Riyad, kesepakatan itu multi tafsir dan salah satu cara agar masalah ini segera selesai dengan mendudukkan kembali kesepakatan itu. Pemerintah Provinsi Riau dengan Pertamina perlu kembali duduk satu meja membahas detil dari kesepakatan itu sehingga proses penyerahannya berjalan dengan baik.
“Kesepakatan itu berdasarkan cross check kita ke ahli hukum menyebutkan adanya multitafsir dalam kesepakatan itu sehingga membingungkan untuk dilaksanakan, Riau perlu duduk satu meja dengan Pertamina meng-clear-kan masalah ini,” kata Khairul Anwar melalui ponselnya dari Jakarta, Sabtu (16/6).
Selain itu Khairul berjanji akan menindaklanjutinya dengan meminta informasi dari mantan Ketua Komisi VII DPR RI, Dr. Irwan Prayitno yang waktu itu menyaksikan langsung proses kesepakatan dan penyerahan CPP Block tersebut yang kini menjadi Ketua Komisi IX.
Dikhawatirkan penyebab ketidakjelasan kesepakatan itu kata Khairul yang juga Korwil PKS untuk wilayah Sumbagut itu, akibat dari kelalaian di masa lalu yang tidak cermat dalam membuat kesepakatan sehingga menjadi alasan bagi Pertamina tetap mengendalikan CPP Block tersebut. Karena keberadaan CPP Block ini memiliki nilai tambah bagi Riau, pihaknya akan berusaha ikut memperjuangkan agar proses penyerahan itu bisa segera terlaksana.
Selain itu anggota DPR Riau asal Riau lainnya Muhammad Tonas, SE juga mengakui kalau sampai saat ini masih mencari dokumen asli dari kesepakatan itu sehingga menjadi pegangan bagi anggota DPR RI asal Riau di Jakarta ikut mendesak Pertamina. Sejauh ini pihaknya belum mengetahui bentuk persis kesepakatan itu dan mendesak pemerintah tulus menyerahkannya kepada Riau segera. (yon)
Langganan:
Postingan (Atom)